fourteen ; cari

910 157 3
                                    

Gue hanya memandang langit-langit di ruang keluarga dalam diam, udah beberapa jam setelah Fasya memutuskan buat pergi. Dan gue nggak pernah membenci kata pergi sebegininya.

Tetapi di satu sisi gue merasa perlu berterima kasih kepada Fasya karena ninggalin gue di timing yang tepat. Ujian nasional udah selesai, dan itu semakin mendukung kekosongan gue.

Beberapa hari berlalu, dan rasanya gue nggak bergerak banyak. Gue masih berharap kalau penolakan dan fakta kalau Fasya ninggalin gue itu adalah bohongan. Gue masih yakin kalau ini adalah salah satu prank keisengannya. Gue yakin dia akan tiba-tiba menghamburkan diri ke rumah gue suatu saat nanti.

Tapi⏤ah, rasanya terlalu nyata. Hati gue sakit. Gue membiarkan dia pergi supaya dia bisa lebih bahagia, dan dia bilang kalau gue akan bahagia juga. Tapi apa nyatanya?

Gue menggosok kedua mata yang rasanya seperti mau ngeluarin air mata, tapi air mata aja kayanya udah nggak sanggup keluar. Setelah menghela napas, gue bangun dari posisi dan berjalan terseok-seok kearah kamar, hendak berganti baju dan membersihkan diri.

Lalu gue merasakan sesak di dada lagi, teringat kalau gue terbiasa dengan keadaan Fasya yang selalu ramai dan grasak-grusuk. Sekarang kosong. Sekarang semuanya sunyi. Gue mengapresiasi diri gue yang faktanya pernah hidup dengan kekosongan ini. Kalau berusaha diingat-ingat, gue nggak mau ngerasa sekosong itu lagi.

Tapi gue merasakannya sekarang. Dan rasanya gue sedang menjadi orang paling lemah di dunia.

Setitik air mata sukses jatuh ke pipi gue saat gue berlari menuruni tangga setelah membenah diri dan mengambil kunci mobil yang selalu ada di meja depan. Dari seluruh masalah yang diam-diam gue hadapi, kepergian Fasya adalah yang paling parah. Walau sampai detik ini gue nggak ini mengakui kalau dia sudah benar-benar pergi.

Rasanya gue ingin berteriak, rasanya gue ingin mengeluarkan apa-apa saja yang mengganggu pikiran gue saat ini. Tetapi yang gue lakukan malah menangis, menangis, dan menangis sambil menyalakan mesin mobil dengan tangan bergetar.

Gue harus cari Fasya. Harus. Harus. Harus.

Air mata terus jatuh ke pipi gue sementara gue mulai menginjak gas, rasa sakit itu terus-terusan bertambah. Benar, gue memang marah sama Papa yang ninggalin Mami saat beliau sedang hamil, gue benci Papa yang lebih memilih pekerjaannya. Gue masih nggak bisa terima dengan apa yang sebelumnya gue punya sempurna, sekarang berantakan. Gue juga kecewa karena Fasya ninggalin gue, dan semakin lama gue tunggu, nggak ada yang bisa gue dapat.

Gue mulai menyetir nggak tahu arah, yang gue pikirkan saat itu adalah bagaimana caranya gue bisa menemukan Fasya. Gue nggak tahu gue harus kemana, tetapi gue tahu kalau gue harus terus nyari dia.

Kemanapun. Kemanapun! Sampai ujung dunia gue harus cari.

Lampu depan mobil masih gue matikan, gue nggak peduli dengan kegelapan malam dan mobil yang terus gue gas tanpa peduli apa-apa aja yang ada di depan gue. Tujuan gue hanya satu; menemukan Fasya lagi.

Dan dengan lampu sen yang tidak menyala, justru dengan mudah membuat gue bertabrakan dengan sesuatu. Yang pertama itu mungkin adalah tembok bata, yang dengan cepat memutar mobil gue sampai terbalik, kepala dibawah, kemudian berputar sampai berhenti. Mobil gue masih berada di tengah jalan, dan walaupun posisi gue sekarang sudah terbalik, gue nggak bisa merasakan sakit apapun.

Sampai akhirnya gue melihat cahaya datang.

Mobil gue sudah terbalik 180 derajat, dengan wajah gue yang menghadap kearah cahaya yang berdatangan itu. Biasanya jam larut seperti ini jarang ada mobil yang lewat kecuali truk-truk besar. Klakson truk tersebut berbunyi keras memecah keheningan malam yang menyelimuti gue setelah tabrakan itu.

"JAEHYUN!" gue mendengar suara pekikan cempreng yang sangat gue kenal. Disaat nyawa gue sudah diambang seperti ini, baru suara itu muncul.

"KELUAR DARI SITU SEKARANG JUGA!" Nggak bisa, seberapapun usaha gue, gue akan tetap gagal jika nggak bisa menemukan lo.

Terdapat serpihan gelas dan logam. Kemudian suara mobil yang bergesekkan dengan trotoar, membuat telinga gue pekak dan panasnya percikan api. Pecahan-pecahan kaca menempel di wajah gue, mengiris dan memotong kulit gue. Rasanya gue pingsan sebelum mobil gue berhenti terseret, tetapi rasa sakit dan shock itu masih ada.

Gue nggak bisa menggerakkan tubuh gue. Gue terus mencoba dan mencoba tetapi tidak ada yang terjadi. Lalu gue merasakannya, pecahan kaca besar yang ada di perut gue. Gue sempat-sempatnya mengepalkan tangan gue karena rasa sakit itu.

"Jaehyun..." suara itu lagi, kali ini terdengar seperti bisikan halus. Dan gue hanya menggelengkan kepala, tidak bisa berbicara dan tidak bisa menahan rasa sakit yang tidak tertahan lagi. Gue kemudian merasakan diri gue seperti ter-disconnect, dan badan gue rasanya semakin dingin, tetapi bukan dingin yang bikin menggigil, tetapi dingin yang nyaman.

Perasaan-perasaan buruk seperti keluar dari diri gue, bersamaan dengan kenangan dan pengalaman hidup yang menyenangkan. Hal terakhir yang gue ingat sebelum semuanya berakhir adalah wajah Fasya, kedua matanya yang menatap nanar dan penuh air mata, memegang gue di lengannya dan meneriakkan nama gue.

Walaupun gue tahu kalau pikiran gue pasti bermain-main lagi dengan apa yang gue lihat, rasanya tetap saja menyenangkan.

"Gue udah bilang, jangan gegabah..."

Tetapi selesai kecelakaan itu terjadi, semuanya berhenti.

Sudah sampai situ.















🖤🖤🖤🖤🖤🖤🖤

2 chapters to go!

( II )  DARKNESS.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang