iv

660 152 18
                                    

SELAMANYA, momen-momen itu akan merekat dalam ingatan Sehun; air wajah ibunya yang begitu cerah ketika mereka pergi berbelanja ke mini market dekat rumah demi membeli sekantong besar popcorn, keripik kentang, tteokbokki instan dan berkaleng-kaleng soda. Ibunya mengajak melakukan movie marathon di Jumat malam dan Sehun tidak perlu berpikir untuk menyetujuinya.

Oh Mari memerhatikan putranya yang masih terbahak bahkan setelah film komedi yang mereka tonton menampilkan credit title. Ia melirik jam antik besar yang terletak di sudut ruang keluarga dan menemukan bahwa waktu telah menunjukkan pukul satu lewat sepuluh menit.

"Sehun ..." Sehun menengok dengan tawa yang masih menyisa, "ada yang ingin Ibu bicarakan."

"Ada apa?"

Senyum pada wajah ibunya yang tidak menyentuh mata; terasa begitu mengambang di wajahnya yang masih terlihat muda. Sehun tidak berasumsi macam-macam, kecuali berpikir ibunya akan mengangsurkan sebuah kabar dan bisa jadi itu adalah kabar baik, seperti bagaimana jika ibunya hamil lagi? Sehun tertawa dalam hati pada pemikirannya sendiri. Sejak dulu, ia mengimpikan seorang adik laki-laki yang dapat menemaninya bermain bisbol. Namun, semuanya jauh dari apa yang Sehun pikirkan; ibunya menyodorkan surat dengan banyak kata yang Sehun tidak mengerti kecuali tulisan perihal kanker payudara stadium tiga.

Sehun cepat-cepat menoleh ke ibunya, menunjukkan tatapan ketidakpercayaannya untuk mendapati ibunya yang tersenyum. Saat itu Sehun menjadi mengerti mengapa ibu adalah sosok yang paling kuat. Ibu menahan semua hanya demi memberikan satu senyum paling menenangkan; ada kesedihan pada mata ibunya yang beliau tahan untuk mengalir.

"Minggu depan Ibu akan dioperasi untuk mengangkat sel kanker dan setelah itu melakukan kemoterapi." Mari meraih tangan Sehun untuk ia genggam. Mencoba menyingkirkan ketakutan yang jelas terlihat pada wajah putra tunggalnya. Sehun hanya diam. Sementara kata 'mengapa' yang ia ajukan pada Tuhan tidak dapat ia hentikan; pertanyaan-pertanyaan di dalam otaknya itu justru menjelma menjadi air mata yang menganak di kedua pipinya.

"Ibu akan baik-baik saja, Nak."

Satu minggu kemudian, Sehun dan ayahnya duduk dalam ketegangan sembari merapalkan doa (saat-saat seperti ini, orang-orang memang berubah menjadi sangat-sangat religius), menunggu Mari menyelesaikan operasinya. Hampir tiga jam Mari berada di ruang operasi. Dokter bilang, meraka memerlukan waktu satu jam untuk mengangkat payudara kiri Mari yang sudah digerogoti sel kanker dan dua jam setelahnya adalah menunggu Mari sadar dari efek obat biusnya. Hari itu, Sehun juga jadi tahu bahwa kanker itu telah ada bertahun-tahun, ayah dan ibunya hanya mencoba untuk menyembunyikannya dari Sehun.

Ketika suster mendorong Mari yang terbaring setengah sadar serta mengigil, Sehun kira ia tidak dapat lebih sedih lagi. Sehun berjalan mengikuti bersama ayahnya yang merangkulnya. Ada "ayo kuat bersama-sama" yang dikatakan secara implisit melalui usapan pada bahunya yang ia dapatkan dari ayahnya.

Beberapa bulan kemudian, Mari melakukan banyak tes sebelum melakukan kemoterapi. Sehun terkadang bolos untuk menemani ibunya ke rumah sakit karena ayahnya sering tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Ada banyak tes yang harus Mari lakukan: tes darah (baik itu tes darah merah, tes darah putih, ataupun tes keeping darah), rontgen atau scan (bone scan, PET scan, MRI, dan sebagainya), tes keadaan paru-paru, jantung, liver, ginjal dan tes-tes lainnya. Setelah itu, dokter menjadwalkan sesi kemoterapi ibunya sebanyak enam kali selama enam bulan.

"Kau tidak perlu menemani Ibu, Sehun. Bibi Han akan menemani ibu."
Sehun menggeleng.

Ia tidak mungkin membiarkan ibunya hanya didampingi bibi Han di kemoterepi pertamanya. Ayahnya tidak dapat menemani. Entah mengapa, akhir-akhir ini beliau menjadi sibuk sekali. Namun, Sehun tidak terlalu memikirkannya karena kepalanya telah dipenuhi oleh keadaan ibunya.

you don't have foreverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang