eight ; pagi

1.1K 220 2
                                    

Beberapa hari belakangan ini, nyokap bokap gue berantem terus.

Gue nggak begitu mengerti apa masalahnya. Apakah karena mereka berdua selalu memblokade pikiran gue dengan kata-kata supernya yaitu 'Kamu anak kecil nggak akan ngerti', atau karena Papa yang lebih memilih untuk melanjutkan pekerjaannya di luar negeri—dan meninggalkan Mami dan seorang Jung Jaehyun yang bahkan lulus SMA aja belum tau.

Awalnya gue mengerti maksud Papa. Siapa, sih, yang nggak mau bekerja di luar negeri? Itu bisa menjadi kesempatan besar untuk Papa dan perusahannya agar makin berkembang. Tetapi begitu gue pada akhirnya mengerti, kenapa Mami bersikeras menolak dan melarang Papa untuk pergi, karena janin yang masih berumur 4 bulan di dalam perut Mami yang ternyata makin membesar itu—gue semakin paham.

Dan juga semakin tidak peduli.

Bukan itu, gue masih peduli kok, dengan calon adik gue itu. Toh dia nggak salah apa-apa. Yang salah itu Papa dan Mami. Keduanya cuma mementingkan urusannya masing-masing.

Lambat laun sarapan yang biasanya tersedia bahkan sebelum gue bangun pagi itu nggak pernah dihidangkan lagi, karena Papa mulai berangkat lebih awal dan Mami yang semakin mudah lelah karena kehamilannya. Susu yang biasanya Mami sediakan segelas penuh sebelum gue berangkat sekolah, sekarang harus gue sediakan sendiri.

Tapi tidak hari ini.

Saat gue turun dari lantai 2 menuju ruang makan untuk mempersiapkan seluruh sarapan gue sendiri, gue mendengar bunyi gesekan yang cuma bisa didapatkan dan didengar saat Mami memasak nasi goreng, lalu suara cekikikan dan tawa dari Mami gue.

Karena Mami nggak mungkin cekikikan sendiri, gue langsung berjalan cepat kearah dapur untuk melihat siapa yang sedang bersama Mami.

Ransel Jansport merah yang masih menggantung di punggungnya, rok abu-abu yang cuma nutupin setengah paha—gue langsung tahu siapa cewek ini.

Gue menarik pelan rambut kuncir kuda cewek itu, "Mih, kok ada bibi baru nggak bilang-bilang aku?" tanya gue kepada Mami yang ada di sebelah Fasya; beliau sekarang sedang sibuk memotong-motong bawang putih.

Fasya mendesis begitu merasakan rambutnya tertarik, "Tuh tante baru juga aku bilangin. Dia kalo ngomong ke aku seenaknya aja Tan huhu." adu Fasya kepada Mami, membuat gue melengos.

Mami cuma tertawa pelan sambil mencubit asal perut gue. Kapan terakhir kali gue liat Mami ketawa, ya? Dan ini juga pertama kalinya beliau masak dari beberapa hari yang lalu tanpa ada sarapan yang proper.

Gue pun memutuskan untuk memerhatikan kedua wanita di depan gue ini yang ternyata nggak mau gue ganggu dulu acara masak-masaknya. Lalu pandangan gue kembali tertuju pada tas ransel Fasya yang—duh, kenapa sih, nggak ditaro dulu?

"Sini tas lo."

"Oh iya, hehehe. Makasih, Jejeku." sahut Fasya seraya menurunkan bahunya sendikit agar gue lebih mudah melepaskan tasnya. Bisa gue rasakan pandangan Mami yang terarah ke kita berdua.

"Hehe tante ngeliatinnya gitu banget hehehe aku cantik ya, tan?"

Hm, mulai kan. Fasya with her nonsense words.

Mami akhirnya ketawa, dan tawanya kali ini lepas. Beliau pun mengacak-acak rambut gue yang baru disisir tadi dan mencubit gemas pipi Fasya sebelum akhirnya menyuruh kami keluar.

"Dah, sana. Kalian tunggu di ruang makan aja, ini biar Mami yang selesaiin."

"Ih tante jangaaan. Tante istirahat aja kasian keponakan aku pasti mau duduk  ya, kan?" tolak Fasya sambil mengelus-elus perut Mami yang makin hari makin membesar itu. Mami pun tersenyum pada Fasya.

Padahal yang ada juga Mami yang mau duduk bukan bayi yang ada di dalem perutnya. Bayinya, mah, tidur aja.

Gue pun menuntun Mami kearah ruang makan, sebelumnya gue meledek Fasya dengan menjulurkan lidah gue dan cewek itu langsung mengangkat spatula yang digunakannya untuk menggoreng nasi; hendak di lemparkan ke gue.

"Mami suka anak itu." kata Mami pelan setelah ia akhirnya duduk di ruang makan. Gue yang kali ini sedang menyiapkan piring dan gelas sedikit tersentak mendengarnya tapi lantas gue tersenyum.

"Dia lucu. Coba, masa tadi pagi dateng bilangnya 'Tante! Satpam depan komplek nyuruh aku bantuin bikin sarapan!'" Mami pun memperagakan kalimat yang sangat Fasya banget itu dan diakhiri dengan tawa.

Terus Mami menunjuk kearah plastik Kem Chicks yang ada di pinggir meja makan. "Terus dia beli roti juga, tuh. Katanya roti dirumahnya habis terus—"

"Giliran aku pasti yang disuruh bawa?" tanya gue dengan senyum yang tertahan.

"Iya! Hahahaha ada-ada aja itu anak," Mami pun menepuk-nepuk perutnya yang membusung itu, tersenyum karena pasti beliau ngerasain sesuatu.

Ditariknya tangan kanan gue kearah perutnya, dan untuk beberapa saat rasanya gue ingin menangis. Tiba-tiba gue tersadar karena selama ini ternyata gue kurang memerhatikan nyokap gue yang sedang hamil—plus bertengkar sendirian dengan bokap yang sama keras kepalanya dengan gue. Dalam kondisinya yang serapuh ini, gue malah nggak memerhatikan keadaan di rumah. Gue sibuk mementingkan urusan gue sendiri.

"Adik kamu cowok, Je. Tolong dijaga ya, nanti." ujar Mami seraya mengelus rambut gue pelan. Bisa gue rasakan mata gue mulai memanas, tetapi berhasil gue sembunyikan dengan bersender ke perut Mami untuk mendengar aktifitas calon adik gue di dalam sana.

Tiba-tiba gue merasakan benturan kecil, dan gue langsung menatap Mami dengan ekspresi haru. Mami mengangguk kecil dan gue kembali mengelus-elus perut buncitnya seraya berbicara sendiri kepada calon adik gue ini untuk mendapatkan respon-respon tak terduganya.

Begitu gue berdiri lagi, Fasya datang dari arah dapur dengan mangkuk besar berisi nasi goreng buatannya dan piring kecil berisi beberapa telur mata sapi.

"Ayo kita makaaan!" seru cewek itu.

( II )  DARKNESS.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang