"Ibu kejam banget sih, Kak, nyuruh kita cari kayu bakar siang-siang gini. Masa iya Ibu nggak sadar kayak apa panasnya!" gerutu Nila, adikku, anak kedua yang dilahirkan oleh ibu kandungku delapan tahun silam.
"Iya, kan kita lagi puasa. Haus, Kak..." keluh Biru, adik bungsuku yang usianya terpaut dua tahun dengan Nila, sembari menyeka peluh di keningnya.
"Udah kalian jangan mengeluh saja dari tadi. Mengeluh nggak akan bikin kita cepat sampai ke tengah hutan, dan menemukan banyak kayu bakar untuk Ibu memasak makanan berbuka kita nanti!" omelku sambil terus menggandeng tangan mereka, berjalan melewati ranting dan dedaunan kering.
Tak lama kemudian, aku sadar bahwa kami sudah masuk sedemikian dalam ke tengah hutan. Sinar matahari hampir tak bisa lagi menerobos rimbunnya dedaunan.
"Nila, Biru, sebaiknya kita berpencar agar pekerjaan kita cepat selesai dan kayu yang bisa kita bawa pulang semakin banyak," kataku."Tapi, Kak..." hati Nila seolah berat untuk menuruti pintaku.
"Tak ada tapi, lakukan saja. OK?" kataku.
"Uhm.. Baiklah..."
Nila pergi ke arah timur, sedangkan Biru memilih ke arah selatan. Sementara aku, ke arah utara.
Beberapa saat kemudian, punggungku sudah dipenuhi dengan ikatan ranting pohon yang siap dijadikan kayu bakar sesampainya kami di rumah nanti. Baru saja aku akan berjalan mencari Nila dan Biru, tiba-tiba aku mendengar teriakan Nila.
"Subhanallah... Kaaak Violeet!" pekik Nila.
Adikku itu sedang berdiri menatap sebuah danau yang tak begitu besar, tepat di tengah hutan. Airnya sebening kaca. Di dalamnya seperti taman karena penuh dengan bunga berwarna-warni. Aku menarik tangan Nila karena dia mulai mendekati bibir danau itu. Terpesona akan kecantikannya. Hingga tiba-tiba kami dikejutkan oleh kehadiran seekor makhluk.
"I... ikan?" mataku terbeliak melihat makhluk itu di bibir danau, berputar seolah ada yang salah dengan ekornya.
"Bb... bukan, Kak..." Nila sama shocknya denganku.
"Set... setan?" gumamku lagi.
"Iii...tu... Ce... ceasg," kata Nila. "Dia sama persis dengan yang ada di dalam buku ceritaku," sambungnya terbata.
Makhluk itu tiba-tiba menghentikan aktivitasnya dan menatap kami. Beberapa detik kami saling beradu pandang, hingga kemudian makhluk itu bersuara.
"Tolonglah aku... bila kalian berhasil, aku akan mengabulkan tiga permintaan kalian," suara makhluk itu begitu merdu hingga mampu menggetarkan kalbu.
Aku dan Nila saling pandang. Aku tak begitu yakin, tapi tangan Nila mendorong tubuhku sebagai isyarat agar aku membantu makhluk itu. Kepalang tanggung, aku pun bergegas mendekatinya. Tanganku gemetar.
"Tak apa, mendekatlah," ucap makhluk itu.
Makhluk itu tampak seperti seorang gadis normal pada umumnya. Rambutnya panjang berwarna perak dengan jalinan tali berbunga mengitari kepalanya. Matanya berwarna kuning seperti cahaya mentari pagi. Kulitnya begitu bercahaya. Namun, kakinya berupa ekor layaknya ekor ikan salmon. Berwarna perak yang sama dengan rambutnya tetapi berkilau kuning kecoklatan.
Ternyata ada kail menancap di ujung ekornya. Entah milik siapa, tetapi aku berhasil melepasnya, meskipun makhluk itu sedikit berjengit karenanya.
"Terimakasih. Sekarang sebutkan permintaan kalian," katanya seraya tersenyum lembut.
"Baju lebaran yang sangat banyak!" pekik Nila sebelum aku mampu mengucapkan sepatah kata apapun.
Dalam satu kedipan mata, Nila telah mengenakan sebuah gaun cantik berwarna putih dengan hiasan mutiara di bagian kerah lehernya. Ada pula satu kantong besar berisi puluhan baju lainnya untuk Nila. Adikku itu senang bukan kepalang.
"Katakan keinginan kalian yang kedua." Makhluk itu menatapku dan tersenyum.
Aku ingat bahwa persediaan makanan di rumah sudah menipis. Ayahku yang hanya seorang petani sayur, belum bisa memenuhi kebutuhan pangan kami, karena ia mengalami gagal panen akibat serangan hama.
"Aku ingin makanan berlimpah untuk keluargaku," jawabku lirih.Tiba-tiba saja ada sebuah karung beras tergeletak di hadapanku, lengkap dengan beragam daging ikan, unggas, aneka buah dan sayur, serta dan bahan pangan lainnya, seperti roti coklat favoritku.
Mulutku melongo melihat semua itu. Perutku terasa kian perih dan keroncongan melihat aneka makanan itu. Bukannya aku tak serius dalam menjalankan ibadah puasa kali ini, tetapi sudah seminggu kami berpuasa tanpa sahur karena terbatasnya panganan di rumah. Bisa dikatakan bahwa selain untuk niat beribadah kepada Allah SWT, kami juga berniat menghemat pengeluaran.
"Lalu, apa permintaan terakhir kalian?" tanya makhluk itu.
"Adzan Maghrib!!!" teriak Biru yang sedari tadi hanya berdiri, diam membisu di balik sebuah pohon.
~end~
Source pic : http://pin.it/tZt9kmg
KAMU SEDANG MEMBACA
Escape The Maze
General FictionKumpulan cerita pendek dan flash fiction yang saya tulis selama 30 hari.