xv

489 88 48
                                    

PAGI itu pukul tujuh ketika Sehun memutuskan untuk menjawab panggilan ayahnya. Tidak ada alasan khusus, kecuali karena ia merasa terganggu. Pasalnya intensitas panggilan dan pesan masuk dari ayahnya meningkat akhir-akhir ini dan jujur saja jika Sehun sangat-sangat-sangat-sedikit merasa bersalah karena dengan sengaja mengabaikannya. Namun, saat perasaan sentimental itu sedikit timbul, rasa muak akan kembali datang seperti ombak yang bergelung-gelung dan memenuhi pikiran Sehun dengan pertanyaan, "apa ia juga pernah merasa bersalah ketika dulu Sehun memanggilnya dan ia tidak menjawab?"

"Kau akhirnya menjawabku," Sehun menangkap rasa syukur pada nada suara ayahnya, juga suara hiruk-piruk jalan. Ia dapat membayangkan ayahnya berada di dalam mobil dengan sopir dan asisten pribadinya yang akan membacakan seluruh jadwalnya selama seharian, "apa kau baik-baik saja?"

"Tentu. Kau?"

"Aku juga baik-baik saja, Nak. Begitu pun dengan Juhyeon dan Jihoon."

Sehun mendengus. Tanpa sungkan menunjukkan ketidaksukaannya begitu mendengar dua nama tersebut. Di seberang sana, ayahnya menghela napas berat.

"Apa ada sesuatu yang ingin kau sampaikan padaku? Aku harus segera berangkat ke sekolah."

"Malam Natal nanti pulanglah ke rumah."

Ada waktu yang Sehun biarkan menghening. Mungkin lima atau tujuh detik; kali ini ia enggan menghitung.

"Ada yang harus kita per--"

"Aku akan memikirkannya," Sehun menyela. Ia tidak ingin mendengar lanjutan dari kalimat itu; karena seperti yang lalu-lalu, itu hanyalah sebuah omong kosong, "aku harus segera pergi sekarang."

"Kalau begitu, jaga dirimu baik-baik."

"Kau juga." Dengan begitu, sambungan mereka terputus. Sehun menurunkan ponselnya dari telinga hanya demi menghabiskan beberapa detik dengan memandanginya tanpa kata.

...

Bel istirahat telah berdering sejak lima belas menit yang lalu akan tetapi sepertinya majalah dinding di lantai satu lebih menarik ketimbang makanan di kantin sekolah. Orang-orang mengerumuninya seperti semut-semut yang mengerumuni gula. Sooji menghentikan langkahnya, begitu juga dengan Hyeri yang berjalan bersama dengannya. Mereka baru saja dari kantin untuk membeli ramyun cup tanpa Soojung karena anak itu sibuk rapat dengan tim kedisiplinan. Katanya, itu adalah rapat terakhir sebelum libur musim dingin.

"Kenapa ramai sekali?" Sooji menjulurkan lehernya sembari berdiri di ujung jemari kaki.

Hyeri berusaha menyelinap ke barisan depan, walau tidak mendapatkan hasil apapun, kecuali dirinya yang terdorong-dorong dan kuah ramyun-nya yang hampir tumpah, "ouh! Kau hampir membuat kuahku tumpah!"

Anak perempuan yang Hyeri berikan teriakan hanya menoleh sebentar dengan lirikan mata yang sinis dan dengusan merendahkan. Ia menggumam sesuatu yang tidak dapat Hyeri tangkap kecuali kata 'idiot'.

"Kau yang idiot!" Hyeri mendesis. Di sampingnya, Sooji masih berusaha mencuri lihat. Kali ini tidak lagi berjinjit, melainkan melompat-lompat.

"Hey ladies, ini adalah giliran anak laki-laki tinggi untuk bekerja."

Hyeri dan Sooji menoleh ke kiri pada waktu yang sama untuk mendapati Jongin yang melemparkan cengiran dan kedipan mata genit serta Sehun yang berdiri tanpa minat. Hyeri pura-pura mual, Sehun mencibir, dan Sooji adalah satu-satunya yang menertawakan tingkah Jongin.

Jongin menjulurkan lehernya, lantas menyipitkan matanya agar penglihatannya lebih jelas, dan beberapa detik kemudian ia telah mendapatkan informasi, "hanya pengumuman audisi teater."

you don't have foreverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang