Kulirik Zain yang sedari tadi sedang sibuk menulis sesuatu di buku kecilnya. Ia masih asyik menulis, padahal aku sudah dua kali tertidur di dalam pesawat ini.
"Dek, kamu nggak ngantuk?" tanyaku berusaha memancing perhatiannya.
Zain hanya menggeleng. Ia tetap fokus pada bolpoin dan buku notes-nya.
"Kamu nggak capek?" tanyaku lagi.
Zain menggeleng untuk kedua kalinya. Jemarinya tentu masih asyik menggores kertas putih itu dengan tinta berwarna hitam.
Aku pun menyerah. Kupandangi layar LED yang terpasang di hadapanku. Satu jam lagi kami akan mendarat di bandara tujuan kami. Hatiku tak karuan. Berdebar. Membuncah perasaan rindu sekaligus bahagia, karena akhirnya aku bisa membawa adikku Zain, pulang. Kembali pulang ke tempat di mana ia dilahirkan sepuluh tahun silam, sebelum aku membawanya tinggal di Jerman.
Zain mengenakan kacamata hitamnya dan menggantung ranselnya di punggung, ketika akhirnya kami menjejakkan kaki di Indonesia. Tak ada isyarat apa pun darinya untukku. Aku juga terdiam. Melangkah masuk ke dalam bandara dengan hening.
Aku dan Zain masuk ke dalam sebuah taksi, setelah melakukan klaim bagasi. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Zain. Aku pun diam, tetapi batinku berontak. Aku tahu Zain sedang gundah. Aku tahu Zain sedang berusaha menenangkan dirinya. Aku tahu Zain sedang berjuang menahan tangis.
"Dek, kalau kamu memang belum siap untuk bertemu dengan Ayah dan Ibu, bilang ya. Kakak nggak mau kamu merasa tertekan karena ini," kataku sambil meremas jemarinya lembut.
Zain tertunduk, tapi sudut bibirnya tertarik menandakan ia sedang tersenyum. Aku harap itu pertanda baik.
Satu jam berikutnya, kami pun tiba. Langkahku mendadak berat ketika masuk ke dalam area rumah Ayah dan Ibu. Aneh rasanya setelah sekian lama tak pernah datang, tiba-tiba kembali.
Aku menggandeng tangan Zain. Dingin. Aku benar, ia sedang berjuang, tapi aku diam. Aku takkan mengusiknya hingga ia yang memutuskan.
Airmataku tak bisa lagi kubendung, kala pada akhirnya aku berdiri di hadapan Ayah dan Ibu.
"Assalamualaikum, Ayah, Ibu..." ucapku lirih. "Maakan kami yang baru memutuskan pulang menjelang Idul Fitri. Maafkan Zara dan Zain karena meninggalkan kalian di sini," isakku.Tiba-tiba Zain meremas tanganku, seolah ia ingin membuatku tenang dan berisyarat agar aku diam. Aku berhenti berucap, sembari melirik Zain yang sibuk mengeluarkan notes-nya dari dalam ransel. Ia memegang notes itu dengan sedikit gemetar. Dan ia bersuara.
"Se..." suaranya gemetar dan terhenti.
Aku terperangah.
"Segala..." Zain melanjutkan kata-katanya. Ia tampak sedang berjuang dengan sangat keras. "Segala puji bagi Allah, yang menganjurkan kami menggunakan segala kesempatan untuk berbuat baik bagi kedua orangtua kami. Segala puji bagi Allah yang memerintahkan kami bersyukur kepada kedua orangtua dan berbakti kepada mereka. Segala puji bagi Allah yang berpesan kepada kami agar memohon belas kasih untuk mereka, sebagaimana mereka telah mencurahkan kasih untuk kami."
Aku menangis. Aku tak percaya dengan semua yang terjadi di hadapanku ini.
"Ya Allah, rahmatilah kedua orangtua kami. Ya Allah kasihilah Ayah dan Ibu kami, ampunilah mereka, ridhailah mereka dengan segala Keridhaan-Mu, sehingga mereka dapat menempati tempat-tempat mulia serta aman disisi-Mu, tempat-tempat yang penuh dengan pengampunan-Mu." Zain masih berdiri di sampingku tetapi ia sudah semakin kuat. Nada suaranya semakin stabil.
"Ya Allah, ampunilah mereka hingga terhapus segala dosa mereka yang telah lalu. Ya Allah, kasihanilah mereka karena kelemahan mereka, sebagaimana mereka mengasihi kami saat kelemahan kami. Bersikap lemah lembutlah terhadap mereka sebagaimana mereka bersikap lemah lembut terhadap kami diwaktu kami kecil. Ya Allah, berikanlah mereka pahala berlipat ganda dari perbuatan baik mereka terhadap kami, pandanglah mereka dengan pandangan penuh rahmat melebihi pandangan rahmat mereka terhadap kami."
Tangisku pecah. Ini semua diluar dugaan. Hampir lima tahun ini Zain tak pernah lagi berbicara sepatah kata pun. Hingga aku membawanya ke Jerman untuk sekedar melakukan terapi dan itu semua tetap tak berhasil mengembalikan Zain-ku yang dulu.
Entah apa yang membuatnya kembali saat ini. Mungkin karena rasa rindu yang terlalu dalam pada Ayah dan Ibu, akhirnya membuat ia kembali.
"Ya Allah, jangan siksa atau kecam mereka, karena melalaikan perintah-Mu, demi memelihara dan mencintai kami. Ya Allah jangan siksa atau kecam mereka, karena melalaikan perintah-Mu, demi cinta dan kasih sayang mereka terhadap kami. Ampunilah mereka karena kurangnya pengabdian mereka kepada-Mu disebabkan oleh perhatiannya kepada kami." Suara Zain kembali bergetar. Ia terisak.
Aku menggenggam erat tangannya. Menguatkannya. Aku ingin dia ingat bahwa aku masih ada di sini bersamanya.
"Ya Allah, maafkan mereka jika mereka menempuh jalan yang samar dan salah dalam perolehan rezeki demi menyenangkan kami, jangan juga tuntut mereka jika mereka terkalahkan oleh hawa nafsu dalam membela kami karena cintanya kepada kami. Ya Allah, jangan Engkau bebankan keburukan yang kami lakukan sehingga menimpa mereka sedikitpun. Ya Allah, janganlah kiranya mereka mendengar berita tentang dosa dan keburukan kami, sehingga membuat mereka bersedih hati. Jangan Engkau risaukan mereka ya Allah, akibat kesalahan-kesalahan kami tetapi bahagiakan mereka dengan amal perbuatan kami. Jangan permalukan mereka Ya Allah, akibat perbuatan-perbuatan buruk kami. Ya Allah, apa yang kami baca dari ayat-ayat Al Quran atau shalat kami yang Engkau ridhai, kami memohon agar mereka menerima ganjarannya lebih besar dan lebih banyak dari ganjaran yang kami terima."
Zain menarik nafas panjang sebelum akhirnya ia kembali berkata, "ya Allah, jadikanlah kami bagi mereka dihari kiamat kelak sebagai buah hati mereka dan kumpulkan kami dengan mereka dalam keadaan Islam, di negeri kemulian-Mu, di tempat memperoleh rahmat-Mu, bersama para kekasih-Mu, para Nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada dan shaalihin. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada junjungan kami Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya dan para sahabat dan tabi'in. Amiin.. Ya Rabal'alamiin... "
Zain duduk bersimpuh di samping pusara Ayah dan Ibu yang telah meninggal lima tahun silam. Mereka meregang nyawa karena berusaha melindungi kami ketika kawanan perampok datang tak diundang ke dalam rumah. Sejak kejadian itu pula, Zain mengalami trauma hebat hingga ia tak lagi ingin berbicara dengan siapa pun. Hanya notes kecil itu tempatnya berkeluh kesah. Namun, hari ini aku melihat keajaiban terjadi. Di hadapan Ayah dan Ibu. Tepat di pembaringan terakhir Ayah dan Ibu, Zain kembali. Meskipun masih ada gurat luka di hatinya, tetapi ia kembali.
"Ayah, Ibu, maafkan Zain karena belum sempat membahagiakan kalian. Hanya ini persembahan yang bisa Zain beri untuk kalian. Seuntai doa dan ribuan Al Fatihah yang akan selalu Zain panjatkan khusus untuk kalian. Semoga Ayah dan Ibu senantiasa bahagia di sana. Tunggu kami, karena hanya masalah waktu agar kita bisa kembali berkumpul bersama. Selamat hari raya Idul Fitri, Ayah, Ibu... Doa Zain dan Kak Zara akan selalu ada untuk kalian di sana," ucap Zain yang kemudian memelukku erat.
~end~
Source Pic : http://pin.it/AeSdqAT
KAMU SEDANG MEMBACA
Escape The Maze
Ficção GeralKumpulan cerita pendek dan flash fiction yang saya tulis selama 30 hari.