Aku ingat dengan jelas malam itu. Setiap detilnya tak pernah kulupakan bahkan satu detik pun. Karena hanya dengan mengingatnyalah aku bisa tetap membuatnya seolah berada di sisiku. Walau kita tidak pernah bertemu lagi untuk kedua kalinya. Tidak dalam waktu yang cepat, seperti yang aku harapkan di awal aku mulai menunggumu.
Dahulu, di dalam ingatanku. Dia adalah sosok bidadari dengan rambut hitam legam yang terurai hingga menyentuh punggung. Duduk di depan meja bartender, di antara riuhan manusia yang berdansa dengan liar, dengan alunan lagu yang mengganggu telinga. Setidaknya dahulu, aku masihlah sosok pemuda yang masih lugu. Terikat dengan semua peraturan-peraturan yang dibuat keluarga. Dan sepenuhnya dilepas saat umurku mulai menginjak 24.
"Ayolah Dave, nikmati musiknya." Sahut temanku yang sudah dari tadi menikmati alunan lagi dengan menggerakan seluruh tubuhnya di dance floor, lalu kembali dengan menggandeng seorang wanita yang terkikik mesra seolah mereka sudah kenal satu sama lain.
"HAHAHA. Sabar Bro. Sobat kita ini baru keluar dari cangkang. Belum tahu nikmatnya dunia. Sebentar lagi juga dia bakal seperti kita. Kalem saja." Teriak Endo, sosok di dekatku yang menemaniku namun kaki dan tangannya bergerak-gerak dari tadi. Maklum saja, teman-temanku sejak awal masuk SMA sudah mengenal dunia malam. Dengan koneksi yang dimiliki, mudah saja mereka memasuka club-club terkenal di Jakarta dan bermain wanita. Dan aku harus terima menjadi orang yang paling cupu disini.Walau beberapa kali papaku mengajakku kesini untuk urusan bisnis. Namun mamaku yang protektif tak kenal lelah untuk memantau segala gerak gerikku. Baru setelah lulus inilah aku diizinkan bermain tanpa pantauan sang mama. Hadiah yang dari dulu aku minta karena tidak pernah protes ataupun mengecewakannya dalam hal prestasi dan perilaku.
"Gue lemesin badan dulu ye." Ucap Endo sambil menepuk pundakku. Sedangkan Dani, temanku yang lain, sudah sibuk dengan wanitanya.
Pandanganku sendiri beralih ke arah wanita dengan baju hijau, pendek sampai paha dengan bahu sedikit terbuka. Setidaknya dia tidak memperlihatkan belahan payudara seperti sebagian banyak wanita di sini. Sesekali dia tersenyum dan melambai kepada seseorang tak jauh dari tempatnya, namun tak terlalu kupedulikan.
Wajahnya tak penuh dengan pulasan make up, terlihat fresh dan masih muda sekali. Namun aku merasa dia tidak berbaur dengan sekitarnya, dia berputar di dunianya sendiri, dan berusaha terlihat nyaman, sama seperti yang lainnya. Saat temannya menggandengnya dan menuntunnya untuk ikut berdansa dengannya dia tersenyum seperti terpaksa. Tapi tak lama kemudian dia ikut menari, walau dengan gaya yang agak kaku. Hmm. Sepertinya tarianku lebih baik dari dia. Di acara kampus kadang ada acara party kecil di antara temanku. Walau endingnya sudah bisa ditebak. Mamaku yang memberlakukan jam malam hanya membolehkanku pulang maksimal jam 10 malam.
"WOI. Kemari Dave!" teriak Endo. Samar. Namun fokusku masih pada sang wanita yang menari. Dan kini ada lelaki yang mulai mendekati punggungnya dan menggoyangkan tubuh di depan wanita itu. Lalu senyum merekah di bibirnya. Membuat dadaku bergetar tak tenang. Melihat wajah yang semakin menawan itu melemparkan pesonanya pada pria lain.
Sialnya, Endo pun mulai menjengkelkan. Dia ikut mendekatinya dan membisikan sesuatu ke telingan si wanita. Aku jengkel seketika. Hingga badanku bergerak ke arahnya melesakkan tubuhku di antara kerumunan, sedikit menabrak teman sialanku itu.
"Argh. Kalem bro. Kakiku jangan kau injak lah!" ujarnya.
Lalu wanita itu kembali tersenyum, bibirnya melengkung dan tawa kecil keluar dari mulutnya. Indah sekali.
Benar kata mereka.
Bahwa aku adalah orang yang belum pernah menikmati hidup.
Dan hari ini aku mendapatkannya. Kenikmatan indah yang tak pernah kudapatkan sebelumnya, berupa senyuman indah dari bidadari yang melemahkan jantungku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sleeping With The Boss
RomanceCerita Mainstream tentang Boss dan Sekretarisnya. Bacalah dan lihat bedanya :)