Pelakon

17 0 0
                                    

Ini salah satu cerita yang kay dengar dari Papa saat beliau remaja. Bukan mistis lebih ke masalah intrik masyarakat. Bagi yang tidak suka genre Bromance diharapkan mundur dulu sebelum kalian menuduh saya pemihak LGBTQ.
^=^


"Ncuk, Aku ini masih waras!" ujar pemuda itu mendorong Pria yang sedang menurunkan celananya.

Riasan wajahnya sudah terhapus oleh air mata yang mengalir di kedua sisi pipinya. Kedua tangan pemuda cantik itu sudah diangkat tinggi dan diikat kuat. Tubuhnya lalu terangkat oleh seorang Pria lain yang memegang pinggulnya.

Dia menendang-nendang kakinya ke udara. Tentunya untuk membuat dua orang yang lebih tua darinya berhenti menggerayanginya. Lalu kedua Pria berusia 30-an itu berhenti. Saling menatap lalu menyeringai.

"Bukankah bokongmu itu sering meliuk-liuk melambai untuk mengundang kami?" tanya mereka bersamaan.

"Edan! Walau aku penari jangan samakan dengan penjaja tubuh!!" teriak pemuda itu.

Dia menarik tangannya berulang kali, melepaskan ikatan. Kedua pria itu tersenyum miring, melihat ketidak-berdaya salah seorang penari jaran kepang yang tadi menari gagah juga luwes.

"Sudahlah hentikan saja, nikmati waktu bersama kami,"

"Iya ya, bukankah kamu juga diajari gurumu bagaimana cara memuaskan diri?"

"Kamu pasti puas jika kita melakukannya. Dua lebih baik dari satu,"

Pemuda itu menutup matanya. Menulikan pendengarannya. Dia seolah tidak mendengar kalimat-kalimat godaan dari sesama jenisnya.

Entah bagaimana kemudian, dua tubuh tergeletak jatuh di dua sisi tubuhnya. Bulu kuduk pemuda itu berdiri seketika siulan burung hantu terdengar. Angin dingin meniup tubuh polosnya yang terbuka.

Celananya diangkat setelah berhasil terlepas dari ikatan. Tidak ingin melirik dua tubuh kaku yang sempat menggencetnya. Tidak juga dia memperhatikan seorang berbaju putih berkomat-kamit dengan asap menutupi bayangan. Pemuda itu segera berlari keluar dari kebun secepat kilat.

OoO

Para warga berkumpul pada sebuah rumah besar yang berisi alat-alat kesenian. Mereka sibuk membicarakan hal yang menghebohkan. Berita heboh itu adalah menghilangnya setiap Pria pada malam Sabtu Pon.

Para warga yakin, pondok kesenian di depan mereka penyebab satu per satu pria di desa menghilang. Kejadiannya terus berulang hingga malam kemarin. Selesai tabuhan gemelan, ketika penari masuk ke ruang rias, dua orang penonton mendadak hilang. Penonton lain tidak menyadarinya begitu pula dengan jejak mereka.

Salah seorang penari bertubuh gemulai berkata, Gartha, salah satu penari jaran kepang tidak kembali ke kamar setelah menari. Satu peristiwa yang beruntut untuk dijadikan kesimpulan, siapa tersangka dari penculikan para penonton.

"Ayok geret bocah kuwi,"

"Nggeh, watake ra sepolos apik rupane,"

Begitu cacian yang Gartha dapatkan saat membuka pintu rumah. Garis wajahnya masih ketakutan akan peristiwa yang menimpanya semalam.

Kemudian, seorang wanita tua maju mendekati kerumunan. Di langkah kaki rentanya dia berdiri tanpa gentar. Menatap para warga yang memberi tuduhan miring kepada putranya.

"Ki sanak, Nyai sanak, anakku tidaklah salah. Malah semalam dia diajak bergumul oleh dua pria yang tidak dikenalnya," ucapnya tenang.

Turut juga berkata guru seni yang menjadi warok semalam, "semalam dia hilang dan kami melihatnya di kebun penuh luka."

CerPen-Judul ada di Bab-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang