Yudhis
Gue duduk di tribun sambil memperhatikan area kolam renang besar di hadapan gue. Ada empat kolam berbeda dengan ukuran berbeda pula. Di salah satu tepi kolam berdiri dua menara loncat. Tertulis angka 5 meter, 7,5, dan 10 meter. Di sisi kiri, ada dua papan loncat setinggi satu dan tiga meter.
Untuk pertama kalinya gue mengantar dan menunggui Lala latihan.
"Yang ada menaranya, itu kolam loncat indah, tempat aku latihan. Dua lima kali dua satu meter. Di belakang menara, ada kolam kecil untuk pemanasan. Di depan kolam loncat indah, itu kolam tanding altet renang. Nah, yang paling besar di sana itu kolam latihan." Begitu kata Lala tadi sebelum berlari ke ruang ganti.
Gue memperhatikan Lala berdiri di atas menara 5 meter. Tubuhnya menghadap ke menara, membelakangi air. Ia diam sejenak sebelum merentangkan tangannya. Gue berdecak kagum melihat gadis itu melompat sambil melakukan dua kali salto ke belakang, lalu masuk ke air.
Katanya, saat seseorang jatuh cinta, ia sebenarnya mencintai potongan kecil dari dirinya sendiri yang ia lihat pada orang lain. Tetapi gue merasa menyukai Lala justru karena gadis itu punya sesuatu yang enggak gue miliki. Keberanian dan ketenangan pastilah dua di antaranya.
Keluar dari air, Lala menoleh ke gue, tersenyum. Gue kemudian melambai, balik tersenyum. Namun sesaat kemudian gue melihat Pak Sastro, pelatih yang juga ayah Lala itu, menggelengkan kepala menyiratkan ekspresi tidak puas melihat loncatan Lala. Pria itu menulis sesuatu di catatannya.
Lala naik ke pinggir kolam renang, naik lagi ke tangga menara, bersiap kembali loncat. Tetapi Pak Sastro menahannya. Sebaliknya, ia meminta seorang gadis lain untuk naik.
"Semua, lihat Jihan!" Pak Sastro meminta perhatian atlet-atlet lain.
Gue jadi ikut mendengar dan memperhatikan nama gadis itu yang tampak lebih muda dari Lala.
"Satu kosong lima B!" seru Pak Sastro.
Gue enggak mengerti arti aba-aba itu. Tapi gue melihat gadis itu loncat sambil melakukan dua setengah putaran salto ke depan, dengan kaki dan badan membentuk sudut. Anehnya, nyaris tak ada bunyi air atau riak saat badannya masuk ke dalam air. Seketika terdengar suara tepuk tangan Pak Sastro dan semua anggota tim di sana, termasuk Lala yang menampakkan ekspresi takjub.
Si Jihan disuruh meloncat lagi sementara Lala tetap berdiri di atas menara. Dari tempat gue duduk, gue seperti menangkap kesedihan di wajah Lala.
Langit berangsur gelap. Sebagian lampu arena sudah mulai dinyalakan ketika gue menyadari Lala ada di sisi kolam renang dalam posisi plank, menyerupai posisi push-up. Berat badannya ditopang lengan, siku, dan ujung telapak kaki bagian depan. Tubuhnya berada dalam garis lurus.
Entah sudah berapa lama atau berapa kali ia ada dalam posisi itu. Sedari tadi gue memainkan rubik dan menonton film di ponsel. Teman-teman setimnya sudah bersiap pulang. Pak Sastro memberi isyarat pada Lala untuk menurunkan badannya. Gadis itu masuk ke ruang loker dengan wajah tampak letih.
Gue bergegas turun dari tribun. Tapi sesampai di depan ruang loker, gue kaget melihat Lala keluar dari sana mengenakan baju renang baru yang masih kering dengan jubah handuk mandi di luarnya.
"Lho. Mau latihan lagi?" gue tanya.
Lala enggak menjawab. Tatapan matanya tidak setajam tadi siang. Keringat bercucuran di pelipisnya. Gadis itu mengarahkan pandangan ke arah lain. Gue jadi jatuh iba.
"Kamu dihukum Ayahmu ya? Kenapa? Aku lihat loncatanmu bagus," gue berkata, meski tentu saja enggak mengerti apapun soal bagus enggaknya sebuah loncatan dalam olahraga ini.
Lala menggeleng sambil berkacak pinggang.
"Kakiku tuh sering kurang lurus. Terus pas masuk ke air, tanganku terlambat menutup. Jadi riak airnya ke mana-mana," Lala berujar lirih.
Gue enggak sepenuhnya mengerti. Tapi sepertinya riak minimal saat masuk ke air setelah loncat adalah salah satu tanda bahwa teknik loncatan seseorang itu sudah bagus.
"Jadi sekarang kamu disuruh latihan lagi?" gue mengulang pertanyaan.
"Ayah sih udah enggak perlu nyuruh lagi. Tanpa bilang juga aku pasti disuruh latihan lagi, ganti hari aku bolos tempo hari."
Gue memperhatikan raut wajah Lala yang kelelahan. Gue jadi enggak enak hati sudah mengajaknya bolos, meski dia sendiri yang mengiyakan ajakan gue.
"Pulang duluan aja, Dhis. Aku pasti masih lama. Kamu kan katanya malam ini mau pergi sama teman-temanmu."
Gue memperhatikan mata Lala yang merah, entah karena air kolam atau menahan tangis. Gue terdiam, lalu menggeleng.
"Ada yang lebih penting dari itu," gue meraih kedua tangan Lala yang dingin.
Gue tahu rasanya ditinggal. Gue enggak mau melakukannya pada orang lain, terutama pada Lala.
KAMU SEDANG MEMBACA
POSESIF
Teen Fiction"Aku belum memutuskan untuk tetap mencintai atau membencinya. Ia membuatku ingin memeluknya tapi sekaligus ingin lari menjauh di saat yang sama." Tak ada yang tak mengenal Lala di SMA Pranacitra. Cewek kelas XII itu atlet loncat indah, yang sudah be...