Rumah Misterius

14 0 0
                                    

"Citra... Mama mohon, Sayang, tenanglah Nak, jangan menjerit seperti itu terus," kataku lirih. "Mama tahu Citra kesepian dan takut," ujarku putus asa dengan kondisi yang sudah berlangsung selama satu bulan terakhir ini. Sungguh aku tak tahu harus berbuat apa untuk menenangkan Citra yang setiap malam selalu menggangguku dengan jeritan dan tangisannya.

"Sudah hampir 40 hari, Nak, tenanglah," isakku sembari mengusap batu nisan putri kecilku yang sudah satu bulan ini berkalang tanah, karena jasadnya hangus terbakar.

Citra meninggal karena keteledoranku yang dengan begitu saja berani meninggalkannya sendirian di rumah, dalam kondisi tertidur lelap. Sementara aku pergi ke pasar pagi itu. Tak disangka, adik bungsuku datang. Dan seperti biasa ia masuk ke dalam rumah. Santai menyalakan rokok dan tiba-tiba saja api menyambar. Melahap habis setengah bagian rumah dan salah satunya adalah kamar Citra, yang tepat di samping dapur. Menurut investigasi pihak kepolisian, kebakaran terjadi karena adanya kebocoran gas.

Sejak saat itu, aku hanya bisa terdiam tenggelam dalam sedih karena kehilangan putri semata wayangku. Namun, sehari setelah Citra meninggal aku dikejutkan dengan kehadirannya yang berupa jeritan dan juga tangisan di setiap malam. Hampir satu bulan terakhir ini, suara Citra menghantuiku seolah Ia ingin aku sadar bahwa karena kesalahanku-lah dia harus meregang nyawa dengan begitu tragis.

"Ziva," sebuah sentuhan lembut di bahuku membuatku terkesiap. Tommy, suamiku. "Ayo kita pulang. Laura menelepon, dia sudah menunggu di rumah Ibu," katanya lagi.

Aku hanya mengangguk. Mengusap air mataku, lalu menatap nisan Citra seraya bergumam, "Jangan nangis lagi ya, Sayang. Mama sudah cukup menderita karena kehilanganmu. Tolong jangan ditambah lagi dengan tangisanmu yang menyayat hati itu."

***

"Apa boleh jika harga rumah ini saya tawar setengah dari yang Bapak dan Ibu berikan?" tanya Laura sembari menatap rumah mungil tapi berlantai dua itu dari halaman depannya.

"Silahkan. Berapapun akan saya berikan, karena saya sudah tidak tahan melihat rumah ini yang penuh dengan kenangan putri kami," jawabku.

Laura tersenyum. Ia seperti tak peduli dengan riwayat buruk rumah itu. Mungkin Ia terdesak, seperti ceritanya padaku dan mas Tommy. Ia butuh rumah segera karena masa sewa kontrakannya sudah habis akhir bulan ini.

***

Hujan turun begitu derasnya malam ini. Petir bergemuruh, sahut menyahut. Bukannya meringkuk di balik selimut, tetapi aku malah memilih keluar kamar dan duduk di ruang makan, sembari menikmati segelas coklat panas. Aku terbangun bukan karena petir dan hujan, tapi karena suamiku terus saja menggerutu. Protes karena suara nafasku sering kali terdengar berat di telinganya. Tak jarang juga Ia sering menuduhku iseng meniup telinganya disaat sedang tidur. Padahal, aku sadar betul bahwa nafasku biasa saja dan sekali pun aku tak pernah dengan sengaja mengganggunya yang sedang beristirahat.

Hhhrrrrrr....

Cico. Kucing persia gemuk berwarna kuning keemasan, milik putriku, Nina. Dia menyeringai padaku untuk yang kesekian kalinya dalam satu bulan terakhir. Satu bulan sejak kami pindah ke rumah ini.

"Cico, kumohon jangan kali ini. Cukup!" pekikku.

Kucing itu menatapku tajam dengan matanya yang berkilat. Masih menyeringai, tetapi kemudian dia berlari pergi. Terbirit-birit.

"Mama..."

Suara itu membuatku berjengit. Aku memutar tubuh dan melihat sosok Nina sudah berdiri di ujung anak tangga, dengan tatapan tertuju padaku.

"Hey, Sayang. Kenapa tengah malem gini bangun?" tanyaku seraya menghampiri Nina.

Dia tak berkata apa-apa. Hanya mengangkat kedua tangannya, menandakan bahwa ia ingin agar aku menggendongnya. Aku tersenyum melihat tingkah putri kecilku itu dan segera menggendongnya kembali ke dalam kamar.
Kuletakkan tubuh Nina dengan berhati-hati ke atas kasurnya.

"Ma, coba liat ke bawah tempat tidurku. Ada monster yang selalu gangguin aku."

Keningku mengernyit. Tapi aku kemudian berjongkok untuk sekedar menghiburnya, karena aku sadar tak mungkin ada monster di sana.

Dan aku salah. Tatapanku tertuju pada sosok yang begitu mirip dengan Nina. Ia menatapku dari bawah tempat tidur dengan mata berkaca-kaca, suara lirih, dan gemetar. "Mama, ada seseorang di atas tempat tidurku..."

Sontak saat itu juga tubuhku gemetar. Cepat kutegakkan tubuh dan melihat ke atas tempat tidur. Nina tak ada lagi di sana. Aku kembali menunduk ke bawah tempat tidur dan Nina kedua yang kulihat masih di sana, gemetar semakin ketakutan. Aku menarik tangannya. Menyeret tubuhnya lalu mendekapnya erat. Membawanya keluar dari ruangan itu. Setengah berlari aku menuju kamar, tempat suamiku masih tertidur lelap. Nina tak bersuara, Ia masih memelukku dan memejamkan matanya kala aku berlari secepat mungkin. Hingga kemudian kakiku seolah berat melangkah, tepat ketika kami melewati bagian rumah ini yang sempat terbakar dan belum kami renovasi.

"Aku nggak bisa tidur..." suara lirih khas anak-anak menggema.

Nina menatapku. Ekspresi takut membuncah dari kedua matanya. Ia menggelengkan kepala seolah ingin mengatakan padaku bahwa bukan ia yang mengatakan kalimat tadi.

"Bolehkah aku mengajak Nina main? Aku kesepian..."

Dan aku baru tersadar bahwa suara itu berasal dari sesosok anak perempuan hampir setinggi Nina, dengan rambut panjang tergerai tapi ia tertunduk di ujung ruangan terbakar itu. Ia mengangkat kepalanya dan wajahnya tak lagi bersisa. Hanya tinggal kerangka tak berkulit.

~end~

Source pic : http://eiruvsq.tumblr.com/post/161523896538/dariagolab-and-you-were-a-house-on-fire-and-i

Escape The MazeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang