Drian masih ada di tempatnya. Duduk termangu di halaman rumah, setelah membersihkan motor. Menunggu senja, ditemani embusan udara sore yang kian dingin.
Saat tersadar, ia merogoh kantong celana pendeknya untuk mengambil telepon seluler. Setelahnya, membuka media sosial.
Perlu diketahui, cowok itu sekarang menjadi stalker akun media sosial Rara yang memang memiliki daya tarik tersendiri baginya. Meski akun media sosial lain sang pacar jarang aktif, akun Facebook cewek itu tetap menjadi sasaran, walau terakhir aktifnya pun sudah lebih dari enam bulan yang lalu.
Sebenarnya Drian berharap bisa menemukan lebih banyak foto Rara ketika cewek itu tengah sendirian. Ia belum puas hanya dengan tiga foto yang berhasil dicuri dari akun Annada Rara tersebut. Itu saja sepertinya foto entah dari tahun kapan!
Baiklah. Sekarang, hal itu bukanlah poin penting lagi baginya. Karena ternyata, Rara bisa menghiburnya dengan cara lain, yaitu kiriman-kiriman lama yang membuatnya geleng-geleng, tersenyum-senyum, tersindir, jengkel, bahkan mengangguk setuju saat ia baca di dalam hati.
Suka senyum, bukan berarti genit. Nggak senyum, bukan berarti sombong. Ada tuh, yang nggak suka senyum tapi kalau ngadepin cowok jadi genit. Gue, mungkin.
Kalau jatuh di tempat umum, sakitnya sih kadang nggak seberapa. Malunya itu yang awet.
Alis tebal sebelah kiri Drian terangkat. Ia tersenyum geli. Masih dalam keadaan men-scroll ke bawah, hingga tanpa terasa mendarat pada kiriman-kiriman tahun lalu.
Gue baru tahu. Eh, maksudnya baru nyadar. Kenapa orang sedih selalu nyari-nyari sahabatnya? Katanya, biar berkurang beban dan sedihnya. Terus, kalau lagi bahagia kenapa nggak muncul? Oh, takut berkurang ya kebahagiaannya? Senyumin aja.
Drian terperangah mendapati sindiran secara terangan-terangan itu. Lalu geleng-geleng heran, juga pelan.
Kesal itu kalau ketemu orang yang gue kenal, tapi dianya sok nggak kenal. Ditambah, gue lagi jalan bareng temen yang sama-sama kenal si doi, itu kesalnya bisa dobel. Karena doi ngobrol ngalor ngidul bareng temen gue gegara temen gue itu cantiknya kebangetan, lebih menarik perhatian banyak orang ketimbang gue.
Setelah kehabisan topik, doi pergi. Tahu apa yang terjadi?
Temen gue nyeritain isi obrolan mereka yang udah gue denger sepenuhnya tanpa harus diceritain dua kali. Dua-duanya emang belum pernah makan sandal, kayaknya.
Drian meringis. Tahu, bahwa itu benar-benar murni curahan hati sang pacar, yang bahkan hampir membuatnya terbahak.
Ia pun masih membaca tulisan pada layar ponsel, hingga akhirnya tersentak. Sama sekali tak menyangka bila Rara bisa serius juga. Sempat terpikir olehnya, jika saja Rara ialah remaja populer, sudah pasti kiriman yang ia baca selanjutnya ini akan direspons gila-gilaan.
Tepat di Hari Ibu, nggak hujan. Harapan gue masih sama, setiap harinya. Nggak akan pernah ada hujan di mata ibu.
Mungkin, ini yang membahagiakan: melihat orangtua saya tersenyum bangga. Barangkali, ini yang sulit: alasan orangtua saya tersenyum adalah diri saya sendiri.
Meski tak mengerti ada makna apa di balik tulisan itu secara spesifiknya, hal-hal semacam ini yang tetap membuat Drian kian merindu.
Bagaimana tak rindu, jika semacam ini? Bagaimana ia tak mengabaikan segala kecantikan yang akhir-akhir ini terpampang di hadapan, bila hatinya sudah begini jauh bertaut? Bagaimana tak ingin segera bertemu, jika dengan beberapa kiriman saja telah menghadirkan banyak cerita baru?
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Interaksi
Teen FictionJudul Awal: Klop! (Bukan Asal Pacaran) Status Rara dan Al itu jelas pacaran, meski jadian secara sepihak. Hanya saja, walau kedekatan mereka semakin intens dan mulai saling terbuka, ada satu hal yang membuat Al jengkel. Yaitu, Rara tak tahu nama len...