"Bagi kalian yang sudah menyelesaikan ujian silahkan bereskan buku kalian, dan pulang." Seorang perempuan pertengahan dua puluh tahun –terhitung relatif sangat muda untuk ukuran seorang guru dengan seragam cokelat, dan rok selutut dengan warna senada duduk di meja guru. Tanda pengenal menempel di seragam cokelatnya, tanda pengenal itu bertuliskan Sri Lestari S.Pd.
Ibu Sri, begitulah muridnya menyapa, seorang guru yang mengajar mata pelajaran Sosiologi di sekolah menengah atas negeri dua tiga. Ia adalah seorang guru yang cukup baik, ia tidak pernah marah-marah saat mengajar. Ia adalah orang yang cukup tenang, mungkin tubuh tambunnya membuat ia aga sulit bergerak. Tapi itu tidak masalah, ia tetap jadi guru kesayangan para muridnya.
Sekolah menengah atas negeri dua tiga bukan sekolah biasa, sekolah ini termasuk sekolah unggulan. Jumlah muridnya terus bertambah tiap tahun, banyak orang tua menjejali meja pendaftaran untuk mendaftarkan anak mereka. Banyak yang ditolak mentah-mentah, dan berakhir berdesak-desakan di jalur belakang. Tetapi tetap saja ditolak. Sekolah menengah atas negeri dua tiga berdiri di tanah yang luas, dengan tiga bangunan kelas yang mengapit sebuah lapangan basket. Lapangan ini biasa digunakan untuk bermain bola. Saat pagi hari lapangan beralih fungsi jadi tempat dilaksanakan upacara, bisa dibilang sekolah menengah dua tiga memang tempat yang ideal untuk menuntut ilmu.
Setiap sudut sekolah selalu ramai pada jam istirahat. Suara teriakan, tertawa, dan obrolan bercampur menjadi satu membuat sebuah gelombang besar suara yang menderu-deru di setiap kelas, dan di lorong-lorong yang jadi akses mereka.
Namun saat jam pelajaran dimulai, semua suara hilang. sekolah jadi tempat paling hening di dunia, semua anak-anak duduk di kelas masing-masing dan serius mengikuti pelajaran. Seperti yang terjadi di kelas dua belas IPS 1, seluruh murid fokus mengerjakan ujian Sosiologi yang diadakan oleh ibu Sri. Sejumlah besar siswa yang tidak belajar sebelumnya nampak gusar dan nyaris depresi.
Sementara tangan mereka menulis, mata mereka melirik ke depan untuk melihat jam yang hampir berada di angka dua belas. Sementara itu, kegusaran mereka semakin menjadi-jadi. Wajah panik, keringat bercampur minyak membasahi wajah. Wajah frustasi mereka berpendar-pendar. Kejenuhan tergambar dari wajah-wajah muda itu, mereka yang sedang dalam semangat tinggi untuk bergerak dan mencari jati diri harus duduk berjam-jam di kelas mengerjakan soal yang mereka pikir tak ada gunanya. Persis seperti seekor singa yang dijinakan. Namun begitulah mereka; penuh hormon, lalai dan kadang kurang motivasi.
Di antara puluhan murid kelas dua belas IPS 1, ada seorang murid laki-laki yang tidak tersentuh oleh kekacauan yang berlangsung di sisinya. Ia terlihat tidak terlalu tertarik dengan kertas ujian, mungkin saja ujian itu terlalu mudah untuknya. Ia menyandarkan kepalanya ke salah satu tangannya, memandang lemas kertas ujian di atas meja. Sebagian besar soal di kertas memang sudah terjawab, hanya beberapa nomor yang dibiarkan kosong. Sepertinya itu memang disengaja, ia menatap papan tulis lebih dari lima kali dalam tujuh menit. Sesuatu mengganggu pikirannya. Dua puluh menit berlalu, ia sudah tak tahan lagi. Ia mengisi lagi soal yang masih kosong, tidak perlu waktu lama untuk menjawab semuanya. Ketika selesai ia meletakan pulpen di atas meja lalu bangkit untuk mengumpulkan kertas ujiannya.
"Sudah selesai, Ario?" Bu Sri menatap wajah Ario yang terlihat malas-malasan.
"Sudah, Bu." Ario menaruh kertas ujiannya di atas meja Bu Sri, lalu kembali lagi ke mejanya. Bel berbunyi tidak lama setelah itu.
"Oke anak-anak, waktunya habis. Kumpulkan kertas ujian kalian, selesai tidak selesai."
Para murid berdiri untuk mengumpulkan kertas ujian mereka, sedangkan Ario mengambil tasnya lalu berjalan ke luar.
"Ario, tungguin gue dong." Genta lari menyusul Ario dari belakang.
Nama lengkap Genta adalah Gentario Putra, ia berteman dengan Ario semenjak mereka masih jadi anak kelas sepuluh yang cupu. Genta datang dari keluarga berkecukupan, tapi tentunya ia lolos seleksi penerimaan siswa baru secara jujur. Ia merupakan orang yang menyenangkan, tipe orang yang mudah akrab dengan orang baru. Ia tidak pernah sungkan terhadap orang yang baru ia kenal.
Status keluarga tidak membuatnya memilih teman, ia berteman dengan siapa pun yang ia mau. Genta mencintai musik, ia belajar alat musik tidak lama setelah ayahnya mengumandangkan lagu-lagu God Bless di ruang tamu ketika ia masih kecil. Genta langsung memilih musik keras sebagai jati dirinya. Ia seorang pemain drum yang handal sekarang, hasil dari latihan intens dalam bermain drum semenjak umur tujuh tahun. Orangtuanya mendukung minatnya karena memang ia menunjukan bakat besar, hidup yang ia jalani sangat sempurna.
Genta selalu tersenyum lebar seperti Pat Smear ketika sedang bermain drum, serangkaian ledakan kebahagiaan terjadi di dalam dirinya, hanya mereka yang pernah merasakan keajaiban musiklah yang tahu.
Genta dapat dengan mudah mengasosiasikan musik dengan Tuhan, "Dua hal itu sama-sama menciptakan yang tiada menjadi ada." Katanya di tengah-tengah perbincangan tentang musik.
Genta bergabung dengan 3 band sekaligus, dan salah satu dari ketiganya jadwal rutin mengisi di cafe. Untuk itu ia mendapat bayaran yang lumayan, tetapi sayang orang tuanya belum sepakat masalah satu itu, mereka masih bisa memberikan Genta uang tanpa harus ia mencarinya sendiri. bukannya mereka tak bangga melihat Genta yang sudah dapat menghidupi dirinya sendiri dan membeli drumnya sendiri, tetapi apa yang mereka inginkan adalah Genta menyelesaikan sekolahnya dulu. Setelah itu baru pembicaraan tentang masa depan dilanjutkan.
Genta memang anak yang keras kepala, ia akan melakukan apa saja untuk musik. Ia lebih sibuk keliling dari satu panggung ke panggung lain ketimbang sekolah, yang mencengangkan adalah ia dapat terus mempertahankan posisi prestasinya di sekolah.
"Ntar malem lo ada rencana gak?"
"Gak tau nih, gue lagi males ke luar. Palingan di rumah aja nonton DVD." Mereka berjalan bersama melewati lorong kelas.
"Mending lo ikut gue, ntar malem Paperwoods mau manggung."
Ario berpikir sejenak, ia sengaja tidak langsung menjawab.
"Gak ah, gue absen deh nanti malem. kayaknya gue bakal di rumah aja." Ario menatap kakinya sambil berjalan.
"Ah payah lo, gue kecewa banget, serius, tapi apalah daya gue kalo udah kayak gitu. kalo lo berubah pikiran langsung kabarin gue, mobil gue bakal parkir di depan rumah lo. Kalo perlu gue sediain karpet merah deh khusus buat lo." Ujar Genta setengah tergelak.
Mereka berdua berjalan bersama menuju gerbang sekolah, dan berpisah di tempat parkir.
Genta mengambil motornya, sedangkan Ario akan menunggu ibunya menjemput.
"Lo yakin gak mau bareng sama gue?" tanya Genta ketika ia muncul di gerbang sekolah, untuk kesekian kalinya Ario menggeleng.
"Gak usah. Bentar lagi nyokap jemput. Kalo gue bareng sama lo. Nanti kasian kalo nyokap gue sampe tapi guenya gak ada. Lagian nanti lo telat latihan gue yang kena semprot manajer lo lagi."
"Ya udah kalo gitu, gue duluan, ya." Genta menutup kaca helmnya lalu melajukan motornya
"Mudah-mudahan dia jemput hari ini." Ario berkata kepada dirinya sendiri.

YOU ARE READING
Memento
Mystère / ThrillerHalo, Readers! Memento adalah cerita baru yang akan admin share ke kalian semuan di wattpad @kisahhorror, semoga kalian suka, dan kalo suka jangan lupa like, vote, comment, dan share ya. Sinopsis: Semenjak kematian adiknya, Arlene, Ario dan orang tu...