Dear Brother

532 60 3
                                    

Here's the next chapter

Thank you for you who keep reading my story. You save my spirit to keep writing... 

Hontouni arogatou gozaimasu...

Disclaimer and warning still the same...

So, here your story....

-------

Halilintar memandang Gempa yang semenjak pulang sekolah tadi terlihat begitu muram. Sebenarnya ia sudah mulai bisa menebak apa yang terjadi, namun entah kenapa baginya penjelasan Gempa jauh lebih penting dibanding hal apapun yang telah ia simpulkan. Meski begitu, adik kandungnya itu terus menerus berusaha menghindari tatapannya dan lebih memilih untuk menunduk seolah-olah dirinya berada di lantai dan bukan di hadapannya.

"Maafkan aku..."

Setelah keheningan yang cukup lama –Halilintar membiarkannya karena ingin Gempa yang memulai lebih dulu- akhirnya sebuah suara yang lebih mirip seperti gumaman terdengar.

"Untuk apa?", Halilintar berusaha tenang seraya bersikap seolah sama sekali tidak mengetahui apa yang tengah terjadi. Ia ingin mendengarnya secara langsung dari Gempa. Apapun itu, ia tidak akan memandang segalanya hanya dari sudut pandanganya saja.

"Karena aku...", Gempa memainkan jemarinya. Pertanda kalau ia gelisah. Sungguh hal yang jarang karena anak itu sudah terlatih untuk bicara di hadapan siapa saja bersama siapa saja. Jadi kenapa ia harus gelisah ketika harus berbicara dengan orang yang harusnya paling dekat dengannya?

"Aku tidak sengaja.", ucapnya akhirnya ketika tidak mampu menemukan kata lain yang tepat. Halilintar masih tampak tenang. Tak banyak perubahan ekspresi yang tampak di wajahnya. Meski begitu tidak ada yang pernah tau apa yang sedang dipikirkan si sulung itu.

"Tentang Blaze dan Ice?"

Anggukan menjadi jawaban. Halilintar menghela nafas, terlihat lebih santai lalu menyandarkan tubuhnya yang lelah pada sandaran sofa.

"Kenapa kau merasa bersalah?"

"Karena aku.... Blaze menangis. Aku, tidak bisa berpikir lebih luas. Semua terlihat apa adanya di mataku. Karena itu... aku tidak tau..."

"Angkat kepalamu Gempa. Aku disini bukan disana."

Anak itu tampak terkesiap sebelum akhirnya memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan menatap langsung pada Halilintar. Hal yang sungguh tak diduganya ketika ia menemukan sebuah senyum tipis di wajah sang kakak.

"Apa aku tampak marah?"

Meski ragu, ia menggeleng.

"Apa aku begitu mengerikan di matamu?"

Gelengan lagi, kali ini lebih kuat. Karena memang Gempa sama sekali tidak pernah berpikir begitu meski kebanyakan orang memandang kakaknya demikian.

"Lalu kenapa kau merasa takut?"

Gempa terdiam seolah tersadar. Apa yang ia takutkan? Halilintar tidak mungkin marah begitu saja padanya. Lalu kenapa?

"Aku sudah mendengar dari Ice. Kau hanya tidak melihat semua yang terjadi. Karena itu, wajar jika kau marah pada Blaze. Aku pun akan melakukan hal yang sama jika aku jadi kau."

Gempa mengangkat kepalanya kala itu. "Tapi, hal pertama yang harus kau lakukan adalah tenang. Bukankah itu keahlianmu?"

"Kau tau alasan Blaze memukul temannya?", tanya Halilintar begitu Gempa tidak memberikan respon yang berarti. Anak itu menggeleng.

"Bukankah kau harus menanyakannya?"

"Maafkan aku...". Halilintar menghela nafas lagi lalu bangkit berdiri. Ia berjalan menghampiri Gempa lalu menepuk kepalanya ringan. "Jangan minta maaf padaku Gempa. Bukan aku yang terluka disini. Aku hanya ingin kau tau, jika apapun yang terjadi jangan biarkan emosi menguasaimu. Dan selalu ingat, marahnya seorang yang lembut sepertimu jauh lebih mengerikan dibanding marahnya aku yang mungkin memang pemarah."

Sekarang Gempa mengerti kenapa Blaze tampak begitu ketakutan ketika ia tak sengaja membentaknya tadi. Ia sudah pernah mendengar kalimat itu, tapi ia sama sekali tidak pernah menyangka jika hal itu akan terjadi pada dirinya. Padahal ia hanya meninggikan suara. Apa ia sungguh berlebihan?

"Dan aku juga minta maaf." Gempa menatap Halilintar dengan alis yang ditautkan. Kenapa justru kakaknya ini yang meminta maaf?

"Maaf karena aku memberikan kepercayaan yang terlalu berat padamu. Seharusnya aku sadar, kau masihlah remaja yang butuh kebebasan dan bukannya beban tanggung jawab. Karena itu aku minta maaf."

"Kak Hali jangan minta maaf! Ini bukan salah kakak! Hanya saja aku....", ia mengalihkan pandangannya dan entah kenapa semburat merah muda pun menjalar di pipinya. "Aku hanya menyayangimu. Karena itu.... Aku ingin membantu kakak menanggungnya."

Jawaban itu sama sekali bukanlah hal yang diduga oleh Halilintar. Karena itu ia tidak bisa menahan diri untuk tidak terkejut begitu mendengarnya. Kenapa Gempa sampai berpikir seperti itu? Apakah ia tampak begitu terbebani dengan semua ini? Apa karena itu Gempa juga merasa kalau dirinya harus bertanggung jawab? Tidak. Bukan ini yang ia harapkan. Seharusnya....

"Kak?"

Halilintar terkesiap dan menatap Gempa sejenak. Adiknya itu tampak khawatir. "Aku juga menyayangimu. Menyayangi kalian semua. Karena itu.... Tetaplah bersamaku dan akan kupastikan semuanya baik-baik saja."

Gempa tersenyum lebar mendengarnya. Senyum yang jarang tampak mengingat Gempa lebih sering tersenyum apa adanya sebagai bentuk kesopanan semata. Sangat jarang ia menunjukkan kalau dirinya benar-benar senang. Dan melihat itu membuat Halilintar mau tidak mau merasa sangat bersyukur. Karena hanya demi untaian senyum kebahagiaan dari adik-adiknya, ia akan melakukan apa saja.

-------

Jam sudah menunjukkan jam lima petang ketika Gempa keluar dari dapur bersamaan dengan Halilintar yang baru saja turun dari lantai dua. Ia menyandang sebuah tas selempang sederhana berwarna hitam yang membuat Gempa segera paham kemana sang kakak akan pergi di jam seperti ini.

"Tetap kerja?", tanyanya seraya menyerahkan sebuah kotak makanan. Bekal untuk makan malam Halilintar. Sebuah anggukan diterimanya bersamaan dengan diambilnya kotak bekal itu dari tangannya. Gempa tersenyum maklum sekaligus sedih. Maklum karena keiiritan sang kakak dalam berbicara serta sedih karena Halilintar harus meninggalkan rumah untuk bekerja di jam-jam yang seharusnya dihabiskan dengan beristirahat bersama keluarga. Meski Gempa ingin protes, namun rasanya ia tidak bisa. Hanya dengan tidak menyusahkan sang kakak sajalah caranya untuk membantu meringankan bebannya. Karena itu, ia berpikir di tengah kehidupan mereka yang berat ini, ia tidak boleh bersikap egois meskipun keegoisan itu hanya berupa keinginan untuk dimanja dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama dengan keluarganya.

"Kenapa kau selalu memasang wajah seperti itu saat aku akan pergi?", terlontar sebagai pertanyaan, namun Gempa tau kalau Halilintar pasti sudah tau dengan pasti jawabannya. Jadi ia hanya menggeleng seraya tersenyum tipis.

"Kakak harus cepat kalau tidak mau terlambat.", kata Gempa mengingatkan. Halilintar tidak berkata apa-apa lagi setelahnya. Ia hanya mengulurkan tangan untuk menepuk pelan kepala Gempa sebelum kemudian berbalik dan berjalan menuju pintu.

"Aku akan pulang terlambat. Tidurlah lebih dulu, jangan menungguku.", kata Halilintar sebelum benar-benar berlalu. Gempa hanya diam disana selama beberapa saat. Tidak mengerti kenapa hatinya tetap merasa begitu gelisah ketika rutinitas seperti ini telah mereka jalani bertahun-tahun lamanya. Harusnya ia terbiasa, harusnya ia tidak lagi menunjukkan kelemahan dirinya. Karena kelemahannya hanya akan menjadi beban bagi keluarganya.

"Kau seperti seorang istri yang ditinggal suami saja.", komentar dengan nada bercanda itu datang dari Taufan yang baru saja turun dari lantai dua. Membuat Gempa sedikit heran akan tingkat adaptasi Taufan yang kini sudah bisa bersikap seolah-olah ia tinggal di rumah miliknya sendiri dan bukannya orang lain.

"Kak Taufan...", kekagetan di wajah Gempa perlahan sirna berganti dengan kesedihan yang begitu kentara namun seakan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. "Kakak tidak mengerti....", kata Gempa pada akhirnya sebelum kemudian pergi meninggalkan Taufan yang hanya bisa dibuat terheran-heran olehnya.

"Apa yang terjadi?"

-------

To be Continued

Missing StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang