waktu,kamu dan aku

329 13 3
                                    

"Hai!

Shania mengerjap sesaat. Ditatapnya sosok pemuda di sampingnya. Ia ingat pemuda ini, sahabat tunangannya sendiri yang pernah datang ke ulang tahun Boby yang ke-26, tahun lalu. Ia melakukan banyak hal mencolok saat pesta berlangsung dulu, membuat Shania terheran.

"Melamun?"

Shania menggeleng. "Menatap hujan."

"Apa enaknya menatap hujan?"

Lelaki yang sok ikut campur ini bernama devan kinan. Shania tersenyum simpul. "Karena aku suka. Apa pedulimu?"

"Namamu Shania, kan?"

Shania terdiam. Diturunkannya sendok puding yang digenggam tangan kanannya. Diletakkannya sendok itu di atas mangkok di tangan kirinya. Ia bergerak maju, mendekat pada teralis balkon."Sebaiknya kamu kembali ke dalam. Aku tak mau kekasihmu salah paham melihat kita mengobrol."

Kinan tertawa. "Naomi?" tanya Kinan. "Kamu khawatir karena kekasihku, atau tunanganmu?"

Shania menoleh. Kinan sudah berdiri tepat di sampingnya, mendekat di teralis balkon rumah mewah keluarga Boby."Boby tak mungkin cemburu padamu."

"Kata siapa? Ia tahu aku tertarik padamu."

Shania menoleh tajam.

Kinan menyuguhinya senyum lebar.

"Pergilah. Kepalaku pusing."

"Ouch, aku ditolak," ujar Kinan sambil memasang muka terluka.

"Aku tidak tertarik padamu."

Aku cuma ingin ngobrol denganmu, Shania. Kamu tak kelihatan bahagia, padahal ini pesta ulang tahun tante Mirna." Kinan menjulurkan tangannya, menadahi rintik gerimis di tangannya.

"Jangan sok membaca pikiran orang. Tidak cocok sekali dengan wajahmu," jawab Shania santai. "Membicarakan soal kebahagiaanku. Kamu benar-benar sok tahu. Langit Jakarta tak selalu cerah. Kamu tahu itu, kan?"

"Tapi hujan juga tak selamanya mengalir. Dengan suasana menyenangkan seperti ini, tak seharusnya kamu mengasingkan diri di sini."

"Salah kalau aku tak suka berada di sekitar keluarga Boby?"

Kinan menggeleng. "Yang salah adalah kalau kamu tahu Boby tidak mencintaimu, tapi kamu tetap ingin di sampingnya meski ia hanya menerimamu karena—"

"Kasihan?"

Kinan bungkam.

"Bagaimana sendiri denganmu? Bukankah menerima perempuan seperti Sinta Naomi karena kasihan padanya yang mencintaimu, juga adalah salah?"

Mata Kinan melebar.

"Sepertinya apa yang pernah diceritakan Boby padaku benar. Tak selamanya, matahari di langit menjamin kalau langit tak akan hujan."

"Aku melakukannya karena aku merasa dulu tak memiliki seseorang untuk dicintai."

Shania mendengus. "Sama saja. Aku menjalani hubungan ini hanya dengan mencintai. Menunggu seseorang datang untuk mencintaiku? Manusia tak bisa serakah. Pilih salah satu: mencintai, atau dicintai."

"Pernah mencoba untuk mendapatkan dua-duanya?" tanya Kinan.

Shania terdiam sebentar lalu tertawakecil. "Memangnya kamu mau mencoba?"

"Aku sedang mencoba sekarang."

Mata Shania melebar.

Kinan melongok ke bawah, ke arah gerbang.

"Sekarang aku tahu kenapa kamu mendatangiku."

"Hemm?"

"Kamu cuma merasa kita sama saja. Kamu kemari karena ingin mengolokku, kan? Padahal kenyataannya kamu hanya mencari kesamaan."

"Tidak juga, aku memang tertarik padamu."

Shania tak tahu harus menjawab apa lagi. Lelaki di hadapannya ini aneh. Untuk apa dia tertarik padaku? Boby bahkan tak pernah benar-benar menerimanya. Ada seorang Sinta Naomi, kenapa harus memilih diriku yang bukan siapa-siapa dan bukan dari keluarga berada?

"Kamu mengajakku berselingku"

"Hujannya reda."

Shania menoleh, menatap matahari yang mulai membiaskan cahayanya di angkasa. Awan mendung mulai menyingkir.

"Manusia tak seharusnya serakah. Tapi tak ada larangan untuk mencoba,kan?"

Shania ingin sekali-sekali bersikap serakah sejujurnya. Bertahun-tahun. Ia lelah berada di posisi yang sama.

"Aku tunggu di gerbang depan."

Sama seperti gerimis yang mendadak menghilang, serta langit yang mendadak menampakkan cerahnya lagi, pemuda itu juga dengan cepat menyingkir. Pembicaraan itu terlalu mendadak. Namun tak bisa Shania pungkiri, mereka berdua sama saja. Kenapa harus berusaha menjadi oranglain dan menerima apa yang sudah ada jika mampu memperjuangkan selebihnya? Shania selalu berpura-pura baik-baik saja, dan Kinan berpura-pura seolah ia bahagia. Kenapa tidak mencoba peluang yang ada? Kinan menawarkan sebuah pertaruhan. Kalau mereka berhasil, mungkin mereka bisa mendapatkan apa yang lebih dari sekarang. Risiko? Mungkin kehilangan Naomi maupun Boby.

Shania menarik napas dalam-dalam dan membisikkan suaranya di udara.

"Lima menit lagi aku ke sana."

END...

One Shoot Jkt48Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang