MENJADI SATU KARENA SEPATU #1

7.3K 163 8
                                    


Lala

Sial! Aku jadi ikut dihukum bersama cowok ini!

Tahu-tahu aku dan cowok yang bahkan belum kukenal ini sudah berdiri di tepi lapangan basket di tengah sekolah, disuruh mengelilingi tempat itu berdua. Ah!

Pak Ali menggiring kami ke sana setelah tahu aku membantu cowok itu. Guru itu menyuruh si cowok baru mengikat tali sepatunya ke tali sepatuku, begitu juga sebaliknya hingga bertautan erat satu sama lain! Kakiku dan kakinya jadi tidak bisa tidak bergerak bersama.

Andai cowok itu tidak membisikkan jawaban yang ternyata benar, aku enggak akan sekali-sekali mencoba membantunya. Dan sekarang aku menyesal!

Aku hampir tidak pernah melakukan pelanggaran tata tertib sekolah. Satu-satunya pelanggaran terberat yang pernah aku lakukan adalah terlambat 5 menit mencapai gerbang sekolah saat upacara bendera sudah dimulai. Itu pun hanya diberi peringatan.

"Kalau kompak jangan tanggung. Jalan keliling lapangan!" perintah Pak Ali membuatku tersentak.

"Tapi Pak..." cowok itu menyela.

"Apa? Kalian sudah sama-sama salah! Jangan membantah lagi," Pak Ali tidak menahan suaranya.

Cowok itu menampakkan ekspresi bersalah bercampur gusar.

"Ayo!" Pak Ali menghardik.

"Se...sebentar, Pak," aku bersuara pelan, pura-pura merapikan rok.

Tarikan napasku jadi pendek. Perutku mulas.

Ini lebih mengerikan daripada loncat dari menara 10 meter untuk pertama kalinya.

Aku menelan ludah sambil memicingkan mata, sekilas melihat ke jendela-jendela kelas di sekeliling lapangan. Sambil memejamkan mata, aku berdoa agar anak-anak di dalam kelas tak ada yang menoleh ke lapangan.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Bel istirahat berbunyi nyaring!

Doaku tertolak mentah-mentah. Aku memejamkan mata.

Satu persatu anak yang baru keluar dari kelas seketika menyadari pemandangan aneh di lapangan. Mereka bergegas mendekat sambil berteriak riuh menyoraki kami.

Apa aku baru menyebut kata kami?!

Cieee!

Modus nih!

Romantis banget sih dihukum berdua!

Aku dan cowok itu saling memandang. Aku membuang muka.

Seakan membuka sebuah pertunjukan dadakan, Pak Ali meniup peluit kencang-kencang, pertanda kami harus mulai berjalan.

"Tenang aja, kita pasti bisa. Anggap aja lagi ngehibur orang," cowok itu bicara padaku dengan senyum lebar. Nada suaranya yang santai membuatku jadi rileks. Bahuku kini tak lagi tegang. Aku menunduk sambil tersenyum kecil.

Ya sudahlah, kapan lagi bikin memori konyol di SMA. Dulu Ibu pernah bilang, yang hari ini kita anggap sebagai tragedi bisa jadi adalah bahan tertawaan bertahun-tahun yang akan datang. Rasanya benar juga.

Dia lebih dulu menggerakkan kakinya. Aku mengikuti irama langkah cowok itu. Jalan kami lumayan serempak. Gemuruh suara bising di sekitar kami terdengar makin kencang.

Wajahku terasa panas menahan malu. Tapi anehnya bibirku tersenyum.

Sekilas aku melihat Ega dan Rino yang baru keluar dari kelas. Mereka tampak terperanjat kebingungan memandangiku dari kejauhan. Serta merta Ega berlari mendekat, berdiri di pinggir lapangan dan bersuara paling kencang.

"Cie Lala! Kiri kiri, kiri kanan kiri," ia memberi komando. Aku melotot ke arah Ega sambil terus berusaha fokus pada langkahku. Lama kelamaan anak-anak lain mengikuti komando Ega yang kini tertawa terbahak-bahak.

Awas ya Ega!

Cowok baru yang tadinya santai dan percaya diri itu kini jadi ikut canggung. Langkah kami jadi tidak kompak. Cowok itu nyaris jatuh tersandung kakiku. Aku pun tidak sanggup lagi menahan tawa. Kami jatuh terduduk bersama saat nyaris mencapai tepi lapangan sambil tertawa lepas.

Di bawah panas matahari, di tengah sorakan, siulan, dan tatapan mata seisi sekolah, bisa-bisanya aku diam-diam mencuri pandang ke cowok itu.

Astaga! Dia lebih ganteng saat tertawa.

POSESIFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang