Berdua #2

5.6K 158 9
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lala

Yudhis berdiri di depan pintu ruang loker begitu aku selesai ganti baju. Biasanya saat matahari sudah terbenam begini aku sudah di dalam perjalanan pulang. Tetapi kini Ayah pulang lebih dulu.

"Memang latihan lagi masih efektif? Badan kamu belum capek?" dia bertanya, memperhatikan wajahku yang pasti terlihat kacau.

Aku malu karena penampilanku buruk, justru saat Yudhis menungguiku latihan. Tetapi cowok itu juga yang mengajakku bolos, meski aku juga yang memutuskan untuk pergi bersamanya. Perasaanku jadi tak menentu.

"Hari ini bukan yang pertama Ayah kamu bersikap kayak tadi kan, La?" tanya Yudhis.

Aku menggeleng.

"Besok-besok dia bakal omelin kamu di depan yang lain juga?"

Mataku terasa panas karena menahan air mata. Kadang aku berpikir apakah situasinya akan berbeda andai Ayah bukan pelatihku. Aku tahu ayahku tidak ingin mengistimewakanku. Tetapi aku juga tidak mau Ayah jadi lebih keras khusus padaku karena harapan pribadinya. Setidaknya aku berharap Ayah berhenti berperan menjadi pelatih di rumah.

"Sebenarnya kamu loncat indah cuma karena disuruh atau karena kamu suka?"

Aku menelan ludah mendengar pertanyaan Yudhis. Tentu saja aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa loncat indah. Tetapi segala target pencapaian dan rutinitas yang sama membuat jiwaku terasa kering meski setiap hari ragaku keluar masuk air.

Sesaat aku berpikir kembali apa yang membuatku setiap hari tetap naik ke menara.

"Tiap loncat rasanya ada Ibu di sampingku, Dhis. Tapi kalau sudah jadi atlet, semua jadi enggak sesederhana sekedar loncat," air mata yang tadinya hanya menggenang di pelupuk mata, kini mulai turun ke pipi.

Yudhis menyapu air mata itu dengan jarinya tangannya yang hangat.

"Gimana kalau aku temenin kamu loncat?" Yudhis bertanya lembut, tapi sepertinya tidak menjadikan penawarannya itu sebagai pilihan.

Ia menggenggam tanganku yang masih ragu dan mengajakku berjalan ke kolam, menuju menara. Kami beradu cepat menaiki tangga ke puncak menara sambil bersenda gurau. Kakiku mendadak tidak terasa lemas lagi.

Aku menarik napas sambil melayangkan pandangan ke atas.

Langit bertabur bintang hampir tidak mungkin terlihat di atap Jakarta. Tapi malam itu aku takjub melihat beberapa bintang menaungi kami.

Di atas menara 10 meter, aku dan Yudhis berpegangan tangan. Bersiap meloncat.

"Ingat ya. Tangan, badan, kaki kamu harus lurus. Kaki harus jinjit," aku mengingatkan.

Yudhis mengacungkan jempolnya tanpa bersuara. Diam-diam aku memperhatikan cowok itu. Hanya ada dua kategori orang yang bersedia loncat dari menara 10 meter: mereka yang sangat iseng dan yang sangat niat. Yudhis pastilah bukan golongan yang pertama.

Aku ingat saat dia bilang tidak suka ketinggian. Jantung pria itu pasti sedang berdebar hebat, tapi berusaha tidak menunjukkan ketakutannya. Ia melakukan itu untuk aku. Tanganku makin erat menggenggam tangan Yudhis.

"Satu...dua..." aku berteriak memberi aba-aba.

"Tiga!" ganti Yudhis berteriak.

Kami meloncat ke bawah sambil berteriak dan tertawa lepas. Genggaman tangan Yudhis terlepas saat di udara. Tapi ia menggapai tanganku kembali saat kami bergerak ke sana kemari dalam air, seperti paus bungkuk yang bersahabat, meliuk bersama penguin.

Aku merasa seperti anak kecil yang kegirangan mendapat teman. Loncat untuk bersenang-senang, bukan berusaha sempurna untuk dinilai dan dipilih, atau karena khawatir tidak terpilih.

Perlahan kami berpegangan tangan naik ke permukaan air kolam yang dalamnya juga 5 meter ini. Kaki dan tangan kami bergerak-gerak agar tetap mengapung. Yudhis berteriak girang, entah karena ini pertama kalinya ia meloncat dari ketinggian lima meter, atau gembira karena loncat bersamaku. Kuharap lebih dominan karena alasan kedua.

Satu dua detik kemudian aku baru menyadari cowok itu menatapku lekat-lekat dengan pandangan yang belum pernah kudapat sebelumnya. Apa sih ini? Dadaku jadi berdentum-dentum tak menentu.

Dia tersenyum. Aku menunduk tersipu.

Mendadak Yudhis meraih pinggangku, mendekatkan tubuhku ke tubuhnya. Angin malam bertiup menerpa kami, tapi hanya hawa hangat yang terasa mengaliri tubuhku begitu Yudhis mendaratkan bibirnya di keningku. Rasanya seperti pulang ke kehangatan rumah setelah berhari-hari di tengah laut lepas tak tentu arah.

"La..." dia memegang kedua tanganku erat.

"Ya?" aku bersuara lirih.

Jantungnya dan jantungku mendekat, detaknya bersahutan.

"Aku bahagia sama kamu..." dia berkata, menatap lurus mataku.

"Aku juga, Dhis," sahutku cepat, balik membalas tatapan Yudhis, menyapa jiwanya.

"Jadi pacar aku ya..."

Dadaku penuh oleh kumpulan perasaan bahagia sekaligus haru. Kalimat yang sebenarnya kunanti tapi sekaligus tidak berani kuharapkan itu terlontar lebih cepat dari yang kuduga.

Aku tercenung. Bukan karena tidak mau atau bingung menjawab apa. Aku ingin momen itu berlangsung lama. Kalau bisa mengkristal biar bisa kugenggam, masuk ke toples kedap udara dan bisa kupandangi berlama-lama berulang kali.

Ada kemarau yang tak gersang, hujan yang teduh, salju yang selalu jadi impian masa kecil, dan musim semi penuh kembang mekar dalam hatiku. Seakan dunia berhenti dan seluruh musim, hawa dan rasa ada di sini, saat ini.

Jadi begini rasanya. Semua lirik lagu cinta itu kini baru terasa tepat. Kupu-kupu di perut yang pernah dibilang Ibu, rasa tenang dan lengkap saat bersama seseorang.

Sudah, enggak ada lagi yang aku minta di dunia ini selain bersamanya,beratap langit berbintang, persis seperti ini.     

POSESIFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang