1. the meaning of love

1.3K 150 55
                                    

Mata gadis itu sudah seperti jeruk nipis yang diperas habis-habisan. Wajahnya kusam, rambutnya berantakan, air matanya tidak berhenti berderai. Suaranya lirih, sesekali ia sesenggukan, menarik nafas dengan lemah, lalu membuangnya perlahan bersamaan dengan air mati pilu yang terus berhamburan dari balik mata sipitnya. Gadis itu sedang berada di titik terhampanya selama ia hidup 16 tahun di dunia ini.

"Vrill, lo udah nangis tiga jam lebih." Ujar seorang gadis berpakaian seragam SMA sembari menyentuh lembut lengan gadis yang sedang menangis itu.

Vrill menelan salivanya dengan susah payah. Mulutnya mulai terbuka. "Shill----" ia langsung terbatuk. Suaranya parau, hidungnya tersumbat karena sudah penuh oleh cairan yang menghambat pernafasannya.

"Nih, minum dulu." Shilla menyodorkan botol air mineral kepada gadis yang tengah rapuh itu. Tanpa sepatah katapun, Vrill langsung meneguk air mineral itu sampai habis.

"Udah lah, Vrill, lo tinggal di rumah gue aja. Jadi lo gaperlu denger bokap nyokap lo tiap hari bertengkar terus." Shilla meyakinkan sahabatnya itu dengan tatapan tegasnya.

Vrill menunduk lemah. Ia tidak pernah membayangkan bahwa keluarganya yang penuh dengan cinta kasih akan berujung semenyedihkan saat ini. Jangankan membayangkan, berfikir bahwa Papanya akan meninggalkan Mamanya saja tidak pernah.

Sudah tepat satu minggu kedua orangtua Vrill selalu terlibat cekcok. Awalnya Vrill berpikir bahwa itu hanya masalah biasa atau masalah kantor dan pekerjaan. Tapi, kenyataannya sungguh mencambuk perasaan Vrill dan Agatha--Mama Vrill--. Ternyata, Leon---Papa Vrill--- memiliki wanita idaman lain yang membuat Leon betah tidak pulang ke rumah sampai berminggu-minggu.

Leon menelantarkan istri dan anak sematawayangnya demi seorang wanita muda yang berhasil menggoyahkan keharmonisan rumah tangganya dengan Agatha. Bahkan, Leon sudah mengatakan tepat dihadapan Vrill dan Agatha, bahwa ia akan segera menikahi wanita simpanannya itu dengan atau tanpa persetujuan dari keduanya.

"Gue mau mati aja Shill," suara serak dari mulut Vrill sontak membuat mata Shilla terbelalak.

"Lo jangan gila, Vrill! Gue masih ada disini buat lo, gue disini untuk ikut memikul beban lo, gue sahabat lo Vrill kalo lo lupa!" Emosi Shilla langsung membuncah. Air matanya perlahan-lahan melebur. Dadanya turun naik, perasaannya seketika menjadi kacau mendengar ucapan dari sahabatnya itu.

Vrill tersungkur lemah. Ia duduk diatas tanah beralaskan rumput hijau di taman yang kala itu memang kebetulan sepi. Ia sudah tidak tahu lagi bagaimana melambangkan kehancurannya, air matanya hampir kering, umpatan-umpatan kasar ia sebutkan seperti mantra, ia sudah seperti orang yang kehilangan akal. Nyatanya, semua itu tidak membuat keadaan baik berbalik padanya. Malahan makin terasa rumit dan berantakan.

Perasaan Vrill kosong, ia sudah tidak dapat merasakan apa-apa. Ia mati rasa, semua ini terlalu sakit untuk ia rasakan sedini ini. Dunia seperti memeranginya, bahwa ia pernah melakukan sebuah dosa besar sehingga sang Pencipta memberikannya hukuman seperih yang ia rasakan saat ini.

"Vrill, pulang ya?" Shilla menatap wajah pucat itu dengan lembut. "Apa yang gue punya, apa yang gue milikin, apapun yang ada didiri gue, gue mau berbagi semuanya sama lo, Vrill. Lo berhak buat bahagia, lo berhak hidup tenang, lo berhak untuk mendapatkan cinta meskipun bukan dari orang yang lo harepin. Lo harus bangkit, lo harus buktiin bahwa lo lebih kuat dari apa yang mereka pikirin. Buktiin ke Om Leon kalo misalkan lo udah dewasa, buktiin ke dia kalo lo tetep baik-baik aja meskipun tanpa dia. Lo harus kuat, karena gue disini. Gue disini untuk ngasih lo energi. Lo ga lupa kan janji kita? Seneng sedih bareng-bareng itu bukan cuma wacana, Vrill. Gue mau berbagi apa aja buat lo, gue mau---"

Ucapan Shilla terpotong saat Vrill menghamburkan tubuhnya kepada Shilla. Ia memeluk sahabat lawasnya itu dengan hangat dan dengan perasaan hangat yang menggebu-gebu. Air matanya kembali menetes dengan deras. Walau dunia membencinya, Vrill sadar, bahwa masih ada satu orang yang masih sangat peduli kepadanya, yang mengerti keinginannya, yang memahami perasaannya, dan yang ada untuknya kapan saja.

***

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam." Suara seorang pria terdengar dari balik pintu. "Loh? Lo berdua kenapa matanya pada bengkak? Abis nangis? Diputusin cowo? Apa maen jambak-jambakan sama kakak kelas? Hah? Lo berdua kenapa? Jawab oy!"

"Ishh, kak Daffa berisik amat sih ah!" Shilla langsung nyelonong masuk kedalam rumah sembari merangkul Vrill yang ada disampingnya.

"Lailaha walakuwatta, dasar kids gatau aturan. Ditanyain ama kakaknya bukannya dijawab eh malah nyelonong!" Decak Daffa sembari menutup kembali pintu rumahnya.

"Vrill, lo mau makan dulu apa langsung istirahat?" Tanya Shilla ketika ia dan karibnya itu sudah berada didalam kamarnya.

"Gue istirahat aja." Jawab Vrill singkat.

Shilla hanya mengangguk. "Kalau gitu, gue kebawah dulu, ya."

Tidak ada jawaban dari Vrill, ia hanya tersenyum singkat, kemudian membiarkan Shilla keluar dari dalam kamar.

"Eh, eh, sini sini."

"Apasih kak, Shilla mau nyari Bunda nih. Bunda kemana?" Shilla mengerutkan keningnya kearah Daffa.

"Lo sama Vrill kenapa, hah? Kenapa mata lo berdua kaya abis nangis?"

"Ya emang abis nangis."

"Kok bisa? Siapa yang bikin nangis? Masalahnya apa?"

"Makanya, ketemu Bunda dulu, baru Shilla cerita semuanya."

"Yeee Bunda mah gabakal pulang kalo gak Magrib."

"Yaudah, tungguin sampe Magriblah."

Mata Daffa langsung membulat. "Gue gatelnya sekarang, masa digaruk nanti. Elahhh gimanasi lo?"

"Gatel? Gatel apaan?"

"Yailahh cantik-cantik peak juga nih orang!" Daffa menoel kepala adiknya itu dengan gemas.

"Apaansi! Sakit tau!"

"Ya maksud gue, gue kan penasarannya sekarang, masa dikasih tau nanti. Entar basi ga seru lagi gimana?"

"Ember!" Suara sahutan seseorang membuat Shilla dan Daffa langsung melirik kompak kearahnya.

"Nambah lagi dah satu lagi kambing congek kepoooo." Shilla menatap dua orang laki-laki yang berdiri didepannya itu dengan malas.

"Ikut-ikutan bae lu kaya ekor kecoa." Daffa menjitak kepala Daffi yang tak lain dan tak bukan adalah saudara kembarnya.

Daffi mengerutkan keningnya, "emang kecoa ada ekor?"

"Mon maap ni yaaa, maaap banget, tapi masalah rumah tangga di selesaikan dikamar aja. Gausah heboh disini, orang lain keganggu, bye! Assalamu'alaikum." Shilla menerobos melewati celah kecil yang membatasi jarak antara Daffa dan Daffi yang berdiri bersisian.

"Tuh liat! Ade lu tuh!" Emosi Daffa tak tertahan lagi.

"Ya emang ade gua, emang gue adenya dia? Kagalah, lu aja kalo mau." Jawab Daffi enteng.

Daffa menghembuskan nafasnya dengan kasar. "Kaga abangnye kaga adeknye, hadehh sama-sama peak ya Allah! Apa cuma hamba yang Engkau ciptakan dengan otak yang cerdas ya Allah? Bila memang iya, Alhamdulillahirobbil'alamiin."

"Aamiin," Daffi mengusap wajahnya menggunakan kedua tangannya setelah selesai mendengarkan Daffa mengucapkan hamdalah.

Daffa geleng-geleng kepala sambil menatap kembarannya itu dengan miris.

Crush On YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang