Mistake

3K 200 7
                                    

Berjalan seperti orang bodoh kehilangan arah. Melihat tapi tidak tetap melihat apa. Yang masuk dipendengaran hanya suara angin dan umpatan orang-orang yg tengah meratapi sore yg sudah diselimuti mendung hitam, ini bahkan masih bulan agustus, tapi hujan terlalu bersemangat untuk bertamu.

Tubuhnya terguncang oleh seorang pria tua bertubuh empat kali lipat dari tubuhnya dengan terburu-buru. Sebuah umpatan menerpanya. Hey, dia juga lelah, dia juga ingin segera pulang kerumah, dia juga ingin menangis dalam selimut hangatnya. Tapi sayang semua yg ada di dalam hatinya tak terluapkan begitu mudah.

Oh, shit!

Sesuatu yg dibencinya ternyata benar datang. Menghantam tubuhnya yg saat ini benar-benar digantungi lelah dan muak. Dia berteriak tertahan. Entahlah, dia tak bisa meluapkan apa yg menyumpal di hati dan otaknya. Harinya sudah sangat buruk. Dan hujan menjadikanya semakin buruk. Dia limbung. Biarkan lututnya sakit. Biarkan orang yg lewat menatapnya iba. Yang ingin dia lakukan sekarang adalah membiarkan air matanya berbaur dengan air mata langit.

Tidak taukah langit kalau hari ini dia harus menanggung lelah ketika atasanya terus menerus mengomel akan pekerjaannya yg berantakan.

Tidak taukah juga atasanya kalau pagi ini dia harus menanggung malu karena diteriaki pemilik apartemen untuk menyuruhnya segera pergi karena telat membayar selama 2 bulan.

Tidak taukah pemilik apartemennya kalau dia sedang merasakan sakit teramat dalam di hatinya karena seorang pria yg selama ini menjadi penopang kebahagiaannya baru saja pergi menyisakan goresan-goresan tak kasat mata di hatinya.

Bona ingin menjerit.
Kenapa Tuhan begitu senang mengiriminya semua berita duka bahkan di bulan yg seharusnya dia merasakan kebahagia yg membuncah.

Bona bahkan tak bisa meniup lilin dan memakan kue tart di hari bahagianya tanggal 19 yg lalu. Dia bahkan tak bisa tersenyum lebar berada dalam pelukan pria terkasihnya. Dan menyedihkannya lagi tak ada satupun orang yg mengingat hari itu.

Dia berfikir keras. Karma apa yg sedang Tuhan coba kirimkan padanya.
Siapa orang yg sudah menyumpahi hidupnya sampai-sampai dia tak bisa menjumpai kebahagiaan. Semuanya terasa salah. Semuanya terasa sengaja menghantami Bona dengan masalah dan kesedihan.

Tuhan, aku jujur padamu. Aku lelah. Bisik Bona dalam kesendiriannya masih dengan diguyur air langit.
.
Dengan tenaga tersisa, kaki Bona menuntunnya berjalan dalam dinginnya hujan menuju tempat tinggalnya. Iya, kalau tempat itu layak disebut tempat tinggal. Melihat bagaimana bentuknya sekarang, semua orang akan menyebutnya sebagai gudang. Semuanya berantakan, bekas tisu tergeletak disembarang sudut menggambarkan seberapa hancur si pemilik rumah beberapa pekan yg lalu. Beberapa buku berceceran dilantai menyisakan sedikit kenangan buruk tentang pertengkaran dua orang anak adam dan hawa yg tersulut emosi. Bungkus makanan instan dan minuman berakohol dibiarkan tertinggal diatas meja, pakaian kotor tegeletak disembarang tempat, semuanya menunjukkan sebagaimana kacaunya si pemilik yg sebelumnya merupakan orang yg menjunjung kerapian dan kebersihan.

Bona duduk lesu diatas sofa ruang tamunya. Biarkanlah bekas air hujan ikut membasahi sofa berwarna cream itu. Bona meratapi dirinya dalam diam. Sebuah potret dua orang pria dan wanita yg kacanya pecah menyapu pandangannya seraya menghadirkan air diujung matanya. Kenangan itu kembali lagi. Kenangan yg sudah terjalin selama 5 tahun terakhir dengan seorang pria kurang ajar yg sudah membuat dunianya jungkir balik.

Dadanya sesak. Semua kenangan indah yg tadi menjadikan rindu sebagai temannya kini tergantikan dengan amarah saat otaknya mengingkat kejadian 3 pekan yg lalu.

Mimpi buruk itu datang. Kata perpisahan itu terucap dengan lantang seakan berusaha menghapus semua kebahagian yg sudah terjalin selama 5 tahun ikatan itu terjalin. Entah utusan neraka dari mana yg dikirimkan para iblis untuk menyambangi mereka berdua. Malam itu menjadi malam yg begitu mengerikan ketika Bona melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa sang kekasih tengah berpelukan hangat dengan seorang wanita. Bona tau siapa wanita itu. Bona juga tau ada sesuatu yg coba di sembunyikan kekasihnya saat itu. Tapi Bona tak ingin mengerti dengan semua yg coba dijelaskan kekasihnya. Pikirannya terlanjur gelap. Semua terasa salah. Membuatnya mengeluarkan kata-kata yg dia tau sangat dibenci kekasihnya. Menyulut emosi yg tak kalah membara dari kekasihnya. Lemapar-melempar kata-kata yg terbakar api itu terjadi lama, sampai akhirnya menyisakan Bona yg berdiri membeku di tempatnya saat sang kekasih menarik sebuah koper dan keluar dari gubuk kenangan mereka.

Bona mengusap wajahnya kasar. Bayangan itu mau sampai kapan menghantuinya? Jujur saja sedikit ada rasa penyesalan menerpanya beberapa kali. Tapi rasa sakit yg terlanjur tergores dalam hatinya membuatnya mati-matian membuang penyesalan itu. Menyisakannya dalam kegamangan, kekosongan yg entah akan sampai kapan.

Apa benar sebaiknya dia segera pergi meninggalkan tempat dengan berjuta kenangan itu? Tempatnya yg biasa menghadirkan tawa dan menghabiskan waktu bersama orang yg sejujurnya masih sangat dikasihinya itu?

Mungkin iya.
Dia harus pergi dari tempat itu. Meninggalkan semuanya dan memulai awal yg baru. Dia tidak bisa terus dihinggapi kesedihan dan meratapi jalan cintanya yg ternyata sudah menemui jalan buntu itu. Dia harus mencoba. Mencoba melupakannya.

.
.
.

Pria jangkung itu sedang berdiri meratapi langit sore yg tampak bekilat marah. Hatinya dirundung kecemasan. Ia tau disalah sudut kota ini ada seorang gadis yg mati-matian menahan kekesalan karena hujan akan turun. Gadis yg dulu selalu berada dalam dekapannya saat bau hujan membasahi tanah. Gadis yg membenci hujan. Gadis yg akan meringkuk dan memanggil namanya berulang kali saat kilat petir menghiasi langit.

Jubah putihnya dia lepas dan gantungkan di kursi kerjanya. Dia sudah ingin bersiap pulang. Tapi bukan pulang yg sesungguhnya dia inginkan. Kali ini dia bukan pulang untuk menjumpai gadisnya, untuk melihat senyumannya. Dia akan pulang ke sebuah rumah kecil diatas atap yg beberapa pekan terakhir menaungi kesedihan dan kesendiriannya.

Saat roda empatnya menembus jalanan yg padat dengan pengendara, air langit itupun jatuh. Dan saat itulah kesedihan ikut mengguyurnya. Ada yg hilang. Ada yg terasa sakit dalam dadanya. Dia tau itu apa. Tapi sayangnya dia tak tau apa yg bisa menyembuhkannya, bahkan disaat semua orang tau bahwa dia adalah seorang dokter.

Kesendirian akan semakin membuatnya terluka. Dia coba menghibur diri dengan menghidupkan suara radio. Tapi sial. Alunan lagu yg tersaji disana adalah lagu yg tak ingin dia dengarkan untuk saat ini. Lagu yg memberikan jutaan kenangan manis kembali menyusupi ruang otaknya. Kenangan yg dia lalui bersama gadis yg mampu membuat tawa hadir dalam hidupnya.

Sekuat. Sedingin. Dan setangguh apapun dirimu Chae Hyungwon, air mata tetap akan mengalir saat hatimu yg kosong itu tengah mengais-ais kenangan yg tak akan pernah bisa kau buang. Saat otakmu secara otomatis menampilkan potret seorang gadis yg selama ini menjadi teman, sahabat, kekasih, dan keluargamu itu.

Hyungwon melirik dirinya di cermin. Kau terlihat menyedihkan. Gumamnya lirih.

Otaknya memikirkan terlalu banyak hal. Mencoba menerawang apakah gadis yg beberapa minggu lalu dia putuskan juga sehancur ini?
Apakah gadis itu menangis seperti dia menangisinya? Bagaimana gadis itu melewati hari spesialnya?

Hatinya dibalut penyesalan. Seharusnya dia tak mengakhiri jalinan indah mereka. Seharusnya dia tak meninggalkan gadis itu sendiri. Seharusnya kemarin dia merengkuh tubuh rapuh kesayangannya itu menahan emosinya dan menjelaskan segalanya. Seharusnya...
Yah, hanya seharusnya yg terlewatkan dipikiran Hyungwon.

Andai waktu berjalan kebelakang. Ia ingin mengubah semuanya. Ia ingin meluruskan tali yg kemarin menjadi kusut antaranya dan kekasihnya. Menenangkan egonya untuk dengan sabar menjelaskan kesalahpahaman yg membuat kekasihnya buta dengan amarah.

Tapi sayangnya itu semua tidak bisa. Semua yg terjadi hadir untuk disesalinya.

Stay Here (Hyungwon x Bona)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang