First Day

712 65 1
                                    

Happy Reading.... ;D

-------

"Kau kenapa? Apa aku mengatakan sesuatu yang aneh?"

Pertanyaan yang terdengar polos itu entah kenapa terdengar begitu konyol bagi Gempa. Tidak, bukan karena kalimat itu benar-benar lucu, namun entah kenapa situasi dimana kalimat itu ditujukanlah yang lucu menurut Gempa. Untuk sesaat pemilik mata berwarna emas ini menarik nafasnya berusaha menenangkan diri. Astaga, ia benar-benar bertingkah seperti bukan dirinya. Dan penyebabnya adalah remaja yang kini berdiri di sisinya. Menatapnya khawatir seolah ia baru saja melakukan hal yang benar-benar perlu dikhawatirkan. Oh ralat. Seorang Gempa yang tertawa terbahak-bahak memang perlu dikhawatirkan.

"Tidak. Aku tidak apa-apa.", kata Gempa akhirnya. Ia tersenyum sekilas. Namun kali ini senyumnya lebih lebar dari sebelumnya. Tangannya kembali bergerak untuk mengolah bahan makanan di hadapannya yang sempat terabaikan.

"Jadi?", suara Taufan terdengar menuntut.

"Kau orang pertama yang berani berkata seperti itu tentang Kak Hali.", ucap Gempa jujur. Meski ia tidak dapat melihatnya namun ia yakin kalau saat ini Tuafan tengah mengerinyitkan dahinya tak paham. Jadi ia kembali melanjutkan, "Kak Hali memang dingin dan cuek. Terkadang sampai terkesan mengerikan. Namun baru kau orang yang berani menyatakannya secara gamblang."

"Kenapa?"

"Yahhh....", Gempa tampak berpikir sejenak sebelum kemudian berkata, "Mungkin karena tatapan Kak Hali saja sudah cukup untuk membungkam mereka semua. Itu pun kalau kau mengerti maksudku."

Untuk sesaat keheningan melingkupi dapur kecil itu. Yang terdengar hanyalah suara pisau yang beradu dengan talenan ketika Gempa memotong sayuran serta suara air mendidih yang langsung padam tak lama setelah Gempa mematikan kompor.

"Ahhh kau benar. Tatapannya memang mengerikan. Tapi entah kenapa juga terkesan lucu.", ujar Taufan santai disertai sebuah senyum. Gempa terpaku beberapa saat mendengar pernyataan itu. Namun kemudian ia tersenyum lembut dan bergumam, "Kau benar..."

"Mau kubantu memasak?"

"Memangnya Kak Taufan bisa memasak?"

Taufan terlihat ragu.

"Err... Aku akan berusaha."

Dan Gempa tidak mempunyai pilihan lain selain membiarkan orang asing yang ditolong Halilintar semalam membantunya menyiapkan sarapan pagi itu.

"Kak Taufan, bisa bantu bangunkan Kak Hali dan yang lainnya?", tanya Gempa begitu masakan yang ia buat akhirnya selesai dan tinggal disajikan di atas piring. Taufan yang baru saja selesai menyeduh teh hanya mengacungkan jempol lalu melangkah menuju lantai 2 untuk membangunkan orang yang sedari tadi menjadi bahan pembicaraan mereka. Tapi tunggu, 'yang lainnya?'. Apa ada orang lain yang tinggal di rumah ini selain Gempa dan Halilintar. Tapi, rasanya semalam ia hanya bertemu dengan kedua orang itu.

Tak mau ambil pusing, Taufan lebih memilih untuk memastikannya sendiri. Ia mengetuk pintu kamar yang berada tepat di sebelah kamar tempatnya tidur semalam. Sekali dua kali namun tidak ada jawaban ataupun balasan. Taufan mengerinyitkan dahinya heran. Apa ia salah kamar? Tapi rasanya memang kamar ini yang disebutkan Gempa.

Taufan baru saja akan mengetuk pintu kamar itu sekali lagi ketika pintu itu lebih dahulu terbuka, menampilkan sosok seorang anak kecil setinggi pinggangnya. Ya, anak kecil dan bukannya remaja yang membantunya semalam. Dan Taufan hanya bisa cengo di tempat.

"Kau siapa?", mereka berdua berujar bersamaan.

"Errr...." Taufan yang tidak tau harus berkata apa, hanya bisa menggaruk kepalanya sambil memikirkan cara untuk menghadapi situasi absurd ini.

"Aku Taufan. Um.. Halilintar ada?". Dan Taufan sangat yakin bahwa itu adalah pilihan kata terpayah yang bisa dipikirkan otaknya di saat seperti ini.

Mata anak itu mengerjap lucu sebelum kemudian menyipit. Ia menatap Taufan seolah-olah ia adalah seorang kriminal yang sangat berbahaya dan patut diwaspadai. Merasa kalau dirinya harus mengatakan sesuatu, Taufan membuka mulut untuk berucap, namun batal ketika anak itu kembali masuk ke dalam kamar dan membanting pintu tepat di hadapannya.

"Kak Hali! Ada orang mencurigakan!!!"

Dan sekali lagi, Taufan hanya bisa cengo di depan pintu tanpa tau harus bersikap seperti apa.

"Baru satu hari aku pergi dari rumah dan lihat apa yang terjadi padaku?", batinnya merana. Entah kenapa, Taufan merasa perlu mengasihani dirinya sendiri setelah ini.

"Kak Hali! Ada orang mencurigakan!!!"

Suara debaman pintu ditambah dengan teriakan cempreng seorang bocah menggema ke seluruh kamar bernuansa merah itu. Mengusik tidur seorang remaja yang akhirnya bisa tidur dini hari tadi. Oh ayolah... Masalah apa yang bisa muncul pagi-pagi begini. Tidak mungkin kan, anak baik dan budiman seperti Gempa membuat masalah?

Ia baru saja akan kembali terlelap ketika sesuatu yang berat tiba-tiba saja menimpa perutnya. Membuat ia spontan membuka mata dan mengerang kesakitan.

"Apa yang kau lakukan Blaze?", tanyanya pada sosok anak kecil yang kini tengah memeluk perutnya. Anak itu mengangkat kepalanya lalu menunjuk ke arah pintu.

"Ada orang aneh di depan pintu. Dia juga sangat mencurigakan."

Halilintar mengerutkan alisnya begitu mendengar penuturan adiknya itu. Orang mencurigakan? Siapa?

"Katanya dia mencari Kak Hali."

Menghela nafas Halilintar akhirnya memutuskan untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Sebenarnya ia masih ingin menikmati tidurnya barang beberapa menit lagi. Setidaknya ia yakin jika hal itu dapat mengurangi sakit kepala yang tengah ia rasakan saat ini. Namun sayang, ia harus menyelesaikan masalah yang mungkin saja terjadi tanpa sepengetahuannya.

"Ennghh... Kak....Hali?"

Halilintar mengusap kepala seorang bocah laki-laki di sisi kanannya. Berusaha membuatnya kembali tertidur seraya menarik tangannya yang menjadi bantal bagi anak itu.

"Tidurlah kembali Thorn..." ,bisiknya pelan. Menurut, anak itu kembali tertidur nyenyak meski sempat terganggu ketika Halilintar memperbaiki posisi tidurnya.

"Blaze kalau mau tidur lagi juga tidak apa-apa. Biar kakak yang menemui orang mencurigakan itu.", ujar Halilintar pada anak yang masih setia memeluk perutnya. Namun anak itu menggeleng lalu melompat turun.

"Laze mau sama Kak Hali. Biar nanti kalau orang itu jahat, Laze bisa lindungi kakak..", katanya dengan yakin. Keyakinan yang begitu polos. Membuat Halilintar tidak bisa tidak menarik senyum karenanya.

"Blaze gak mau lindungi Ice, Thorn dan Solar?"

Anak itu tampak ragu. Ia melirik ketiga saudaranya yang masih tidur lelap di atas tempat tidur. Seolah telah berhasil membulatkan pikirannya anak itu kembali menggeleng. "Laze mau lindungi Kak Hali dulu. Nanti baru lindungi Ice, Thorn dan Solar.", ucapnya seraya mengepalkan kedua tangan dan menunjukkannya pada Halilintar. Membuat sang kakak tersenyum lalu berdiri menghampiri sang adik yang selalu bisa membuatnya tersenyum dengan segala tingkah lucunya. Bahkan orang yang katanya menyeramkan seperti Halilintar bisa dibuat tersenyum hanya karena adik-adik kesayangannya. Dan mungkin hanya mereka yang bisa membuatnya tersenyum.

"Baiklah... Kalau begitu, ayo..", ia kemudian menggandeng anak berusia 7 tahun itu. Meski kelihatannya berani, namun ketika Halilintar membuka pintu kamarnya, Blaze langsung bersembunyi di balik tubuh sang kakak. Dan tentu saja Halilintar sudah mengetahui hal itu. Jadi ia hanya bisa menggeleng maklum lalu menatap sosok remaja sebayanya yang berdiri dengan tampang bodoh di depan kamarnya. Mengetahui siapa orang mencurigakan yang dikatakan Blaze tadi mau tidak mau membuat Halilintar menghela nafas. Tentu saja Blaze tidak mengenali anak itu. Hanya ia dan Gempa yang masih bangun ketika Taufan datang ke rumah mereka. Harusnya ia sudah menduganya..

"Jadi ternyata kau 'orang mencurigakan' itu?"

-------

To Be Continued

Missing StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang