Yudhis
Jadian sama Lala membuat gue merasa di puncak dunia. Ibarat di puncak gunung, awalnya sejauh mata memandang semua terlihat lebih indah dilihat dari atas. Cuma ada gue, dia, dan bahagia. Ketemu Lala itu seperti candu yang harus segera dituntaskan. Tapi sebenarnya waktu Lala dalam sehari untuk bisa sama-sama gue itu terbatas.
Sering gue cuma dapat waktu saat mengantar latihan dan istirahat sekolah sama dia. Itupun enggak selalu. Kadang Lala makan siang sama Ega, Rino, dan teman-temannya yang lain.
Begitu juga akhir pekan. Biasanya Sabtu Minggu waktu yang paling ditunggu orang-orang yang punya pacar. Tapi gue enggak. Lala cuma libur latihan hari Minggu. Tapi di hari itu ia selalu mengeluh kelelahan dan ingin tidur di rumah. Gue mencoba mengerti. Gue sendiri mungkin juga akan bermalas-malasan di rumah dan bangun siang kalau hanya punya hari Minggu untuk istirahat. Beginilah nasib yang punya pacar atlet.
Kemarin, setelah sering bolos bimbel karena pergi atau mengantar jemput Lala, akhirnya gue memutuskan pindah jam bimbel ke malam hari. Sebenarnya itu pilihan yang gue enggak begitu suka. Jam setengah tujuh, tubuh dan pikiran gue sudah lelah untuk diajak berpikir. Tetapi gue mau ada untuk mengantar jemput dan menunggui Lala latihan. Gadis itu berusaha keras agar terpilih masuk tim SEA Games. Apalagi setelah ada atlet baru itu.
Dia belum tahu, tapi gue tahu banget, gue sebenarnya bukan tipe cowok yang sabar dan santai. Gue enggak punya panutan untuk jadi pria seperti itu. Tetapi demi Lala, gue berusaha mencari-cari dan berpegang pada sisi terang dari diri gue sendiri.
Jumat malam, selepas bimbel, gue mampir ke rumah Lala. Tadi gue enggak mengantar dia pulang selepas latihan karena Mama minta dijemput di mal. Gue menengok bunga mawar segar dan sekotak cokelat yang baru gue beli. Kurang romantis apa coba gue, bela-belain bawa surprise buat dia.
Sampai di sana, rumah Lala masih gelap. Sepertinya belum ada yang di rumah. Gue mematikan mesin dan menunggu di dalam mobil. Gue masih mengenakan seragam sekolah, dengan tas dan buku-buku bimbel berserakan di jok belakang. Gue menengok jam di mobil. Pukul delapan lewat lima. Sudah lebih dari sepuluh kali gue menelepon ponsel Lala, tapi tidak diangkat. Pesan singkat gue pun belum dia baca.
Pukul 20.12, dari kaca spion mobil, gue melihat sorot cahaya lampu motor yang datang dari ujung jalan dari arah berlawanan. Motor itu berhenti persis di depan rumah Lala. Gue memicingkan mata, melihat Lala turun dari motor. Pria pengendara motor kemudian melepas helmnya.
Gue tersentak.
Rino?!
Lala enggak segera masuk ke rumah. Mereka melepas canda dan tertawa-tawa beberapa lama. Lala menoyor kepala Rino sambil bercanda, Rino membalas dengan mengacak-acak rambut Lala.
Dada gue sesak.
Tiap hari gue selalu antar jemput Lala, tapi sekalinya gue enggak ada dia pergi sama Rino?! Gue mencengkeram kemudi mobil dengan geram, tapi mencoba sabar.
Gue turun dari mobil setelah motor Rino menjauh dari pandangan, mendekati Lala yang baru membuka pagar. Gadis itu terperanjat menyadari kehadiran gue, apalagi saat sadar gue pasti melihat interaksinya dengan Rino tadi.
"Aku telepon dari tadi enggak diangkat-angkat," gue berusaha tetap tenang. Tapi bisa jadi wajah gue sudah tampak kesal. Gue tahu wajah gue seperti akuarium. Apapun yang terjadi di kepala gue dan hati gue hampir pasti tampak di mata dan wajah gue.
Lala serta merta merogoh isi tasnya mencari telepon genggam. Gue sudah menelepon paling enggak sepuluh kali dan mengirim sekitar 20 pesan singkat.
"Maaf, Dhis. Tadi habis latihan tiba-tiba Rino datang, terus kita spontan pergi," Lala terbata-bata berkata.
"Oh, spontan," gue merespons singkat, mengulang satu kata yang menurut gue jarang dilakukan Lala. Gue belum lama kenal, tapi tahu Lala orang yang terencana. Gue bisa mendengar gemeletuk gigi gue yang beradu. Tapi gue setengah mati menahan diri agar enggak melontarkan komentar panjang lebar.
"Maaf ya aku enggak bilang. Tapi jangan salah paham. Rino itu teman baik aku dari kecil. Ega juga. Kita udah kayak saudara. Kamu cuma perlu lebih kenal sama mereka," wajah Lala tampak resah.
Gue menarik napas dan berusaha tersenyum, lalu menyerahkan bunga dan cokelat gue ke tangan Lala, kemudian masuk ke mobil tanpa berkata-kata.
Telinga gue masih menangkap suara Lala memanggil nama gue dan bilang maaf. Tapi gue enggak menggubris dan terus memutar balik mobil gue. Gue sudah cukup bangga enggak berkata banyak merespons situasi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
POSESIF
Teen Fiction"Aku belum memutuskan untuk tetap mencintai atau membencinya. Ia membuatku ingin memeluknya tapi sekaligus ingin lari menjauh di saat yang sama." Tak ada yang tak mengenal Lala di SMA Pranacitra. Cewek kelas XII itu atlet loncat indah, yang sudah be...