Chapter 11

2 1 0
                                    

Sebelumnya, aku minta maaf banget lama ga update tanpa kasi kabar. Kemarin UTS dan gaada waktu buat ngelanjutin ini. Sebenernya masih sibuk sih, apalagi kls 12 udah mau ujian dan bla bla bla.

Mohon dimaafkan deh ya wkwk

Boleh dong ya vote dulu sebelum baca hehe.

- - -

Semua orang memakai pakaian formal disini. Begitu juga aku. Memakai gaun hitam yang diberikan Kevin pada saat itu. Terlihat area parkir dipenuhi mobil - mobil mewah. Tentu saja, yang menikah hari ini adalah anak dari pemilik perusahaan terkenal.

Mempelai pria dan wanita mengucapkan janji untuk bersatu sampai maut memisahkan. Gaun putih yang melekat ditubuh sang mempelai wanita terlihat sangat cocok dengannya. Sang mempelai pria pun tak kalah tampan dengan balutan tuxedo hitam.

"Dan kau Aila, apakah kau bersedia menerima Brendon sebagai suamimu dalam suka maupun duka, dalam sakit ataupun sehat, dalam miskin ataupun kaya, sampai mau memisahkan kalian berdua?"

"Yes I do."
Tepuk tangan terdengar sangat meriah saat kalimat itu selesai diucapkan.

Sebenarnya Mikhael sudah menyuruhku untuk tidak menghadiri pesta pernikahan ini, namun aku tidak ingin terlihat sedih hanya karena mantanku memilih wanita lain. Walau yang kurasakan daritadi hanyalah sakit di hati. Mereka terlihat sangat bahagia dan aku terlihat sangat rapuh.

Well, sang pembawa acara sudah mulai memberi aba - aba untuk tukar cincin. Aku berusaha keras menahan air mata yang terus menerus mencoba keluar dari mataku. Mikhael melingkarkan tangannya di pinggangku erat. "Aku tahu kamu kuat," bisiknya. Brendon dan Aila mulai mendekatkan bibirnya satu sama lain. Dengan mudahnya Brendon memberikan ciuman untuk wanita lain, lalu ciuman yang waktu itu kau anggap apa? Aku memalingkan wajahku saat mereka berciuman, kakiku membawaku meninggalkan acara tersebut. Mikhael mengejarku.

Cukup lama aku menangis dalam dekapan Mikhael. Karena melihatku pergi meninggalkan acara tersebut, Mikhael langsung membawaku ke sebuah tempat makan. Jadilah sekarang kami duduk di sofa empuk dengan keadaan Mikhael yang mengusap kepalaku, menenangkanku dan aku yang terus menangis. Aku tidak peduli jika mereka melihat kami dengan tatapan aneh.

Mikhael memberi tanda kepada pelayan jika ia hendak memesan sesuatu. "Green tea latte?" Aku mengangguk.

"El," panggilku.

"Apa?"

"Mau mie rebus pake telur setengah matang dong."

Mikhael dan pelayan itu saman - sama menatapku heran. Tentu saja mereka heran, kami ada di sebuah restoran mewah dan mana ada mie rebus?

"Mbak, buatin aja ya? Kasihan lagi patah hati." Mikhael memberi tahu pelayan yang sedang menulis pesananku.

"Tambah coklat panas dan kentang goreng ya mbak?"

Pelayan itu menatap Mikhael lama, kemudian menganggukan kepalanya dengan cepat tanda ia sudah paham keinginan pengunjungnya.

"Mbak, ganteng ya?" Aku melirik Mikhael sekilas dan lirikanku dibalas dengan anggukan kepala dari pelayan itu.

Aku tertawa cekikikan melihat Mikhael sudah memasang tampang cemberutnya.

"Heh, kalo cemberut makin ganteng."

Mikhael menatapku gemas, satu detik kemudian tangannya sudah ada di pipiku untuk mencubitnya.

"Aduh, nanti melar"

Raut wajah Mikhael sedikit berubah, mungkin karena teringat Kevin.

"El, kenapa?" Tanyaku.

"Yang kamu omongin kayak Kevin," Mikhael sekarang menatapku tajam.

"Jangan natap kayak gitu ah, robek ntar mataku. Kamu natapnya tajam amat."

Selanjutnya hening. Tidak ada yang berbicara sampai pelayan itu datang membawakan pesanan kami. Hanya ucapan terima kasih saat pelayan itu meletakkan pesanan kami diatas meja, keheningan kembali melanda diantara kami.

Mikhael mengantarku pulang, selama diperjalanan kami juga masih diam. Entah mengapa Mikhael bisa berubah secepat itu. Aku memasuki kamarku dengan perasaan hampa. Teringat anak tangga yang kupijak sekarang pernah dilewati Brendon.

Aku merebahkan diri di kasurku, aroma parfum Brendon tercium disini, padahal Brendon sudah lama tidak mengunjungiku.
Membayangkan canda tawa kami beberapa waktu lalu membuat hatiku kembali terluka. Mengapa aku harus bertemu dengannya jika yang ada akhirnya hanyalah sakit hati?
Banyak sekali pertanyaan dalam kepalaku yang masih belum ditemukan jawabannya. Ingin rasanya aku menyuruh orang untuk mencari tahu jawabannya. Apabila Brendon sudah mengetahui dari awal bahwa ia akan menikahi Aila, buat apa ia repot - repot mendekatiku di Eropa? Hanya untuk membuatku sakit hati? Bukankah itu terlalu menyakitkan?
Aku hanya ingin tahu alasannya.

Aku mengurung diri dikamarku selama berhari - hari. Meratapi kematian Kevin dan Brendon yang menikahi wanita lain. Keadaan itu diperburuk dengan kenyataan wanita yang Brendon nikahi adalah wanita yang membunuh Kevin. Apa ia lupa dengan apa yang diucapkannya?

Bisa dibilang sekarang hatiku sudah tidak berbentuk kepingan - kepingan kecil melainkan serbuk yang bisa hilang ketika ditiup. Aku menyesal bertemu dengannya. Dengannya yang memakai kemeja putih dihari kita bertemu.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang