My Boss

576K 12.1K 62
                                    


Hari ini aku bermaksud makan malam dengan Ronald. Semenjak beberapa hari lalu Rendra pergi ke Palembang, dan aku pindah ke apartementku yang baru, aku mengetahui bahwa ternyata Ronald satu gedung apartement denganku. Dia sudah beberapa kali datang ke tempatku. Dan untuk malam ini, aku bermaksud membuatkan makan malam untuknya. Aku memasak seafood pesanannya, karena dia menantangku untuk membuktikan pada Ronald bahwa aku bisa memasak. Huh, tentu saja aku bisa. Wanita yang terbiasa hidup sendiri sepertiku lebih memilih memasak daripada membeli makanan di luar. Lebih hemat kupikir. Suara bel di pintu mengakhiri aktivitasku di dapur. Sekarang aku berjalan menyambut Ronald di luar sana.

"Wow, Kau datang sangat cepat," Aku tersenyum mendapati Ronald dengan jas tersampir di pundak dan kemejanya yang terbuka dua kancing di atasnya. Dia selalu tampil menawan, bahkan dengan penampilan berantakan seperti sekarang.

"Yah, aku tak sabar lagi untuk memakan masakan spesialmu itu," Katanya sambil berkedip. Haha, dia tak pernah lupa untuk menebarkan pesonanya.

"Iya, tapi kau datang terlalu cepat hingga aku belum sempat berganti baju," jawabku sambil melirik kaus dan celemek yang masih menempel di tubuh. Lengkap dengan celana jeans selutut yang kupakai. Ronald meneliti tubuhku dari bawah ke atas.

"Hm, kukira kau tak harus berdandan untuk tampil cantik. Karena bagiku kau cantik dalam kondisi apapun. Kau seperti.. chef yang cantik dan seksi, seperti yang di tv. "

Aku tertawa, dia selalu berhasil membuatku senang dengan ucapannya.

"Simpan gombalanmu untuk wanita lain Ronald. Jangan untukku."

Ronald terkekeh, dan kami menyantap makanan dengan nikmat saat itu.

"Wah, kau memang pintar memasak. Aku tidak akan pernah bosan bila tiap hari disuguhi masakanmu yang lezat seperti ini," komentar Ronald setelah menyuapkan omelette seafood buatanku.

"Haha. Berhentilah mengucapkan hal yang sama berulang ulang. Kau membuatku bosan mendengarmu." Sahutku bosan. Ini sudah ke empat kalinya dia berkata makananku lezat.

"Aku serius Sheila, masakanmu benar benar..enak, Aku akan senang sekali bila kelak kau bisa menjadi istriku dan memasakan makanan seperti ini tiap hari,"

Aku menatapnya tajam kemudian memutar kedua bola mataku, "Ya.. ya aku mengerti, terima kasih atas pujianmu Mr. Ronald."

"Sheila, kau tahu aku selalu serius dengan ucapanku," Katanya kemudian setelah menarik nafas dalam dalam.

"Maksudmu?"

Dia menatapku dan memegang jemariku, lalu menciuminya satu persatu, "Yah, tentang aku ingin berkencan denganmu. Aku ingin menjadi kekasihmu."

Aku terdiam menatap Ronald, memang beberapa hari lalu dia sempat mengatakan suka padaku sambil bercanda, namun aku tak menyangka dia sangat menginginkanku seserius ini. Bukan pertama kalinya aku berpacaran, tapi memang sudah lama sekali aku tidak membiarkan para pria masuk ke dalam hatiku demi ambisiku untuk mendapat lelaki mapan. Sekarang Ronald yang masuk ke dalam kriteriaku mengucapkan keinginannya untuk berkencan dengan mudah padaku. Apa aku harus menerimanya?

"Aku .. aku.. maafkan aku Ronald, aku hanya butuh waktu." Sebuah kalimat yang tak kurencanakan keluar dari mulutku. Aku ingin memarahi mulutku yang seenaknya berucap seperti itu pada Ronald. Bukankah lelaki seperti dia yang kau inginkan? Kenapa malah berbicara sebaliknya ha?

"Aku akan menunggumu." Ucapnya.

Suasana hening seketika. Kami terdiam, berkutat dengan pemikiran masing masing. Menyantap makanan kami dalam kecanggungan. Hanya suara sendok yang beradu dengan piring mengiringi diamnya kami, dan menyelesaikannya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Setelah selesai makan, kita menonton televisi bersama. Film box office yang sering ditayangkan hampir larut malam, bercanda dan tertawa ketika melihat aksi heroik aktor berotot dan berkepala plontos yang menurutku sangat seksi. Kegiatan ini menyenangkan, mengisi waktu dengan ketenangan dan canda tawa. Tidak ada saling mengejek, tidak ada saling membentak, tak ada pertengkaran seperti saat aku bersama Rendra. Sampai Ronald pulang dan kembali ke tempatnya. Semuanya terasa begitu tenang, hitam dan putihnya terlalu nyata untukku. Berbeda saat aku dengan Rendra, sekarang tak ada perasaan berdebar, tak ada kemarahan, tak ada kebingungan, atau gairah yang tiba tiba ingin meminta pelepasannya.

Aku menuju kamar, masuk ke dalam selimut dan memejamkan mataku. Aku tak pernah seperti ini sebelumnya. Ketika ada suatu peluang besar yang menguntungkan di hadapanku, aku selalu mengambilnya dengan cepat tanpa ragu. Lalu kenapa aku menolak Ronald? Pria sukses dan tampan yang menjadi incaranku untuk dijadikan calon suami. Semuanya terasa buram dan hambar. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan saat ini.

Sampai beberapa waktu berlalu, entah berapa menit, selalu saja begini tiap malam, untuk tidur seperti biasa saja semuanya terasa sulit. Aku menyingkirkan selimut yang kupakai lalu berdiri untuk mengganti bajuku, membuka kaus merahku dan celana jeansku, melemparnya ke keranjang cucian lalu mengambil kemeja putih milik Rendra dan memakainya, mengendusnya sesaat dan menyemprotkan parfum Rendra seluruh tubuhku yang terbungkus kemejanya. Berharap wangi itu dapat membuatku menghilangkan rasa sesak karena begitu tersiksa saat mengingat sosok lelaki yang akhir akhir ini mampir di otakku. Aku benci diriku sendiri yang begitu mudahnya terjatuh ke dalam pesona lelaki bodoh seperti Rendra.

Kubaringkan tubuh di tempat tidur. Tanpa selimut, hanya kemeja putih beraroma Rendra yang selalu membuatku tertidur nyenyak akhir akhir ini. Membayangkan lelaki itu sedang meringkuk di hadapanku sambil memeluk tubuhku. Aku yakin telah menjadi gila karena tak melihatnya akhir akhir ini. Bahkan aku tak pernah membiarkan dia menghubungiku. Aku takut tak bisa mengendalikan diri. Aku takut akan menjadi wanita murahan yang rela menyerahkan dirinya hanya demi sebuah perhatian dari lelaki yang hanya berpikir ingin menyetubuhimu, bukan mencintaimu.

***

Pagi ini aku berpikir untuk secepatnya mengundurkan diri dari perusahaan Rendra. aku harus menghilang dari hadapannya, sebelum dia kembali dari Palembang. Aku benar benar benci ketika harus menyimpan sebuah rasa kepada lelaki player macam dia. Sekitar tiga hari lagi dia akan pulang, dan aku harus segera pergi dari tempat kerjaku agar tak bertemu dengan bosku. Bagaimanapun caranya. Setidaknya itulah yang kupikirkan pagi ini, sampai sebuah kenyataan yang tak diperkirakan menjadi penghancur rencana yang ku buat. Saat ini, aku melihat seorang lelaki sedang duduk di kursiku, membongkar laciku, membuka dokumen dokumen tak penting yang tergeletak di sana, dan memandang fotoku yang terbingkai indah di meja. Mulutku terbuka, kepalaku menggeleng. Aku tak percaya semua ini.

Mata itu kini menatapku, mengunci pandanganku hingga terpusat seluruhnya pada sosok itu. Dia mengangkat alis tebalnya yang membuat sosoknya semakin menarik, selalu saja begini. Lelaki itu selalu membangkitkan hasratku dimana saja dia berada. Aku harap ini adalah khayalanku saja. Tapi ini benar benar nyata. Lelaki itu dengan setelan kerjanya mendekatiku perlahan, aroma mint dari tubuhnya begitu nyata menusuk hidungku. Dia menarik pinggangku dengan kedua tangannya hingga tubuh kami berdekatan, lalu mengecup puncak kepalaku, keningku, pipiku, mengecupnya berkali kali dengan cepat, hingga akhirnya merengkuhku erat. Membawaku ke dalam pelukannya yang hangat. Seolah tak akan dia lepas. Aku benci perasaanku sekarang. Aku benci diriku yang sangat mendambakan pelukannya. Sudah lama sekali aku tak merasakan kehangatan dekapannya. Wangi tubuhnya yang memabukanku, begitu berbeda dengan saat aku mengenakan kemejanya dan mengendus parfum yang kusemprotkan ke bajunya.

Dia mengangkat kepalaku lalu menatap mataku erat, aku suka sekali mata itu. Mata tajam yang membuatku ingin melakukan segalanya untuk sekedar menarik perhatiannya agar selalu melihatku. Hawa panas di antara kami begitu kuat, hembusan nafasnya di wajahku membuatku tanpa sadar mendesah, begitu menginginkan dirinya. Ciuman itu pun terjadi, kami mengerang bersama merasakan kedua bibir yang entah berapa lama tak pernah lagi bersentuhan, bagai magnet kami saling menempel, saling menghisap, begitu panas. Aku melingkarkan tanganku di lehernya, agar tak terjatuh saat tubuh ini melemas dengan sentuhannya yang tak henti menyerangku.

Ya Tuhan, lelaki ini membuatku hilang akal. Aku gila karena merindukannya. "Mmmh," tak rela saling melepaskan bibir walau hanya untuk mengambil nafas, kami kembali saling mengisi. Tenggelam dalam sebuah ciuman paling dahsyat yang baru pertama kali kutemui. Aku bersumpah ini adalah ciuman terhebatku dengan lelaki. Seumur hidup, baru kali ini aku merasakan ciuman senikmat dan seindah ini.

***

To be continued

Sleeping With The BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang