Chapter 3

27 9 2
                                    

Hari ini aku sangat bahagia. Brendon memperlakukanku bagaikan princess. Memotretku, menggenggam tanganku, dan sigap melindungiku saat pengendara sepeda hampir menabrakku. Termasuk gelang yang terpasang sempurna di pergelangan tanganku ini karena ulahnya. Dia memberiku gelang yang berpasangan. Gelang yang kupakai memiliki sebuah gantungan kecil berbentuk kunci, sedangkan miliknya berbentuk gembok. Romantis bukan?

Kurasakan smartphone ku bergetar. Ada sebuah pesan masuk, berasal darinya.
"Aku mengambil cuti selama sebulan, aku bisa menemanimu keliling Eropa, will you?"

Yassshhhh!
Aku berteriak histeris, suaraku menggema di ruanganku. Aku sangat bahagia.
"Ok." Hanya itu yang dapat kubalas. Sudah lama aku tidak sebahagia ini, setelah kematian Kevin.

*** di waktu yang bersamaan ***

Seorang wanita duduk menghadap jendela kamarnya. Wanita itu sedang memperhatian sebuah foto yang diberi pigura kaca. Seorang pria sedang tersenyum lebar sambil melingkarkan tangannya dipinggang wanita itu. "Aku kangen kamu," sebuah air mata jatuh menetes diatas foto itu. Wanita itu menatap keluar jendela, berharap pria yang ada difoto itu ada disalah satu lampu yang berpendar. Dia membuka jendela kamarnya. Hawa dingin malam menusuk kulitnya hingga tulangnya ngilu, kenangannya bersama pria itu yang menusuk hatinya. Dari kejauhan menara Eiffel tampak kokoh, namun air matanya semakin deras mengalir, teringat tempat yang penuh kenangan tersebut.

***

Pagi harinya, aku membereskan barang-barangku. Trip to Venice is over. Tempat selanjutnya adalah Paris. Kota penuh cinta. Seketika aku teringat dengan Emily. Emily sering sekali merengek manja kepada Alex, pacarnya, untuk liburan ke Paris. Begitulah Emily, hanya relationship goals yang menjadi prioritas utama dalam hidupnya. Herannya, Alex hanya diam dan terlihat nyaman-nyaman saja dengan tingkah kekasihnya itu. Walau begitu, Emily adalah orang yang selalu setia menemaniku saat aku berduka karena kematian Kevin.

Brendon sudah menungguku di lobby hotel. Kita akan pergi ke stasiun dan melanjutkan perjalanan ke Paris dengan kereta. Kemarin, Brendon memaksaku untuk menggunakan jet pribadinya tapi tentu saja aku menolak tawaran itu mentah-mentah, alasanku adalah tidak bisa menikmati Eropa dengan sepenuhnya. Padahal aku hanya merasa tidak enak.

Kita sudah sampai di stasiun dan membeli tiketnya, sambil menunggu, aku mengajak Brendon mampir kesebuah toko yang menjual roti untuk sarapan pagi. Setelah selesai makan, kami masuk kedalam kereta yang akan membawaku dan dia ke Paris.

Pemandangan sepasang muda-mudi yang sedang di mabuk asmara merupakan pemandangan biasa. Hampir disetiap belokan jalan aku menemukan pasangan yang berciuman. Aku menatap wajah tampan Brendon. Mata biru yang menatap tajam kedepan, bibir tipis kemerah-merahan yang menghias wajahnya, rahang yang kuat dan hidung yang mancung membuat ketampanannya berada di level tertinggi. Saat itu juga waktu itu membeku, hanya ada sesosok Brendon di tempat itu dan suara detak jantung yang cepat hingga tanpa sadar aku berbisik "Pinokio." Brendon menoleh "Pinokio? Di mana?" Aku kaget, kepergok sedang mengagumi Brendon hingga keceplosan. "Eh bukan, nothing." Mukaku memerah, Brendon menyadari perubahan warna wajah itu, "sedang memperhatikanku ya?" Katanya sambil mencubit pipiku. Alhasil, wajahku sudah seperti kepiting rebus, benar-benar merah!

Brendon menggandeng tanganku, menuntunku ke sebuah café. Kami memesan makanan. Setelah pelayan itu pergi, Brendon membuka percakapan "aku tampan, ya?" katanya to the point. Hal itu sukses membuatku membelalakkan mataku. "Ya begitulah," diikuti dengan usahaku agar nampak biasa saja. Aku berusaha mati-matian agar wajahku tetap datar sehingga Brendon tidak curiga jika sebenarnya aku mulai mengaguminya.
"Jadi kamu sudah melupakan Justin?" tanya Brendon, dan lagi-lagi pertanyaan itu sukses membuat mataku membelalak, bedanya, setelah aku menyadari pertanyaan itu, hatiku sakit, teringat orang yang sudah menyakitiku setahun terakhir. "Ada apa?" Brendon terlihat khawatir, mungkin karena perubahan ekspresiku.

"Sebenarnya aku sudah menyingkirkan Justin dari hatiku semenjak aku tahu ia hanya memanfaatkanku." Kali ini aku berterus terang tentang kehidupanku dengan orang yang baru kukenal beberapa hari ini.
"Memanfaatkanmu?"
"Jika Justin berhasil mendapatkanku dan berhasil membuatku melepaskan pekerjaanku sebagai fotografer diperusahaan Mr. James maka ia menang taruhan."
"Taruhan? Dengan siapa?"
"Aku tidak tahu, aku berhasil mendapatkan info itu dari Alex"
Percakapan serius ini harus berakhir karena makanan yang dipesan sudah datang dan aromanya sangat menggiurkan. "Habis ini eiffel ya?" Aku hanya menganggukkan kepalaku sebagai tanda aku setuju.

Kami berdua sedang berada di bawah eiffel, Brendon mengajakku untuk naik ke puncak eiffel. Dan saat kami sudah berada di puncaknya, Brendon menggenggam tanganku, "aku ingin menjadi orang yang bisa menjagamu, menjadi orang yang kamu tunggu setiap harinya, menjadi orang yang membuatmu bahagia, melihatmu tersenyum, senyum yang kuiingan untuk sisa hidupku. Will you be my girlfriend?"
Sumpah! Aku hanya bisa terdiam mencerna kata-katanya, berharap ini bukan mimpi, aku menginjak kakiku sendiri, sakit, ternyata bukan mimpi. "Aku tahu kamu masih belum bisa membuka hati untukku, tapi aku ingin mencoba membuka itu dan..."
"Iya" aku memutuskan pembicaraannya dan dia langsung memelukku. Aku benar - benar bahagia.

***

Aku ingin mengunjungi eiffel, aku sangat merindukannya. Aku mengenakan dress yang saat itu kugunakan dan mantel untuk menghindari suhu luar yang dingin. Aku masuk kedalam mobil, menyuruh sopir pribadiku untuk mengantarkanku kesana.

Tempat ini masih sama, hanya saja tidak ada dia disampingku. Aku berkeliling, tapi tatapanku terpaku kepada seseorang yang mirip dengan dirinya, "ah tidak mungkin," pria itu berjalan memunggungiku sambil menggandeng seorang wanita. Hatik sesak, aku ingin segera pulang sebelum halusinasiku semakin parah.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang