Cibiran

15 1 2
                                    

Pengalaman pribadi Kay yang sempat di publish di blog.

XxxxX

-11 Maret 2012-

Tak seperti hari ini aku harus mengendalikan diriku. Aku sangat yakin.

"Jadi Sna, mau lanjut di SMA mana?"

"maunya yang negeri aja, Lek,"

"huh, zaman sekarang bagus lulusan SMK. SMA tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak memilki keahlian."

"cepat-cepatlah kerja. Gak selamanya kedua orangtuamu hidup membiayaimu, Nduk"

"Keuangan keluargamu juga semakin menipis,"

"iya, hutang sana-sini. Apa kamu tidak mau membantu orang tuamu?"

"Nduk, kerjalah dan bantu orangtuamu melunasi hutangnya,"

Itulah percakapan pagi yang selalu kulewati dari hari ke hari. Padahal hari ujian belum dimulai, kelulusanku juga belum di umumkan. Tapi seluruh orang sudah ingin menghakimiku hari ini. Memang pilihanku salah?

Memang akhir-akhir ini keuangan keluargaku berada di ujung tanduk. Rumah kami hampir saja disita oleh Bank. Dan pabrik Ayah yang mengalami kebakaran sebulan lalu. Entah apa yang masih membuat Ayah dan Ibuku masih berada di lautan mata penuh intimidasi ini. Mereka sibuk menyalahkan kesalahan diri orang lain tanpa ada niatan untuk membantu. Tapi masih ada seseorang yang membantu di keluarga ini. Kakek dan Nenek-ku.

Kakekku yang biasa kupanggil Mbah'kung adalah seorang pemuka agama terkenal di daerah. Tak jarang beliau turut berdakwah ke daerah-daerah lain jikalau dipanggil. Begitupula dengan Nenekku, dia menjadi seorang wanita yang dihormati di sekitar rumah kami.

Namun tetap saja, mereka yang sudah tua dan renta tidak dapat membantu keluargaku. Mungkin menghentikan percakapan memuakan ini pun terasa sangat sulit bagi mereka. Nenekku hanya memandang dengan senyuman begitu terpaksa untuk meredam emosi. Sedangkan Kakekku menatap tajam mengarah pada Ayahku. Ayahku adalah menantu di keluarga ini.

"Asal ada tekad dan kerja keras semua lulusan sama saja," layaknya penolong Kakakku menyela percakapan kerumunan orang tua itu. Kakekku tersenyum mendengarnya seperti dia turut mendukung ucapan Kakak.

Aku menatap Kakakku yang masih sibuk mengetik lembar-lembaran kertas kerjanya. Kakakku sekarang lebih memilih usaha sendiri dan keluar dari pekerjaan yang sangat susah didapatkan. Aku masih ingat betapa bahagianya Kakakku mendapatkan surat resign yang kemudian berhadiah satu kepalan tinju dari Ayah. Aku masih ingat saat itu anaknya Kakakku menangis memeluk dan melindungi Kakak dari kejaran Ayah.

"Yah, seperti dirimu yang menyia-nyiakan pekerjaannya hanya untuk mengejar Doctor!" Aku terdiam menunduk. Aku tahu diantara semua keluargaku, Kakakku-lah yang sering mendapat cercaan. Bukan. Keluargaku sering mendapat cercaan dan sindiran dari seluruh anggota keluarga besarku.

" 'de, gak semua pekerjaan yang pak'de tahu itu adalah pekerjaan enak seperti dirimu-pembohong!" final sudah. Ucapan yang menusuk itu telah keluar dari lidah Kakakku. Dengan membawa laptop dan kerjaannya, dia pergi meninggalkan ruang keluarga. Kakek menghela nafas berat melihat kelakuannya bersamaan dengan Nenekku yang mengelus pundaknya. Sifat lancang Kakakku konon adalah warisan Ayahku saat ingin melamar Ibu tepat dihadapan Kakek. Yah, buah jatuh pasti tepat di bawah pohonnya bukan.

"Kang, itu adalah pilihan Zain. Gak usah ikut campur," Ayahku membela dengan sangat terlambat. Ada tutur nada permohonan maaf namun begitu samar. Pak'de kembali memanggilku lagi, segera saja kutolehkan wajahku menghadapnya.

"Jadi kamu ingin sepertinya?" pertanyaan memancing itu kembali terlontar.

"Kamu mau jadi seperti Kakakmu itu?" Lagi.

"Dia sudah memalukan keluarga kalian," Lagi.

"Kamu mau menjadi perusak keluarga sepertinya," Lagi.

"Nduk, mending kamu sekolah sama Mas-mu di-"

"Kita akan menyekolahkannya hingga kuliah." Ayah dan Ibuku menyela. Seluruh mata memandangi kami bertiga.

"Kalian yakin, Mim, Mah?"

Ayah dan Ibuku tersenyum saling memandang. Mereka mengangguk pasti dan Ayah kembali melanjutkan ucapannya.

"'ngGeh Kang, Sna punya cita-cita besar mana mungkin kami akan menghentikannya karena kami. Mungkin uang kami telah habis untuk usaha dan utang-utang kami yang kian menumpuk di meja. Tapi Aku yakin... suatu hari nanti anakku ini akan ingat perbuatan orang tuanya,"

Rasanya aku ingin menangis mendengarnya. Seluruh pandangan buruk keluargaku seakan sirna melihat kedua orang tuaku. Inilah mereka. Seberapa banyak cibiran orang mengenai mereka, mereka akan selalu bersama-sama melindungi satu sama lain. Dan aku akan berusaha. Ini adalah terakhir keluargaku dipandang sebelah mata oleh kerabat atau orang lain. Aku berjanji.

CerPen-Judul ada di Bab-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang