Chapter 10

5 5 2
                                    

Tidak ada lagi mentari yang bersinar cerah, Tidak ada lagi angin yang menyejukkan,
Tidak ada lagi hati yang berbunga - bunga,
Tidak ada hujan yang menenangkan lagi.
Yang ada hanyalah luka yang semakin menanganga dihati ini. Luka lama yang belum menutup sempurna kembali bernanah.

2 bulan setelah kejadian itu, Brendon tidak pernah menghubungiku lagi. Selama itu juga aku menjalani hari - hariku dengan berat. Hari - hari kelabu yang selalu datang walaupin mentari sedang panas - panasnya.

Beberapa waktu yang lalu aku juga melamar di perusahaan Grissham. Mereka tentu saja menerimaku. Aku mendapat posisi dibagian accounting. Kuliahku di jurusan akuntansi tidak terbuang sia - sia. Aku bekerja di bawah pengendalian Mikhael. Tentu saja kita menjadi sering bertemu. Mikhael masih sama hangatnya seperti dulu. Aku sedikit terhibur karena itu.

"Nal, nanti siang ikut aku meeting ya? Sekretarisku sedang tidak dapat hadir. Kamu yang menggantikannya saja." Kata Mikhael yang sedang berdiri di depanku.
"Iya siap." Kataku yang membuat Mikhael mengacungkan jempolnya kemudian melangkah kembali ke ruangannya.

Saat aku memasuki ruangan meeting, aku melihat pria itu. Aku menatap Mikhael yang sedang tertawa karena melihatku kaget. Mikhael mendekatiku, "profesional ya Nal," katanya berbisik. Emosi ku langsung naik ke ubun - ubun.

Di sisi lain, Brendon sering menatapku sekilas. Apa dia masih marah? Tapi mengapa ia membela wanita itu?
Aku menggeleng - gelengkan kepalaku, "kamu kenapa Nala? Ada yang salah?" Mikhael yang tiba - tiba berkata seperti itu membuat ku makin sebal saja. Seolah - olah tau sikapnya tadi membuatku salah tingkah, ia meminta maaf.

Akhirnya meeting itu selesai, Mikhael belum mengijinkanku kembali ke ruanganku, Brendon juga masih ada disana.
Tidak ada yang memulai pembicaraan, akhirnya dengan segenap keberanianku, aku berkata, "jika tidak ada yang harus dibicarakan, saya kembali ke tempat saya."
Aku mulai membereskan dokumen - dokumen yang ada diatas meja. Mikhael menatapku tajam.

"Aku berharap kamu bisa hadir dihari yang sangat penting bagiku," Brendon memberiku sebuah undangan pernikahan. Seketika aku merasa duniaku runtuh. "Mungkin kamu bisa membawa pasanganmu." Kemudian Brendon keluar dari ruangan meeting itu, meninggalkan ku dan Mikhael yang masih sama - sama terkejut.

Aku membuka undangan tersebut, nama Brendon Smith dan Aila Barnett terukit indah disana dengan tinta berwarna emas diatas kertas berwarna merah maroon. Aku menahan air mataku agar tidak jatuh. Jangan sampai aku menangis di depan Mikhael.

Mikhael yang mengerti dengan keadaanku, ia segera memelukku. Ia mencoba menenangkanku. Tapi pelukannya tidak berhasil menahan hatiku yang hancur lebur. Aku menangis sejadi - jadinya.

Seharian itu aku hanya diam merenung. Setelah melihat Kevin meninggal, diikuti Brendon menikah dengan wanita lain, aku merasa masa depanku sudah hilang. Aku merutuki diriku, seharusnya malam itu aku tidak melempar wine ku ke wajah wanita itu.

***

Aku duduk di depan pusara Kevin. Merasakan hadirnya di sekitarku. Angin yang berhembus pelan seolah sedang membelai tubuhku. Membayangkan Kevin sedang duduk di depanku juga dengan kedua kakinya yang ditekuk sama seperti posisiku dan tersenyum. Kenyataannya, hanya ada batu dengan nama Kevin Grissham yang terukir di atasnya. Tak terasa air mataku menetes, jatuh diatas tanah tempat Kevin tidur. Tapi disisi lain aku merasa tenang. "Kevin, kapan kita ketemu lagi?" Aku berbisik, memeluk batu nisan. Angin kembali berhembus menyentuh ujung - ujung rambutku yang sekarang mulai bergerak perlahan.

"Kevin aku mau cerita," kali ini aku tidak dapat membendung tangisku. Aku menangis sejadi - jadinya ditempat Kevin beristirahat. Ku ceritakan semua hal yang sudah terjadi selama ini.

Sebuah ranting pohon yang tidak terlalu besar jatuh di depanku. Mengingat angin yang berhembus mulai kencang, tak aneh jika ranting itu terputus dari pohonnya dan jatuh. Aku mengambil ranting itu, " Vin, inget gak, dulu kamu buat flower crown dari ranting pohon, kurang bunganya nih, Vin." Aku mengaitkan ranting - ranting itu hingga melingkar. Aku memakainya diatas kepalaku, "hasilnya gak sebagus yang kamu buat, Vin." Kali ini tangisku tak tertahankan lagi.

Aku merasakan ada tangan yang menyentuh pundakku, "ayo pulang, aku antar." Mikhael memberikan sapu tangannya untuk menghapus air mata yang membasahi wajahku. Aku sempat tertidur sebelum Mikhael datang. Aku menyadari cukup lama aku tertidur karena sekarang hari sudah mulai gelap dan hanya ada sedikit guratan - guratan jingga di langit.

Mungkin Mikhael menyadari aku yang menatap langit dengan tatapan kosong terlalu lama, "kalo Kevin masih hidup, dia pasti lagi mengagumi langit persis yang kamu lakukan."

Aku menoleh ke arah Mikhael, mendapati Mikhael sudah menatapku duluan. Mikhael membawaku kedalam pelukannya. Aku menangis lagi. Aku berharap saat aku terbangun dari tidurku, Kevin sudah ada di depanku, atau saat aku melangkahkan kaki ku di kantor, ia menyambutku dengan hangat. "Pulang yuk? Beli makan dulu ya? Kamu harus makan," Mikhael sedikit menarikku. "Tunggu," aku menghentikan langkah kakiku, mengecup batu nisan itu sekilas. Mikhael mengusap rambutku dan membawaku ke mobilnya.

Dalam perjalanan, kami berdua larut dalam pikiran kami masing - masing. Aku menatap Mikhael sekilas, tatapannya lurus ke depan.
Kami sampai di sebuah restoran Jepang, Mikhael menggenggam tanganku saat kami memasuki restoran itu.
"Aku tahu jika kamu sedang bersedih, nafsu makanmu cenderung berkurang. Restoran ini cocok untukmu, porsinya sedikit dan rasanya enak. Walau harganya agak mahal sih," celetuk Mikhael asal. Aku tertawa. Aku mengedarkan pandanganku sekilas ke restoran itu dan akhirnya mataku terhenti di mata biru yang memabukkan. Mata biru yang biasa kutatap saat liburanku di Eropa kemarin. Kurasa waktu membeku sekarang.

"Oi tukang ngelamun, kesambet arwahnya Kevin baru tau rasa," Mikhael membuyarkan lamunanku yang terpaku pada mata biru itu.

"El," aku memanggil Mikhael tanpa mengalihkan pandanganku dari sang pemilik mata biru itu.

"Apaan dah?"

"Ada Brendon sama Aila."

Mikhael memegang daguku, mengubah arah wajahku supaya aku bisa menatapnya sekarang. Tapi sayang, aku tetap menatap Brendon dan wanitanya yang sedang bermesraan melalui ekor mataku.

"Jadi ada yang menandingi ketampananku sekarang." Kata - kata Mikhael berhasil membuatku menatapnya sekarang.

"Ih, pede amat." Balasku acuh.

"Kalau ga tampan, gamungkin sekarang kamu natap aku."

Mikhael selalu bisa membuatku terdiam tak berkutik alias speechless.

Pelayan membawa makanan yang aku dan Mikhael pesan, selanjutnya kamu sudah asik dengan makanan kami masing - masing. Ditengah - tengah makan malam itu, Brendon dan Aila datang menghampiri meja kami.
"Jangan lupa datang yah, tapi dilarang nangis saat lihat Brendon lebih milih aku," kata Aila angkuh.

"Cincin yang waktu itu kamu boleh kamu simpan. Anggap sebagai kenang - kenangan saja." Terdengar suaranya yang bergetar, menahan sebuah penyesalan. Setelah itu Brendon dan Aila meninggalkanku dan Mikhael yang masih kaget karena kehadiran mereka.

---
Maaf lama ga update, sibuk sm keperluan sekolah 😖
Bentar lagi juga UTS kemungkinan bakal update 2 minggu lagi. See you guys.
Jangan lupa vomments❤

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang