Chapter 13

1 0 0
                                    

2 : 37am, alarmku menunjukan sekarang masih subuh saat ku terbangun. Aku harus mengatakannya bahwa ini bukan mimpi buruk biasa. Hanya rasa takut dan keringat dingin yang sama, tetapi aku tidak pernah bangun dan membayangkan bahwa mimpi ku adalah kenyataan. Tidak, aku bangun dan membayangkan jika apa yang kulihat saat ku terbangun adalah itu benar - benar mimpi. Itu sulit dijelaskan, tapi yang kulihat sebenarnya lebih seperti kepingan ingatanku daripada sebuah mimpi. Itu terlihat jika sepanjang waktu aku hanya bermimpi aku sedang melihat sesuatu yang telah usai, sesuatu yang aku ketahui, sesuatu yang aku hidup dengannya dan menjadi penyesalanku disaat aku terbangun dari tidurku.

Hal pertama yang kuingat adalah senyumnya. Senyum dari seseorang yang telah pergi. Lalu sebuah tangan, tangan yang terlalu kecil untuk menjadi milikku. Tapi itu adalah tanganku. Seperti yang kukatakan, itu adalah mimpi bukan?

Aku mengingat semua detail mimpiku. Hal - hal bodoh malah. Seperti sepatu dan baju yang kukenakan. Mereka terbuat dari beberapa lapis, terasa berat dan kainnya kaku. Sebenarnya baju yang kukenakan itu membuat kulitku gatal tapi tetap saja aku mengenakannya.

Hal selanjutnya adalah orang yang tersenyum tadi mulai berbalik badan, memunggungiku. Langkahnya menjauh dari tempat ku berdiri. Aku berusaha menggapainya namun nihil. Semakin cepat aku berlari mengejarnya, semakin jauh pula seseorang itu pergi. Tubuhnya mulai menghilang dari hadapanku, seperti debu yang tertiup angin. Tidak! Jangan pergi lagi. Dia menoleh, menatapku, mengucapkan sesuatu hal lalu ia benar - benar hilang. Pandanganku mulai nanar tertutup oleh air mata yang mulai menggenang dimataku. Aku goyah, tidak sanggup berdiri, hanya bertumpu pada lutut. Pasir hangat yang sekarang menjadi alasku mulai bertebangan. Mataku perih, beberapa diantara mereka masuk kedalam mataku. Angin mulai berhembus kencang. Aku panik, apalagi yang akan terjadi? Dan benar, di depanku ada sebuah benda besar berwarna hitam. Aku tidak tahu itu apa. Mungkin teksturnya kasar dan mungkin juga berat. Benda itu mengarah kepadaku, seperti hendak memusnahkan siapa saja yang berada diwilayahnya. Aku menutupi wajahku menggunakan punggung tanganku, berharap aku benar - benar terlindungi padahal aku tahu itu akan menghancurkan aku disaat benda itu sudah menyentuh ujung kulitku.

Karena benda hitam aneh tadilah aku terbangun disaat matahari masih enggan muncul. Suhu dikamarku cukup dingin untuk membuatku merinding. Aku membasuh wajahku dengan air hangat. Kutatap wajah yang sedang ketakutan itu sangat lama. Sejak kapan tatapan itu berubah menjadi tatapan yang sedang ketakutan? Kapan tatapan ini akan berubah menjadi ceria lagi? Aku tidak tahu, mungkin disaat semuanya telah usai.

Aku memutuskan untuk berkeliling diseluruh villa yang kusinggahi ini. Kulihat ada sebuah tempat seperti panggung kecil karena lebih tinggi dari tanah sekitarnya. Aku melangkahkan kaki ku ke tempat itu. Ternyata ada pagar yang cukup tinggi. Aku menjadikan tanganku tumpuan kepalaku diatas pagar tersebut. Lampu yang ada di kota berkelap kelip. Seakan berusaha meramaikan kesunyian malam. Angin berhembus pelan menyentuh permukaan kulitku. Aku memejamkan mataku, menikmati sentuhannya. Ya, sentuhan seseorang di puncak kepalaku.
"Kamu kok ga tidur sih? Dari dulu hobi banget ya nyusahin orang?" Aku berbalik menatap Mikhael yang sudah ada di belakangku. Lengkap dengan jubah tidurnya.
"Disini dingin, ayo masuk. Aku gamau ya kalo kamu sampe sa.."
"Sampe sakit. Iya tuan paling bawel." Aku sengaja memotong pembicaraannya karena dia.. ah ya kalian tahu sendirilah, bawel!
"Tapi.." sergahku saat dia hendak berbalik kembali ke kamarnya.
Aku segera memeluknya. Aku hanya rindu punya sandaran disaat hidup sedang memberiku ujian seberapa kuatnya aku. Mikhael memelukku balik. Ia juga mengecup puncak kepalaku. Aku menengokan kepalaku ke arah kiri, disana lampu masih saja berkelap - kelip. Mikhael menyadari aku sedang melihat sesuatu. "Suka?" Katanya. Aku hanya mengangguk sebagai jawabannya. Ia mengeratkan pelukannya pada tubuhku. Terima kasih Mikhael, aku bahagia.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang