Confession

14 3 2
                                    

Namaku Brawijaya, kata papa namaku yang mirip salah satu raja tanah jawa adalah pemberian ibuku yang tak pernah kulihat. Ibuku atau bisa kusebut wanita yang melahirkan diriku di dunia ini. Dia adalah sosok yang tak pernah terlihat di 18 tahun hidupku.

"Bray, lo udah selesai belum. Ah senior udah manggil nih"

Hari ini adalah masa awalku di kampus. Hari pertamaku melepas titel pelajar menjadi mahasiswa. Dan hal seperti ini, aku dapat dari hasil kerja keras ayah membesarkanku. Ayahku adalah pria yang baik dan bertanggung jawab. Tak pernah sekalipun beliau mengeluh mencari lembar demi lembar rupiah dengan keringatnya itu.

Aku tersenyum menatap jam yang melingkar di tanganku. Ini adalah hadiah dari ayah saat aku mendapat beasiswa penuh untuk kuliah.

"Dia siapa" pertanyaan dari salah satu temanku seketika membuyarkan lamunanku.

"Rektor kita, dia rektor muda dan wanita karir yang sukses" jawabnya dibalas anggukan.

Aku melihat sosok wanita yang kemungkinan berkepala empat di depan podium aula. Dan entah apa ini. Jantungku berdetak kencang memandang wajahnya.

Rupa yang tak pernah berubah dimakan waktu.

-*-*-

Nasibku begitu menyedihkan dua bulan setelahnya. Akhir tahun ini, aku telah menjadi seorang yang tak punya siapa-siapa. Ayahku meninggalkanku.

Di atas pusaranya aku bersimpuh, memohon maaf atas kesalahanku padanya. Tangisku sudah tidak lagi mengeluarkan air dan suaraku sudah kering tak mampu bicara.

"Nak, sabarlah" suara lembut dan uluran tangan halus menerpa tubuh. Namun langsung ku tepis dan menegakkan kembali tubuh tegapku.

"Jadi kamu adalah anaknya Pengemis itu" hinaan dari seorang pria tua itu. Pria tua berjas abu-abu dengan tatanan rambut klimis.

"Papaku bukan Pengemis, pak!" suaraku mendesis tidak suka. Berani sekali pria tua itu menghina ayahku yang telah berada di peraduan.

"Sekali lumpur tetap lumpur" sifatnya arogan dengan tangan siap memukulku. Aku masih menatap nyalang ke arahnya dan melihat tangan seorang wanita menghentikan ayunan tangan keriput tersebut.

"Jangan," teriaknya terkesan lembut. Sedang diriku mendengus tidak suka adegan yang baru saja terjadi.

"Ayah" wanita tadi menatap memperingati Pria tua tersebut.

Sejenak aku kembali melihat gundukan tanah segar, nisan ayahku.

"Dia kakekmu. Kita pulang ya sayang" wanita itu kembali mendekat. Dan lagi kuhempaskan tangannya dengan kasar. Menjorokannya jatuh tak berdaya.

"APA LAGI HAH!!" teriakku sekuat tenaga. Biarkan aku dikatakan pengecut meneriaki wanita paruh baya yang lemah.

"Kau!"

"Kalo bukan karena putriku tidak kuizinkan anak lumpur sepertimu berkuliah di kampusku. Didikan seorang jalanan kasar tetap hasilnya menjadi gelandangan" pengakuan yang benar membuatku bertepuk tangan.

Ayah lihat, baru beberapa jam ayah meninggalkanku dan mereka seenaknya menghujatmu. Ayah lihat, dua orang yang barusan mengaku keluargaku menghina ayah. Ayah lihat, aku tidak bisa berbuat apapun untukmu.

Kepalan tanganku makin mengerat. Jika pria tua dan anaknya ini tidak mengaku sebagai kakek dan mamaku, tak sudi diriku ini menuruti mereka.

"Tenang saja pak, semester depan bapak gak ketemu saya lagi" tuturku berusaha sopan.

"Jaya?"

Cih, wanita itu lagi.

"Ada apa bu?" kembali aku kumpulkan rasa hormatku pada mereka. Walaupun terasa panas hatiku ini terus bersama mereka.

"Maaf tidak bisa membesarkanmu, Jaya" cicitan kecil yang mampu kudengar.

Wanita yang mengaku mamaku ini adalah rektor di universitasku. Dan pria tua itu pemiliknya.

"Buang semua perhatianmu ini!" gagal sudah usahaku menghormati mereka.

"Mama-"

Hentikan semua ini !!

"Mama katamu?"
"Dimana kamu saat Ayahku banting tulang membesarkanku, dimana kamu saat semua orang mengejekku tidak punya mama, dimana kamu saat aku kesakitan dihajar teman-temanku, dimana kamu saat aku terserang penyakit, dimana kamu saat aku kelaparan, dimana kamu saat aku terlambat dijemput pulang sekolang, dimana kamu saat pengambilan rapot sekolahku, dimana kamu saat aku- hiks- saat aku tidak bisa menyelamatkan ayahku" lolos.

Lolos sudah tangisku.

Janjiku tidak menangis di pusaramu tidak kutepati.

"Jaya-"
"Dengarkan aku!"

"Wanita sepertimu tidak pantas menjadi mamaku!"

"JAYA!!"

Aku berlari meninggalkan area pemakaman ayahku. Tidak peduli dua orang yang terpaku, sial wanita itu mengejarku. Dan dia berhasil menghentikanku sebelum angkutan tiba.

"Biarkan aku jadi anak durhaka!!!, sampe kapanpun kalian bukan keluargaku!" seruku mendorong tubuhnya di trotoar jalan. Rasa kemanusiaanku hilang dengan membuang wajahku untuk tidak menatapnya.

*-*-*

"Bray, lo kenapa?" pertanyaan Aden saat melihatku di kontrakannya.

"Biarkan gue tinggal bareng lo Den, gue udah gak punya siapa-siapa lagi" ujarku lesu. Dia mempersilahkan diriku masuk dan duduk di ruang tamu.

"Loh ibu lo dimana? Bukannya kata bu rektor, dia tahu Ibu lo?" aku terdiam sejenak mendengarnya. Aku menghirup nafas dalam untuk menjawab pertanyaan Aden kali ini.

"Mati, gue cuma ketemu orang yang mirip dengannya aja"

CerPen-Judul ada di Bab-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang