PUTIH ABU-ABU (#2)

11.6K 261 11
                                    


Yudhis

Sekolah baru buat gue cuma berarti kerepotan baru. Rute pulang pergi, teman, kelas, kantin, tempat parkir, guru, ekskul, dan suasana beda yang enggak gue tunggu tapi enggak bisa juga gue hindari. Repot dapat perhatian berlebihan yang enggak gue harapkan.

Juga kembali menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama: kenapa pindah sekolah, rumah di mana, suka basket enggak. Yang cewek akan tanya, tapi tentu enggak langsung ke gue, si Yudhis punya pacar atau enggak. Sebentar lagi mungkin pada tanya mau kuliah apa, di mana. Soal terakhir ini, yang tanya juga belum tentu tahu jawaban pertanyaannya sendiri.

Dan yang paling sulit ialah mengingat nama-nama orang baru, kecuali nama cewek-cewek yang menarik. Ini hari kelima gue di SMA Pranacitra dan gue masih belum hapal nama-nama anak di kelas gue. Paling cuma Ray, teman sebangku gue, dan Tony, yang mengajak ke kantin beberapa hari terakhir.

Tetapi setidaknya sekolah baru berarti rekam jejak dosa dan kebodohan gue masih nol. Gue bisa mulai lagi dari awal. Kenalan lagi, memilih apa yang mau gue tampilkan dan apa yang gue simpan saja untuk diri sendiri.

Pagi ini, saat berjalan ke kelas, langkah gue terhenti. Seorang guru olahraga yang belum gue tahu atau lupa namanya berkacak pinggang menghadang gue. Gue kaget tapi seketika memperhatikan guru itu. Gue tahu dia guru olahraga karena kaos, celana training, dan sepatu yang dia kenakan. Lehernya berkalung stopwatch. Tangannya memegang sebuah benda yang gue sangka pulpen.

"Kamu tahu kesalahanmu apa?" pria itu melipat kedua tangannya di dada.

Apa ya? Gue mengangkat bahu. Malas berpikir.

Tangan si guru mengarahkan benda yang digenggamnya ke bawah. Gue terkejut melihat ada titik hijau bergerak-gerak di sepatu putih gue. Ternyata benda yang digenggam guru itu adalah laser.

Kenapa ya, ke SMA mana pun gue pindah, ternyata tetap ada yang sama: kewajiban pakai sepatu hitam. Ada apa sih dengan hitam? Dan kenapa jadi satu ragam itu penting?

"Katanya sih selain biar rapi dan disiplin, biar enggak ada kesenjangan sosial. Kalau selain hitam kan merek sepatunya kelihatan," begitu kata teman gue suatu kali. Jawaban serius untuk pertanyaan basa-basi gue.

"Terus HP? Jam tangan? Tas? Semua kan kelihatan mereknya. Mesti dicat?" gue balas sekenanya.

Si Teman cuma menyeringai.

Gue jadi ingat lagi obrolan singkat itu saat menunduk melihat sepatu putih gue. Sebenarnya gue enggak sengaja melanggar. Sepatu hitam gue satu-satunya lagi dijemur setelah kemarin enggak sengaja menginjak dan terendam genangan air. Kalau sudah begitu, masa iya semua siswa harus banget punya dua sepatu hitam?

"Peraturan sekolah ini apa?" guru itu mengencangkan volume suaranya.

Beberapa anak yang melintas atau sedang berdiri di sekitar gue jadi menoleh memperhatikan. Gue malah jadi ingin melawan.

"Masuk tepat waktu? Enggak boleh nyontek pas ulangan?" gue menjawab sebisanya. Peraturan kan ada banyak ya.

"Itu sih di semua sekolah sama! Warna sepatu kamu!" ia menggerakkan pointer lasernya bolak balik ke sepatu gue. Andai laser itu spidol papan tulis, mungkin sepatu gue sudah penuh coretan tinta.

"Saya anak baru di sini," gue berkelit. Kurang cerdas memang.

"Waktu daftar kan sudah dikasih tahu aturan di sini apa aja," guru olahraga itu mulai kesal.

Gue baru akan kembali berkilah, tapi guru itu sudah bicara lagi, "Makanya dibaca itu aturan. Penting biar kamu disiplin! Negara ini perlu orang disiplin. Enggak cuma asal bisa jawab."

"Oke, Pak. Memangnya kalau boleh tahu, kenapa harus hitam? Seingat saya di peraturan enggak dijelasin," gue butuh jawaban selain yang pernah diberikan teman gue waktu itu.

"Peraturan, ya, peraturan. Kalau enggak sepakat jangan masuk sini!" si guru kesal mendengar pertanyaan gue.

Tapi mendengar jawabannya itu, gue jadi enggak berminat mengucap dalih lagi. Jawaban yang enggak menantang berpikir, apalagi diskusi. Gue enggak suka segala kalimat bertema "pokoknya" yang tanpa alasan. Jangan-jangan yang bicara begitu juga enggak tahu alasannya.

"Oke, Pak. Maaf, saya yang salah," gue bilang begitu cuma karena mau segera pergi ke kelas.

Tetapi guru olahraga itu seperti menanti sesuatu. Gue berdiri menunduk dalam diam.

Bingung.

Melihat gue diam saja, ia kemudian berkata dengan geram, "Buka sepatu kamu!"

Gue menatapnya.

"Buka, Pak?" gue benar-benar bertanya.

"Iya! Kalau kedapatan pakai sepatu selain hitam, konsekuensinya sepatu kamu dirazia!"

"O gitu, Pak..." gue baru tahu. Terus terang gue enggak baca buku tata tertib. Kurang kerjaan apa? Baca berhalaman-halaman daftar peraturan, ujungnya gue langgar juga.

Gue berjongkok, membuka simpul tali sepatu sambil berpikir bagaimana bodohnya tampilan gue ke sana kemari tanpa sepatu. Guru itu tidak mengucap apa-apa lagi, membungkuk, mengangkut sepatu gue dengan wajah masam menuju ruang guru.

Di saat yang sama, pandangan gue yang tadinya terhalang si guru, jadi bebas menatap ke depan, ke balik pilar. Enggak disangka, mata gue seketika bertemu mata sesosok cewek kece yang sepertinya dari tadi memperhatikan gue.

Gue spontan senyum merespon pemandangan indah. Padahal gue malu dia melihat gue dimarahi guru. Sekarang enggak pakai alas kaki pula. Cewek itu sepertinya juga mau membalas senyum gue sekilas, tapi enggak jadi dan buru-buru pergi begitu bel masuk kelas berbunyi. Gue mau kesal karena sepatu dirazia, tapi enggak jadi setelah melihat gadis itu. 

POSESIFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang