fifteen ; hilang

989 175 4
                                    

"Bangun..."

Gue membuka mata gue pelan-pelan, dan menemukan diri gue sendiri sedang menatap bingung ke langit-langit dengan bau menyengat berwarna putih. Gue mendengar suara bip pelan di samping dan suara bernapas gue yang berat. Ada suara-suara lain yang terdengar jauh, gue nggak begitu mengerti itu suara apa atau apa yang dibicarakan.

Gue langsung melihat ke sekitar, dengan pandangan yang masih kabur, dan sadar sedetik kemudian kalau gue berada di rumah sakit. Lalu gue mendengar suara terkesiap dari seseorang yang ada di kamar gue, dan dia sempat mengucapkan beberapa kata yang nggak bisa gue tangkap. Orang itu kemudian berlari keluar, memanggil seseorang dan berseru.

Sampai akhirnya, "Jaehyun..." gue kemudian berusaha menoleh kearah asal suara, tetapi leher gue nggak bisa bergerak. Pengelihatan gue perlahan-lahan mulai menjelas dan menemukan wajah yang familiar di sebelah gue. Mami.

"Astaga... sayang! Akhirnya... ya Tuhan...." kata Mami dengan wajah haru hampir menangis seraya berusaha menyentuh wajah gue dengan tangan dinginnya. Gue masih belum bisa berbicara. Gue hanya memejamkan mata gue sebentar seperti sedang mengiyakan, "Jangan tidur lagi, ya? Dokter sebentar lagi datang..."

Dan gue tidak menjawab, tetapi jutaan pertanyaan mulai berkumpul di pikiran gue. Ini ada apa sih...

--------------------------------------------------------------

Sebuah tangan menggenggam pergelangan tangan gue erat, itu Papa. Sementara kedua orangtua gue mendengarkan si dokter berbicara, gue masih terduduk di bangsal tanpa berekspresi apa-apa. "Sudah merasa lebih baik?" tanya dokter itu pelan, dan gue hanya mengangguk kecil sambil masih tidak bersuara.

"Jaehyun baru bisa keluar dari rumah sakit seminggu lagi, setelah perawatan intensif lainnya." kata dokter tersebut sebelum akhirnya keluar dari ruangan.

"Berapa lama?" gue baru bisa berbicara setelah dokter itu keluar, walaupun suara gue masih terdengar parau, "Berapa lama aku disini?"

"Enam bulan..." kata Mami dengan⏤tunggu.

Gue memperhatikan Mami dari atas sampai bawah, merasa ada yang janggal. Gue nggak begitu mengindahkan jawabannya tentang berapa lama gue... koma. Gue lebih menyadari kalau ada yang berbeda dari Mami.

"Ma-mami..." dan dengan itu Mami tersenyum sambil mengangguk, "Iya, dua bulan lalu mami melahirkan, sayang..."

Napas gue langsung tercekat, membayangkan Mami yang harus melahirkan sementara anak pertamanya berbaring di rumah sakit dengan seluruh alat menempel di tubuhnya, yang saat itu pun nggak ada dari Mami atau Papa yang tahu kapan gue akan bangun lagi. Kemudian air mata gue turun mendadak, dan gue terisak. Membuat Papa yang dikenal sebagai orang yang tegas dan cuek itu berjalan dengan langkah lebar dan merengkuh gue ke pelukannya.

"A-aku... maaf-" isak gue dan entah bagaimana gue nggak bisa berhenti menangis. Lalu satu hal lagi menyadarkan gue seakan-akan gue tersambar petir. "Jadi... aku- nggak kuliah?"

Mami dan Papa sama-sama menggeleng, "Sekarang bulan November, nak. You sure missed a lot, right?" ujar Papa yang masih merangkul gue. Lalu apa yang gue lakukan selama 6 bulan ini? Kenapa gue rasanya kaya ikut ospek, kuliah, dan semacamnya? Kenapa hal-hal itu rasanya nyata? Jadi selama ini gue hanya mimpi?

Tangan gue yang masih dipenuhi dengan infus kemudian meraih tangan Mami dengan cepat, genggaman gue cukup erat untuk ukuran orang yang baru beberapa waktu lalu terbangun dari koma.

"Fasya... Fa-fasya kemana???"

Kali ini kedua orangtua gue mengrenyit bingung, kedua alis mereka bertautan, kemudian Papa mengambil kursinya dan duduk di sebelah gue, "Temen kamu?"

"Y-ya! Temen aku! Mami kenal, kan?" tanya gue setengah histeris. Masalahnya Mami tetap menunjukkan wajah bingungnya, seakan-akan gue sedang berbahasa alien. "Ya kan? Mami tau Fasya kan?"

"J-Jaehyun... nak..." kata Mami dengan wajah khawatir, "Mami nggak pernah kenal yang namanya Fasya........"

Sekarang petir itu lagi-lagi menyambar kepala gue, membuat kepala gue pening seada-adanya. Seperti kebanyakan informasi yang mendadak sampai di otak gue, tetapi kali ini adalah... nggak tau, kenyataan? Ah, gue masih nggak mau percaya kalau kenyataannya adalah seperti ini. Gue kemudian memegangi kedua sisi kepala gue, berusaha menahan sakit di hati dan pusing yang tiba-tiba melanda. Kalau gue sedang berdiri, mungkin gue udah jatuh.

"Ma-mami jangan bercanda..."

Rasanya lebih baik kalau gue masih koma, karena gue nggak perlu menyerap informasi sebanyak dan setiba-tiba itu. Kehidupan gue saat koma, atau kehidupan gue saat gue mimpi, jauh lebih baik dari ini semua. Tangan gue gemetaran, sementara itu Papa berusaha mencari dokter yang ada karena takut gue pingsan lagi. Nggak apa-apa, mungkin itu lebih baik.

Lebih baik gue koma lagi. Lebih baik gue ada di tempat yang ada Fasya, yang semuanya baik-baik aja.

Dan setelah itu gue nggak sadar lagi.

( II )  DARKNESS.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang