Chapter 1

46 10 5
                                    

Saat aku terbangun dari tidurku di pagi hari, aku menemukan kabar bahwa aku mendapatkan jatah liburan di Eropa. Sebenarnya bukan liburan sih, lebih tepatnya job. Profesi ku yang menjadi fotografer memaksaku untuk dapat menghasilkan sebuah gambar yang bermakna dan enak dilihat. Bagi beberapa orang, gambar yang bagus hanya dinilai dari seberapa bagus gambar itu di feeds instagram mereka, bukan pesan yang terkandung dalam gambar tersebut. Padahal untuk menghasilkan 1 gambar, aku harus sampai repot-repot terbang ke Eropa.

Flight ku akan diadakan 2 minggu lagi. Tandanya aku masih punya waktu untuk mempersiapkan segalanya. Termasuk berdebat dengan pacarku, Justin. Dia satu-satunya orang yang membenci pekerjaan sambilanku. Justin pasti sangat marah jika mendengar aku akan ke Eropa 2 minggu lagi. Jujur saja, aku lelah dengan sikapnya, tapi aku takut dengan ancamannya. Kuputuskan, Justin adalah orang terakhir yang tau soal kepergianku ke Eropa.

Aku menyiapkan peta, daftar tempat yg akan kukunjungi, dan barang-barang yang kuperlukan, terutama mantel tebal karena disana dingin. Aku merasa sangat bersemangat dengan trip ku kali ini, rasanya akan ada sesuatu yg terjadi, tapi apa? Padahal saat aku mengunjungi tempat lain, aku tidak se-excited ini.

***
Hari ini adalah hari yg kutunggu-tunggu sejak 2 minggu yg lalu. Keberangkatanku ke Eropa. Kemarin malam aku menulis surat untuk Justin yang berisikan pamitku dan keputusanku untuk mengakhiri hubunganku dengannya. 2 tahun yang sia-sia.

Sebelum ke bandara, aku mampir ke rumah Justin dan menyelipkan suratku di bawah pintunya. Aku melangkah pergi dari rumah Justin sambil berbisik "selamat tinggal."

Sambil menunggu pesawatku, aku memutuskan untuk membeli kopi disalah satu kedai kopi yang ada di bandara itu. Pertama kali aku menginjakan kaki ku disana aroma kopi langsung menyengat, memberi efek tenang bagi penghirupnya.

Aku berdiri dibarisan antrian. Mulai dari sinilah aku bertemu dengannya. Dia tampak menawan dengan kemeja putihnya. Siapakah pangeran tampan yang sedang berdiri dihadapanku ini? Dapat kulihat sekilas, dia terburu-buru. Ponsel pintarku bergetar, tanda ada sebuah notifikasi. Aku mengabaikannya yang ada di depanku. Aku tak menyadari saat ia berbalik badan dan kakinya menginjak kakiku. Aku terperangah, kaget, siapa yang berani-beraninya menyakiti kakiku?
"Maaf," hanya itu yang terucap dari mulutnya. Tangan kanannya memegang segelas kopi yang habis dipesannya, tertulis namanya disana, Brendon. Mata birunya menatapku tajam, aku hanya tersenyum, lalu ia pergi.

Jantungku masih berdetak kencang, aku sudah sering bertemu dengan segala macam rupa manusia, tapi mengapa yg ini memberiku efek kupu-kupu? Aku setengah ngelamun saat barista kopi itu bertanya aku hendak memesan apa. Aku mencoba mengabaikan apa yang barusan terjadi. Setelah aku mendapatkan segelas kopiku, aku pergi keluar.

Aku masuk ke dalam pesawat yang akan membawaku terbang ke kota Ratu Adriatik. Aku menyusuri lorong dalam pesawat, mencari tempat dudukku. Aku menemukannya, satu kursi kosong disebelah jendela. Namun dia ada disebelah kursi itu. Aku akan dekat dengannya selama kurang lebih 16 jam kedepan. Apakah dia akan menginjak kakiku lagi? Entahlah.
Dia membuka pembicaraan, menanyakan apakah kakiku masih sakit atau tidak. Setelah itu kita membicarakan banyak hal. Dia menyenangkan, rasanya sudah lama kita mengenal satu sama lain. Berbicara dengannya membuat efek kupu-kupu itu bertahan lama.

***
Kita membicarakan banyak hal. Pekerjaannya sebagai pengurus perusahaan orang tuanya, sekolahku, bagaimana keadaan keluarganya, dan bahkan tentang Justin. Hal-hal kecil yang kita perbincangkan menjadi hal yang sangat bermakna, tidak terkesan basa basi.

Aku orang yang tertutup soal kehidupanku, tapi entah mengapa dengan orang ini, aku merasa bisa berbagi dengannya. Aku mengaguminya.

Pesawat ini sudah menyelesaikan tugasnya untuk membawaku terbang ke Venesia. Sebenarnya aku ingin berada di pesawat ini selamanya, dengan begitu aku bisa dekat dengannya. Terakhir sebelum berpisah, dia memberikan kartu namanya, dia berpesan agar aku berhati-hati dan segera menghubunginya jika terjadi sesuatu.

Masih jam 12 siang, aku memutuskan untuk mencari restoran cepat saji dan setelah itu aku bisa segera ke hotel untuk menghabiskan sisa hariku dengan tidur karena jetlag ini menyiksaku.

Keesokan harinya aku bangun pukul 7, kurang lebih 15 jam aku tidur. Aku mengaktifkan ponselku, terdapat 1 pesan dari orang yg menggunakan nomor lokal. Aku membukanya, dari Brendon, menanyakan bagaimana tidurku dan apa rencanaku hari ini. Pagi hari yang indah pikirku.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang