a/n : i know times may be hard for you right now, so close your eyes and just breathe. You can get through this. And check mulmed too, his songs is magic.
.prolog.
"Pulanglah ke rumah."
"Akan kupikirkan."
Lalu ada detik-detik yang dipenuhi dengan keheningan, seperti sebelumnya, sebelumnya, dan sebelumnya. Sehun enggan bersuara dan seperti yang sudah-sudah ia hanya akan menghitung dalam hati; satu detik, dua detik ... lima, enam ...
Setelah banyak waktu yang terbuang, hubungan mereka berubah menjadi begitu canggung. Dan alih-alih ingin memperbaikinya, amarah tiba-tiba saja menerjang Sehun ketika dari seberang sana suara samar yang penuh keriangan terjaring indra pendengarannya. ("Aku pulang! Waaah! Ayah tidak bekerja?")
... sepuluh detik.
"Ada banyak tugas yang harus kuselesaikan. Akan kututup."
Lalu embusan napas terdengar. "... kalau begitu, jagalah dirimu, Nak."
"Hm." Menggumam pelan, Sehun mengakhiri sambungan telepon tersebut, lantas melemparkan ponselnya ke atas kasur.
Kemudian, hanya demi memandang jalanan kota Seoul yang dipenuhi hiruk-piruk, Sehun mendekati jendela. Ada banyak hal di dalam kepalanya yang saling tumpang-tindih, lalu meledak menjadi fragmen-fragmen yang membakar dadanya, menjadikannya lupa cara bernapas.
"Aku pulang! Waaah! Ayah tidak bekerja?"
"Jangan benci Tuhan, Sehun. Ibu akan baik-baik saja."
"Baik-baik saja, ya?" Sehun mendeguskan tawa lewat hidung.
Lelaki bertubuh setinggi 183 sentimeter itu kemudian merogoh kantong celananya dengan mata yang masih terpaku pada kehidupan kota Seoul di bawah sana. Ia tersenyum sangat tipis ketika menemukan benda yang ia cari. Sebuah silet untuk ia goreskan pada lengannya.
Sehun akan selalu merasakan endorfin menggerus amarahnya di detik setelah ia melukai diri dengan silet. Darah mengalir dan satu-satunya yang ia rasakan adalah ketenangan. Sehun menyukai perasaan itu; tenang, bahagia, dan ia akan melakukan apapun untuk dapat terus mengecapnya, termasuk jika itu berarti harus melukai tubuhnya. Ia memiliki satu sumber yang mampu membawanya ke dalam perasaan-perasaan tersebut dan dia telah pergi untuk memberikan alasan bagi Sehun membenci dunia.
Sehun membenci dunia dan seluruh isinya yang seolah-olah berkonspirasi untuk membuatnya hancur. Ia membenci ayahnya yang tidak benar-benar ada untuk menghentikan ketika semua-semua perlahan meruntuh. Dan lebih dari itu ... Sehun membenci Tuhan, yang menciptakan dunia, yang menciptakaan kehidupannya, pun yang menciptakan banyak kebahagaian dalam hidupnya hanya demi merampasnya kembali ketika ia tidak siap. Tidak pernah siap.
...
"Apa perlu kami antar sampai kelasmu?"
"Pap, aku akan baik-baik saja!" Sooji memberengut sambil melipat tangannya di atas dada.
"Kemarin kau bilang akan baik-baik saja dan kau pulang dengan sepatumu yang basah," ujar pria di balik kemudi.
Sooji tertawa yang lebih terdengar seperti ringisan. "Hari ini aku janji akan baik-baik saja," jawabnya sambil membuka pintu mobil. "Sampai jumpa, Appa, sampai jumpa Papa!"
"Kau tidak menciumku?"
"Appa! Aku sudah besar!"
Pria di balik kemudi tadi hanya terkekeh lalu membiarkan Sooji ke luar dari mobil tanpa menggodanya lagi. Ia membunyikan klakson, sementara Sooji melambaikan tangan sampai mobil sedan yang membawanya tadi menghilang.
Sooji menghela napasnya sembari menghitung satu sampai tujuh sebelum melangkah melewati pintu gerbang sekolahnya yang menjulang lima meter dari permukaan tanah. Perutnya selalu terasa seperti dililit setiap ia melewati gerbang tersebut, seolah-olah itu adalah pertanda bahwa harinya tidak akan menjadi baik-baik saja. Lalu imaji di dalam kepalanya berubah menjadi nyata; seorang anak menyengajakan untuk menubruk bahunya keras-keras.
"Kau punya mata, jadi minggirlah!" Bukannya kata maaf yang ia dapatkan, anak perempuan yang menabraknnya tadi justru memarahinya. Sooji tidak mengerti, ia tidak salah. Namun, akan tetap mendapatkan hal-hal seperti tadi.
"Ew! Jangan dekat-dekat dengannya! Ia menjijikan, keluargannya menjijikan!"
"Ya! Kenapa kau masih punya keberanian untuk menunjukkan wajahmu di sini?"
Lalu ketika beberapa anak secara terang-terangan mengoloknya, yang lainnya akan sibuk menertawainya atau menyebut-nyebut namanya dalam setiap bisikan menyakitkan.
Ia sudah dan selalu merasakannya. Seharusnya itu tidak lagi mengganggu, tapi tetap saja, rasanya begitu buruk. Namun, Sooji tidak akan pernah membalas, satu-satunya yang akan ia lakukan adalah berbisik pada dirinya sendiri; tidak apa-apa. Mencoba menenangkan sembari mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Meredam sebentuk emosi yang menyengat ujung-ujung jari kakinya hingga ke pucuk kepalanya. Tuhan mengajarkan untuk membalas keburukan dengan kebaikan, jika tidak bisa, akan lebih baik jika kita diam.
Sooji terus melangkah, tidak mengacuhkan orang-orang yang membenci dirinya ketika tanpa tedeng aling-aling sebuah lengan merangkulnya. Ia memutar lehernya untuk mendapati gadis berambut panjang dengan wajah datar yang menatap lurus ke depan sambil mengunyah permen karet. Kemudian membuat gelembung dari permen karetnya yang hanya mampu bertahan tidak lebih dari dua detik.
"Sesekali kau harus melawan."
.
.
.
Terima kasih sudah membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
you don't have forever
Fanfictiondiscontinued, sorry. [trigger warning: self harm and suicide thought] Sooji merupakan sosok nyata dari hangat dan cerewet, sedangkan Sehun adalah jelmaan kontinen bersalju yang banyak diam. Sooji mensyukuri hidup ketika Sehun tidak pernah menghentik...