Dua Nyawa

57 1 0
                                    

Kuhela napas panjang, berusaha mengusir semua lelahku hari ini. Cukup banyak pasien yang harus ditangani pasca terjadinya kecelakaan kereta tadi pagi.

"Amanda, kamu baik-baik aja?" tanya Resti, Kepala Bagian IGD. "Keluarga pasien dengan cedera otak yang kamu tangani tadi sudah datang, dan mereka menunggu penjelasan darimu," lanjutnya setelah aku menggelengkan kepala bahwa kondisiku baik.

"Ok. Terimakasih, Res." Aku bergegas. "Irene, tolong ikut saya, ya!" pintaku pada seorang perawat muda yang magang di RS. Ia pun dengan sigap mengikutiku.

Sepasang suami istri sedang berdiri menatap Yana, pasienku yang sedang hamil 24 minggu dengan raut cemas.

"Permisi, saya Dokter Amanda," kataku mengulurkan tangan untuk menjabat tangan mereka, memperkenalkan diri.

"Saya David, dan ini istri saya, Christi." Sang suami memperkenalkan diri dengan suara bergetar penuh kekhawatiran.

"Baik. Apakah kalian keluarga terdekat Yana?" tanyaku lagi.

"Ya, kami keluarga terdekat Yana. Dia bahkan sudah tinggal bersama kami sejak sebelum proses penanaman embrio," jelas Christi dengan mata berkaca-kaca.

"Maaf?" sungguh aku tak mengerti dengan kata-kata Christi.

"Yana adalah seorang ibu pengganti. Ia sedang mengandung anak kami," katanya dengan suara gemetar.

Jujur saja aku terkejut mendengar pengakuan Christi, karena Indonesia adalah salah satu negara yang melarang praktek surogasi. Dan, baru saja aku akan membuka mulut untuk menjelaskan bagaimana kondisi Yana, mataku dikejutkan dengan pandangan tak biasa pada layar monitor yang terletak di samping kepala Yana. "Irene, tolong turunkan kadar CO2, lepaskan salurannya dan beri napas buatan. Lalu, berikan satu dosis manitol dan tingkatkan tetesan dopamine-nya menjadi 42!" pintaku cepat.

"Dokter apa yang terjadi?" David gusar.

"Tekanan intrakranial Yana meningkat. Pembengkakan pada otaknya semakin memburuk, tapi kami akan mencoba mengendalikannya dengan pengobatan," jawabku dengan cukup detail.

"Bagaimana bila pengobatannya tidak bekerja?" tanya Christi terisak.

"Maka, Yana harus segera dioperasi. Prosedur itu dinamakan dekompresif craniectomy, yakni sebuah prosedur bedah syaraf yang mengangkat suatu bagian tengkorak, untuk memungkinkan otak yang membengkak mendapat ruang untuk mengembang sehingga terjadi pengurangan tekanan. Prosedur ini biasa dilakukan pada korban cedera otak traumatik seperti Yana," jelasku sekali lagi.

"Apakah itu akan membahayakan bayi kami?" tanya Christi lagi sambil mengusap air matanya.

"Selalu ada resiko bagi janin, begitu juga dengan ibunya," kataku berusaha menatap mata Christi penuh iba. "Tekanan intrakranial-nya sudah berada pada tingkat berbahaya dan sepertinya kami tak bisa menunggu lebih lama lagi," jelasku.

"Tidak... aku tidak setuju dengan operasi ini." Christi menangis sambil menatap suaminya dengan nanar.

"Mohon maaf tapi untuk saat ini, persetujuan sudah tidaklah penting."

"Penting, karena kami punya kontrak dengan Yana." David memberikan sebuah map padaku. "Dan kontrak ini yang memberi kami hak untuk memutuskan atas nama Yana!" pekik David marah.

"Aku tidak bisa menyetujui prosedur ini, karena akan membahayakan anakku yang sedang dikandung oleh Yana," tangis Christi pecah.

"Yana butuh operasi, Bu," kataku berusaha meyakinkan Christi.

"Tapi ini tidak menjamin Yana bisa pulih kan?" David kian emosi.

"Tapi tanpa operasi, saya jamin dia tidak akan selamat!" tegasku yang mulai tersulut emosi. "Apakah Anda yakin akan membiarkan kondisinya memburuk? "

Escape The MazeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang