Entah nasib sial apa yang sedang menghampiri Vrill akhir-akhir ini. Mulai dari masalah pertengkaran orangtuanya, nilai mata pelajarannya yang menurun, dan beberapa saat yang lalu, secara sepihak Doni memutuskan hubungan mereka tanpa suatu alasan yang jelas dan pasti.
Dada Vrill naik-turun, badannya bergetar, ia menangis hebat. Baginya, ini adalah puncak rasa sakitnya. Ketika ia membayangkan bahwa Doni akan berbeda dengan Papanya, ketika ia berharap bahwa Doni akan mengobati perlahan rasa sakitnya, namun pada kenyataannya, Doni malah meninggalkannya disaat ia sedang jatuh sejatuh-jatuhnya.
Hari ini Vrill resmi menanamkan dalam hatinya, bahwa sebenarnya ia tidak punya siapa-siapa. Hanya ia sendiri yang dapat menyayangi dirinya dengan tulus. Menerima kelebihan dan kekurangan, memahami segala permasalahan, dan menghadapinya dengan sendirian. Vrill hanya memiliki ia, dirinya, dan tubuhnya. Tidak ada orang lain yang menerimanya.
"Gue tau gimana perasaan lo saat ini,"
Vrill masih terus menangis, mencengkram kuat baju seragam sekolah Alka sampai kusut. Kepalanya berpendar tepat dibahu kakak kelasnya itu, seakan ia menumpahkan apa yang ia rasakan walau mulutnya tak berkisah. Entah, beberapa hari ini Alka selalu berhasil membuat perasaannya lebih tenang.
"Apa aku seburuk itu, kak?"
Alka menggeleng. Ia melirik sejenak kearah Vrill yang sedang bersandar dibahunya. "Masalah itu bakal selalu datang kapan aja, Vrill. Dan dia gapernah mandang baik buruknya seseorang. Ibaratnya, dia emang sengaja diutus sama Tuhan buat nyamperin manusia-manusia hebat untuk diuji."
"Kalau udah hebat kenapa mesti diuji?"
Alka menarik nafasnya sejenak, "dengerin yah, Vrill. Lulusan terbaik aja, kalo dia mau nyari kerja, pasti diuji dulu. Lulusan terbaik itu orang hebat loh. Tapi ga semudah itu untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia harus buat surat lamaran dulu, harus wawancara, dan lain-lain sampai akhirnya jika ia melewatinya dengan baik, maka ia akan lulus tahap uji. Barulah ia akan mendapatkan apa yang ia mau."
"Terus hubungannya sama aku?"
"Vrill," Alka meraih pundak gadis itu, kemudian ia menatap wajah gadis keturunan China itu dengan lekat. "Gue emang gatau apa mau dan tujuan lo. Tapi yang jelas, lo pasti pengen bahagia, lo pasti pengen orangtua lo balik kaya dulu lagi, lo juga pasti pengen Doni selalu ada disamping lo. Iyakan?"
Vrill hanya mengangguk. Tatapan mata Alka membuatnya tidak mampu mengucapkan sepatah kata.
"Tapi kebahagiaan tidak melulu harus selalu bersama-sama. Ada saatnya Tuhan ngasih space, ngasih problem, agar rasa itu semakin hebat. Coba deh kalo misalkan semua mulus-mulus aja, yang ada entar malah bosen. Ya walaupun sama orangtua, apalagi kita semakin dewasa, ada waktunya Tuhan ngasih kita cobaan untuk memperkokoh perasaan kita." Ujar Alka.
Vrill hanya diam, sedikit terpana oleh ucapan bijak dari pria jenius dihadapannya itu.
"Lo dalam tahap melamar kerja kalau menurut perumpamaan gue. Lo lagi pusing mau ngelamar ke tempat mana. Dalam artian, lo lagi bingung, mau nyelesaiin masalah dengan kedua orangtua lo dulu, atau masalah dengan Doni."
"Tapi tenang aja, pasti lo bakalan tau kok apa yang akan lo pilih duluan secepatnya." Lanjut Alka. "Setelah itu lo akan diwawancara, istilah lainnya lo akan menemukan beberapa orang yang akan membantu lo mendiskusikan dan mencari jalan keluar dari pokok permasalahan yang lo hadepin. Lo tenang aja, Tuhan udah ngatur semuanya dengan baik, kok."