sixteen ; ada (2)

1.7K 206 24
                                    

Mami udah cukup sibuk dengan kelahiran adik laki-laki gue. Papa juga nggak bisa berlama-lama nemenin gue yang masih kosong, beliau juga harus mengurusi pekerjaannya. Mami dan Papa nggak butuh gue yang terus-terusan meracau di rumah, berusaha mencari-cari orang yang selama 6 bulan ini menghantui pikiran gue.

Pening itu selalu ada, entah bagaimana ingatan gue tentang Fasya rasanya pelan-pelan memudar. Tapi bukan berarti gue lupa, gue masih ingat sekecil apapun hal yang dia lakukan ke gue.

Karena pada akhirnya, saat itu gue hanya bermimpi, dan Fasya hanya seseorang yang dibuat oleh pikiran gue sendiri. Dia bukan seseorang yang harus terus bersama gue. Dan dia jelas bukan seseorang yang bisa gue andalkan atau sandar ketika gue punya masalah. Dia hanyalah seseorang yang membuat gue seperti sedang kesurupan, layaknya hati nurani gue sendiri yang membuat gue bertahan sampai sekarang. Dan gue tau dia ada. Dia pasti ada, tapi, gue nggak begitu yakin kalau dia nyata.

Fasya itu ada. Dan gue berharap setidaknya gue bisa bertemu dengan seseorang seperti dia.

Dan gue semakin yakin kalau dia nyata saat gue hanya bisa melihat siluetnya ketika gue mendapatkan kopi pertama gue setelah 6 bulan. Gue mengenali kafe itu, gue mengenali orang-orang yang duduk di depannya. Tapi gue nggak bisa meraihnya.

Udah cukup gue tertahan di rumah sakit selama berbulan-bulan, tapi gue juga harus meluruskan pikiran gue yang mulai berantakan lagi. Seakan-akan memori yang nggak pernah gue rasakan selama koma berusaha menghujam gue di waktu yang bersamaan, seperti ribuan jarum yang menusuk-nusuk kepala gue.

Maka ke psikiater adalah jawabannya. Gue memutuskan itu sendiri.

Dokter Tan adalah orang yang baik, dia selalu berusaha mendengarkan gue dan mengerti apa yang berusaha gue sampaikan. Dia tidak berusaha menjadi sok tahu, dia percaya bahwa hal-hal seperti apa yang gue alami bisa saja terjadi. Dan dia menyebutnya sebagai outer body experience.

Sampai di beberapa pertemuan setelahnya, gue malah dipertemukan dengan orang yang nggak gue sangka-sangka.

Fasya di sisa-sisa ingatan gue adalah anak yang ceria dan sehat, namun orang yang baru aja menabrak gue ini juga adalah Fasya. Tapi badannya yang kurus dan sorot matanya yang lelah cukup asing buat gue. Siapa orang yang ada di depan gue ini?

Sambil memegangi dahinya, cewek ini mendongak seperti hendak memarahi siapapun yang menghalangi jalannya. Wajah gue mengeluarkan ekspresi bingung dengan tangan gue sendiri yang terulur keatas sambil memegang erat kopi panas. Untung aja nggak tumpah ke muka dia.

"S-sori, mas! Saya yang salah jalan nggak pake mata!" katanya dengan tangan yang membentuk gestur memohon. Dia memejamkan kedua matanya karena takut.

Tetapi gue hanya terdiam, nggak bisa berkata apa-apa. Dia pun membuka perlahan kedua matanya dan gue langsung tersenyum. Masih belum mengenali gue ya ternyata?

"Nggak apa-apa, lain kali hati-hati, ya." ujar gue masih tersenyum dan menurunkan tangan kanan gue yang memegang kopi dan menyesapnya sedikit. Sementara cewek ini cuma bisa memandang gue dengan bingung dan tanpa berkedip.

"Saya duluan, ya. Saya udah ada janji dokter."

Setelah itu gue berjalan melewati dia.

Tapi tiba-tiba saja gue mendengar dia berseru, "DOKTER TAN!"

Gue yang sudah berjalan sekitar 6 meter di depannya itu menoleh ke belakang dan menatap bingung kearah cewek yang ternyata masih berdiri di tempatnya itu. Kedua tangannya menutup mulutnya dengan ekspresi terkejut, apa dia udah sadar?

Kemudian si cewek berlari kecil menghampiri gue. Dan gue hanya berdiri di tempat seraya menghadap dia.

"Kamu.... kamu ada janji sama dokter Tan?" tanyanya takut-takut.

Are we playing games here? Gue berusaha mati-matian agar nggak menarik cewek itu⏤Fasya, ke pelukan gue. "Gimana kamu bisa tau?" gue malah bertanya balik, sedikit ada nada iseng, tapi mungkin tidak begitu ketara.

Dia pun menjelaskan kronologi bagaimana dia bisa tahu gue ada janji sama dokter Tan. Selama dia menjelaskan, gue hanya menatap dia dengan tatapan kosong dan tanpa ekspresi sama sekali.

Fasya menghela napas, ".....jadi begitu. Dan saya... penasaran."

Gue langsung mengambil langkah mundur perlahan, pasti air muka gue kini menunjukkan ekspresi agak ketakutan, tetapi sebisa mungkin gue tahan.

"Kamu, siapapun kamu. Tunggu disini sampe saya selesai." perintah gue sebelum akhirnya gue berlari kearah lift.

----------------------------------------------------

"Saya koma... 6 bulan. Lama ya?"

"Jadi kamu nggak kuliah?" tanyanya dan segera menepuk pelan mulutnya sendiri. Gue hanya tertawa pelan dan menggeleng.

"Gimana mau kuliah? 3 minggu setelah pengumuman undangan, saya kecelakaan."

"Kenapa kamu bisa kecelakaan?"

Gue agak ragu untuk menjawab, tetapi kemudian gue mengambil ancang-ancang dan menghela napas pendek, "Depresi. Dan bisa dibilang sampai berhalusinasi juga. Saat itu saya berpikir bahwa saya mempunyai orang yang peduli, dan sayang sama saya."

"Selama koma, rasanya saya selalu ketemu sama orang itu. Saya juga bisa ngerasain hal-hal yang nggak bisa saya rasain di dunia nyata saat koma, kaya kuliah." gue berhenti berbicara dan beralih menatap cewek yang masih mendengarkan cerita gue dengan seksama, kemudian gue melanjutkan lagi. "Saya tau kamu bingung, dan berpikir ini nggak masuk akal. Tapi saya bisa ngerasain bahkan ngejalanin hari-hari kuliah sama orang itu. Walaupun pada akhirnya saya terbangun dari koma, dan nggak bisa lagi ketemu sama orang itu."

"Hidup saya menyenangkan saat koma, karena ada dia. Tapi sayang, saya nggak sempat bilang ke dia gimana perasaan saya selama itu."

Dia terdiam, "Sekarang kemana orang itu?"

Gue menghela napas sambil tersenyum. Ini dia. "Tadinya saya sempat berpikir dia cuma halusinasi. Tapi sekarang saya yakin kalau dia itu ada."

Lagi-lagi dia terdiam, "Kenapa kamu bisa cerita ini semua ke saya?"

Gue menoleh kearahnya dengan tatapan bingung, juga penuh harap, "Kamu.... nggak inget saya?"

"Inget apa? Emangnya kamu siapa?"

Gue menarik napas dalam-dalam, merutukki diri sendiri. Dia cuma ada di mimpi gue, mana mungkin dia inget gue?

"Salam kenal, Fasya. Gue Jung Jaehyun. Senang bisa ketemu lo lagi." kata gue dengan penuh keyakinan. Cewek di samping gue ini langsung tidak bisa dijelaskan ekspresinya, tetapi terus wajahnya berubah menjadi cerah, senyum mulai mengembang di wajahnya.

Kemudian dia tertawa kecil, "Salam kenal, halo." tangan kanannya terangkat, hendak menyalami tangan gue. Dan rasanya gue deja vu.




















Jadi ini mungkin alasan dia pergi waktu itu,

Karena kita akan bertemu lagi.























FIN.





YAYYYY ITS DONEEEEEE. What do you guys think about the sequel? Ada yang bikin bingung? Ada yang kurang masuk akal? Ada yang mengganjal? Boleh comment dan tanya-tanya yaaa and i will explain if needed!

Thank you so much for your love towards this story, and for the first story as well. I will continue to write better next time!


Love, fin.

( II )  DARKNESS.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang