Family

962 76 1
                                    

Disclaimer

Boboiboy punyanya Monsta... ;)

Warning... Please Read it first.. :P

Then, happy reading....

-------

Ahh... aku memimpikannya lagi. Seseorang menggandeng tanganku dan menarikku berlari menuju hutan di belakang rumah. Tawanya dan tawaku bersahut-sahutan diiringi nyanyian serangga musim panas yang riang. Punggungnya yang kecil tampak begitu gagah dalam penglihatanku, meski kuyakin kami memiliki tinggi yang sama. Tangannya yang tak kalah kecil dariku entah kenapa terasa begitu besar dan hangat. Genggamannya seolah menyiratkan bahwa ia takkan pernah melepasku. Aku terpana. Suaranya yang merdu, senyumnya yang terbias cahaya mentari musim panas tampak begitu menyilaukan.

Siapa dia? Kenapa aku merasa begitu bahagia hanya karena ajakannya untuk bermain di luar rumah? Kenapa setiap gerak tubuhnya membawa perasaan nostalgia yang tak asing? Kenapa dadaku terasa begitu sesak karna perasaan rindu yang begitu memuncak? Siapa dia?

Saat otakku tak henti-hentinya mempertanyakan hal itu, pemandangan hutan rindang di belakang rumah berubah menjadi kegelapan total dan saat itu pula aku kehilangan tangan yang berada dalam genggamanku. Sosok masa kecil diriku terdiam saat sosok kecil dirinya berdiri di hadapanku. Ia masih tersenyum, senyum yang menyiratkan kesenduan yang terpendam. Seolah ia berusaha tetap bahagia sementara ia tau, kebahagiaan adalah hal yang begitu mahal baginya.

Ia mengucapkan sesuatu beriringan dengan air mata yang jatuh mengalir. Dan aku mengulurkan tangan meraihnya, hanya untuk meraih kegelapan yang menenggelamkanku.

Kegelapan yang menyambutnya ketika membuka mata adalah kegelapan dari sebuah kamar kecil yang sama sekali tidak ia kenal. Kegelapan yang perlahan mulai memudar ketika cahaya sang mentari mulai menyelinap melalui celah-celah gorden dari jendela kecil di dekat tempat tidur yang ia tempati. Ini dimana? Ia bertanya dalam hati sebelum kemudian memutuskan untuk bangkit dan menyadari bahwa pipinya basah.

"Mimpi itu lagi, eh?". Sejujurnya, ia tidak pernah mengingat dengan jelas mimpi yang membuatnya selalu menangis dalam tidurnya itu. Semua terasa samar baginya dan yang tersisa hanyalah perasaan sesak yang menyakitkan di dadanya ketika ia membuka mata. Seolah mimpi itu mencoba memperingatinya akan sesuatu. Sesuatu yang ia lupakan atau sesuatu yang ia ingkari. Namun ia tidak pernah mengerti.

PRANGG!!

Suara keras yang berasal dari luar membuat ia tersentak dari dunianya. Sontak ia menghapus air matanya dan beranjak turun untuk mencoba mengetahui apa yang telah terjadi. Mengabaikan fakta bahwa ia adalah 'orang asing' di tempat itu, ia justru bertindak seolah-olah ialah tuan rumah disana. Melangkah menuju lantai satu dan ia menyadari bahwa suara itu berasal dari dapur. Di sana ia melihat seorang remaja lelaki seusianya tengah berjongkok memunguti pecahan kaca berwarna putih. Ia menduga bahwa remaja lelaki itu baru saja menjatuhkan sesuatu.

"Kak Taufan? Kakak sudah bangun?", tanya remaja itu ketika menyadari keberadaannya di dapur itu.

"Ahh iya.", ia tersenyum canggung. Masih saja merasa grogi meski orang yang ia hadapi adalah anak yang ramah dan mudah bergaul. Yahh walau bagaimana pun mereka baru bertemu kemarin. Wajar saja rasanya jika Taufan merasa tidak terbiasa.

"Maaf, aku pasti membangunkanmu...", sesal anak itu.

"Tidak. Aku memang sudah bangun kok. Jadi, tidak apa-apa.", balas Taufan berusaha bersikap baik. "Eh benarkah? Sekarang masih jam 5 pagi loh. Apa semalam Kak Taufan tidak bisa tidur?"

"Bukan kok. Hanya saja aku terbangun karna mimpi buruk umm...."

"Gempa. Kak Taufan lupa ya?", tebak remaja bernama Gempa itu. Membuat Taufan mau tidak mau merasa bersalah karena sifat pelupanya yang sepertinya sudah sangat akut. Ia bahkan melupakan nama dari orang yang baru semalam memperkenalkan diri padanya. Gempa saja ingat, masa ia lupa sih?

"Hehe... Maaf. Aku memang pelupa."

"Tidak apa-apa kok. Soalnya Kak Hali juga pelupa. Jadi aku udah biasa menghadapi orang pelupa.", gurau Gempa yang kini sudah kembali sibuk dengan bahan masakan yang terletak di meja setelah membereskan kekacauan yang ia timbulkan.

"Hali?", gumam Taufan seraya mencoba mengingat rupa orang yang bernama Hali ini. "Jangan bilang Kak Taufan juga lupa Kak Hali?", tanya Gempa seraya memandang Taufan dengan tatapan yang menyiratkan 'Kau serius?' yang hanya dibalas tawa kecil dari Taufan.

"Halilintar. Dia itu orang yang menolongmu semalam. Ingat?", ujar Gempa memberi penjelasan singkat. Awalnya Taufan sedikit takut kalau sifat pelupanya ini akan membuat si tuan rumah merasa tersinggung. Namun perasaan itu buru-buru disingkirkannya begitu melihat Gempa tampak berusaha menahan tawa. Dan untuk itu Taufan merasa ia gagal paham.

"Oh... Orang menyeramkan dan menyebalkan yang menolongku itu namanya Halilintar?", ucap Taufan tanpa sadar seraya mengingat-ingat rupa orang yang tadi malam telah menyelamatkannya dari kemungkinan menjadi gelandangan di tempat yang benar-benar asing baginya.

"Menyeramkan? Menyebalkan?", mendengar gumaman Gempa dan tatapan tidak mengenakan yang diarahkan padanya membuat Taufan menyadari bahwa ia baru saja menyuarakan isi pikirannya. Oh.. Apakah kali ini ia akan diusir karna tidak pandai menjaga mulutnya?

Taufan baru saja berpikir untuk meminta maaf akan kelancangannya ketika suara tawa Gempa terdengar memenuhi seluruh dapur. Eh? Apa yang terjadi?

"Oh... Kak Taufan. Kau benar-benar orang yang menarik.", ujar Gempa di sela-sela tawanya. Dan Taufan masih saja tidak mengerti apa yang telah terjadi.

"Kau kenapa? Apa aku mengatakan sesuatu yang aneh?"

-------

To be Continued


Missing StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang