POSESIF #2

6.1K 108 5
                                    


Lala

Aku membuka pintu rumah dengan perasaan tak menentu. Wajah Yudhis yang menahan amarah membuat kepalaku pening. Aku tahu aku salah, tak memberi tahunya kalau Rino menjemputku dan kami pergi makan bersama. Tetapi cemburu pada Rino itu seperti Yudhis cemburu pada kakakku sendiri.

Aku, Ega, dan Rino sudah satu sekolah sejak kami pertama kali berseragam putih merah. Kami bersama saat pertama kali diajar berdoa, menyambung abjad, menghapal Pancasila. Bolos bersama demi nonton konser, belajar kelompok bersama biar sama-sama lulus UN, dan masuk di SMP serta SMA yang sama.

Ikut kursus vokal sama-sama saat sedang sering-seringnya menonton Indonesian Idol, kemudian juga berhenti begitu saja setelah bertahan satu dua bulan saja. Saat SD, tiap dibelikan barang, Ega minta dibelikan dua yang serupa. Jadilah Ega dan aku punya banyak barang yang sama seperti anak kembar: bando polkadot, jaket garis-garis, tas ransel dengan motif sama. Sepatu pun sama.

Sejak kecil, sebagai anak tunggal, aku nyaris tidak punya teman seusia di sekitar rumah. Selain teman loncat indah, hanya Ega dan Rino yang paling sering main ke rumah. Kompleks perumahan tempatku tinggal dominan dihuni pensiunan. Ditambah lagi jarak antara satu rumah dengan rumah lain cukup renggang. Aku tidak punya kenangan lomba tujuh belasan makan kerupuk atau memindahkan bendera kertas di lapangan dekat rumah.

Beberapa kali yang amat jarang, aku dan Ega berantem. Rino yang menengahi. Rino yang paling sabar, Ega yang lebih sering bicara dulu baru berpikir, dan aku yang lebih sering menyimpan perasaan sendiri.

Tapi belum sempat aku jelaskan semuanya ke Yudhis. Dia yang harusnya lebih kenal sahabatku.

 Dia yang harusnya lebih kenal sahabatku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
POSESIFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang