Dadaku terasa begitu sesak, hingga akhirnya aku memutuskan untuk menghentikan mobilku di pinggir jalan. Tepat di tepi pantai dengan pasir yang berwarna putih kekuningan. Riak ombak memutih di antara birunya air laut, tak mampu membuat jantungku berdegup tenang. Sakit hati dan sedih masih menggelayutiku, tatkala otakku kembali memutar seluruh kalimat Vino yang memutuskan untuk membatalkan pernikahan kami. Pernikahan yang akan berlangsung tiga bulan lagi itu harus batal, karena ternyata Vino adalah seorang homoseksual. Ia tak sanggup meninggalkan kekasihnya yang macho, kekar, bertato, dan berjambang ala Rhoma Irama itu. Entahlah, aku juga tak bisa membedakan, apakah aku sakit hati karena pernikahanku yang batal atau merasa terhina karena harga diri yang tercabik.
"Kakak, kenapa?"
Aku terperanjat mendengar pertanyaan itu dari sebuah suara yang begitu renyah dan terkesan mungil. Tak kukira, bila ternyata aku sudah berjalan menyusuri pantai hingga hampir tepian laut.
"Kakak sakit?" tanya gadis kecil berponi dan rambut hitam berkuncir kuda itu polos.
Aku bukannya terhanyut pada kepolosannya, tapi malah menatapnya dengan kesal. Bukannya aku tak suka dengan anak-anak, tapi aku sedang tidak ingin berurusan dengan anak kecil manapun saat ini.
Gadis kecil itu menatapku dengan mata bulatnya yang lucu. Sepertinya, ia menagih jawaban atas pertanyaannya tadi. Mau tak mau, hatiku luluh.
"Lagi bikin apa itu?" tanyaku yang bukannya menjawab pertanyaannya, meskipun dengan nada yang masih agak jengkel.
Ia tersenyum, lalu meraih kembali sekop pasir kecilnya yang berwarna pink. Perlahan, dia memasukkan pasir ke dalam ember dan kemudian mencetaknya. "Aku juga nggak tahu mau bikin apa. Aku cuma pengin maen pasir aja, Kak. Ngerasain pasir-pasir ini di tanganku," jawabnya.
Entah kenapa tiba-tiba aku merasa ingin bermain dengannya saat itu. Sepertinya bermain pasir bisa sedikit menghilangkan penatku. Aku duduk di atas hamparan pasir, tepat di sebelah gadis itu.
"Siapa namamu?" tanyaku.
"Nadia dan aku berumur enam tahun," ujarnya ceria.
"Aku cuma nanya nama, bukan nanya umur," gumamku.
Ia meringis lebar. Sepertinya ia mendengar ucapanku. "Kakak siapa namanya?"
"Melody," jawabku singkat.
Tiba-tiba ada seekor burung terbang rendah meliuk di sekitar kepala kami. Aku bahkan sempat menunduk karena terkejut.
"Burung kedidi!" pekik Nadia sambil melompat girang dan menunjuk ke arah burung itu terbang. "Kita akan dapat kebahagiaan!" lanjutnya sambil lompat-lompat.
"Apa itu?" tanyaku bingung.
"Itu burung kedidi. Kata Mama, burung kedidi adalah pertanda kebahagiaan," jelasnya yang sudah kembali duduk dan mengaduk pasirnya lagi.
Aku hanya bisa tersenyum kecut. "Selamat tinggal kebahagiaan," gumamku. "Selamat datang kesedihan."
"Tapi sepertinya Kakak sedang sedih ya?" ia bertanya lagi.
"Bukan urusanmu," ketusku.
Ia terdiam dan tiba-tiba saja aku merasa bersalah karena telah membentaknya seperti itu. "Rumahmu di mana?" tanyaku mencoba mencairkan suasana.
Nadia menunjuk ke arah sebuah rumah bergaya minimalis tropis, dekat tebing, tepat di bibir pantai. "Di sana."
Aneh sekali pikirku, karena bertahun-tahun aku tinggal di sekitar sini, aku tak pernah melihat ada satu pun orang yang tinggal di rumah itu. "Lalu, kamu sekolah dimana?"
"Aku nggak sekolah. Kata Mama, aku harus libur dulu sekolahnya," jawab Nadia yang mengundangku ingin bertanya lagi tapi tiba-tiba turun hujan begitu deras. Entah kapan mendungnya, karena seingatku tadi matahari masih cerah menyengat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Escape The Maze
Ficción GeneralKumpulan cerita pendek dan flash fiction yang saya tulis selama 30 hari.