Yudhis
Di lorong menuju ruang guru, gue berpapasan sama satu dua guru. Dari kejauhan mereka sudah memperhatikan gue. Tepatnya memelototi kaki gue yang tanpa sepatu. Gue terpaksa balik tersenyum, lalu berjalan terus sambil menunduk.
Sampai di depan ruang guru, gue secepat mungkin melihat isi ruangan dari jendela kaca. Sudah tidak ada guru di sana. Dan sepatu putih gue ada di rak baris kedua di sudut ruang guru.
Eh, sebentar.
Ternyata ruangan itu enggak kosong. Ada yang sedang duduk menunduk mengerjakan sesuatu. Bukan guru, tapi murid cewek.
Sepertinya pernah lihat.
Kapan ya?
Oh itu cewek manis yang tadi!
Gue jadi bingung mana yang lebih penting. Masuk dengan cepat dan mengambil sepatu itu tanpa ketahuan, atau mencari cara untuk ngobrol dengan gadis itu.
Seakan bisa mendengar pikiran gue, gadis itu tiba-tiba mendongak, kemudian menoleh ke luar jendela. Matanya terbelalak melihat gue. Bibirnya seperti akan mengucap sesuatu, tapi kemudian buru-buru kembali menatap kertas di atas mejanya, seperti berusaha mengabaikan gue. Gue jadi penasaran. Tapi lebih penting mengambil sepatu gue dulu kan ya daripada tampak bodoh di depan dia. Tapi kalau ketahuan gimana? Kenapa gue banyak mikir?
Ah, bodo amat! Gue nekat masuk ke ruangan itu sebelum ada guru yang datang atau melintas. Tetapi baru masuk beberapa langkah, pintu lain di seberang ruangan terbuka! Seketika gue merundukkan badan, berjongkok di kolong meja. Enggak jauh dari kursi meja tempat gadis itu duduk.
Dari tempat gue jongkok, gue melihat langkah kaki seorang guru laki-laki mendekat. Gue merapatkan kaki, takut terlihat. Pak Firdaus, guru Matematika, sedang memberi tugas tambahan untuk perbaikan nilai.
Gue yakin, atau minimal berdoa, setelah ini guru itu akan keluar ruangan lagi. Jadi gue bisa mengambil sepatu, lalu kabur. Tetapi pria itu ternyata berjalan ke meja lain, kemudian duduk santai di sana, menyeduh kopi dengan uap panas yang mengepul.
Aduh!
Gue menutup wajah dengan kedua tangan dan mengumpat tanpa suara.
Akhirnya gue mengambil posisi duduk di lantai di kolong meja. Sementara gadis itu tetap duduk di sana, mengerjakan sesuatu entah apa. Gue menunggu sambil menabahkan hati.
Lima menit kemudian, mata gue yang mulai sedikit mengantuk jadi terbuka melihat selembar kertas yang jatuh ke lantai dari meja tempat gadis itu menulis. Dari tempat gue duduk, mat ague bisa melihat isi kertas itu. Kertas jawaban ulangan Matematika tempo hari. O ternyata cewek itu sedang mengerjakan ulangan susulan.
Ia tidak segera mengambil kertas yang jatuh itu. Mungkin karena enggak tahu.
Gue pelan-pelan menyibak taplak meja, melongok Pak Firdaus yang sedang terkantuk-kantuk di mejanya. Lalu balik memperhatikan kertas jawaban yang jatuh itu lagi, iseng membaca jawaban gadis itu. Apalagi yang dapat dilakukan saat terjebak di bawah kolong?
Gue sempat lihat jawabannya di nomor lima. Sepertinya bukan itu deh jawaban yang tepat. Kemarin Pak Firdaus sudah membahas jawaban yang benar.
Sesaat tangan gadis itu terulur ke bawah, mengambil kertas jawabannya yang jatuh. Enggak sengaja gue memperhatikan sebuah gelang berbandul penguin di pergelangan tangannya.
Gue bimbang mau bilang atau enggak tentang jawabannya yang salah. Kalau bilang kesannya gue sok tahu. Kalau enggak...
"Hei. Nomor lima lo salah tuh," gue berbisik, memilih mengambil risiko.
Gadis itu sepertinya kaget, lalu beberapa saat kemudian melongok ke kolong, melihat gue.
Astaga. Dia benar-benar cakep. Gue berharap gue enggak terlalu terlihat bodoh pas sembunyi begini.
"Jawabannya seratus lima puluh. Coba cek lagi deh," gue meyakinkan lagi.
Gue enggak jago hapalan, tapi lumayan bisa matematika dan fisika. Teman-teman gue tahu gue bisa diandalkan untuk kasih contekan ulangan dan PR.
Gadis itu enggak bilang apa-apa, cuma kembali menekuni kertasnya. Gue enggak tahu apakah ia mengikuti bisikin gue atau cuma menganggap gue siswa bengal yang sok pintar. Gue kemudian menimbang-nimbang apakah akan berdiri saja dengan risiko ketahuan si guru itu, atau tetap di kolong menanti bel istirahat berbunyi. Gue sudah terlalu lama sembunyi.
Saat gue sedang berpikir, tiba-tiba gadis itu perlahan berdiri dari kursinya, lalu berjalan berjingkat ke rak sepatu. Gue menunggu sambil menebak-nebak apa yang akan dia lakukan. Mendadak taplak meja tempat gue sembunyi tersibak lagi. Gadis itu persis ada di depan gue, menyodorkan dua pasang sepatu yang dia ambil dari rak. Mungkin dia bingung sepatu gue yang mana.
Tapi bukannya langsung mengambil sepatu, gue malah bengong mengagumi mata dan senyum cewek itu. Sumpah dia juga menatap wajah gue sambil senyum.
Di detik kesekian, tangan gue akhirnya meraih sepatu gue.
"Makasih," gue akhirnya mengucap sesuatu sambil mencoba memakai sepatu gue.
Dia senyum lagi.
Gue jadi lupa cara pakai sepatu.
"Makasih juga ngasih tahu jawaban yang benar," dia balik berbisik.
"Gue...." gue baru mau mengulurkan tangan mengajak kenalan tepat saat telinga gue menangkap suara seorang pria berdeham di belakang kami.
Dada gue mendadak berdebar.
Gue menoleh ke belakang. Cewek itu juga.
Di belakang kami, berdiri si guru olahraga yang bergantian menatap gue, cewek itu, dan sepatu gue, sambil melipat kedua tangannya di dada.
Mampus!
.:. Duh meleleh kalau di kolong meja ada yang terkasih, begini... ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
POSESIF
Teen Fiction"Aku belum memutuskan untuk tetap mencintai atau membencinya. Ia membuatku ingin memeluknya tapi sekaligus ingin lari menjauh di saat yang sama." Tak ada yang tak mengenal Lala di SMA Pranacitra. Cewek kelas XII itu atlet loncat indah, yang sudah be...