42. Extra Part - 1

12.7K 629 65
                                    

Selepas menyelesaikan kegiatan makannya, Rara meminta Al untuk tetap tinggal. Cowok itu mengangguk, lalu menatap kepergian Rara yang semakin menghilang ditelan jarak pandang. Pun tak mengerti apa yang dilakukan oleh cewek itu di dalam sana.

Rara muncul kembali dengan sebuah sapu ijuk di tangan. Drian sempat mengira cewek itu akan menyuruhnya menyapu. Namun, ternyata gadis itu mengerjakan sendiri.

Drian merasa kurang enak hati saja, saat hanya menjadi penonton. Ia berkali-kali menawarkan bantuan, tetapi selalu ditolak. Dan sebelum cewek itu menerima tawarannya, maka ia akan terus menawari. Terlebih, keadaan tangan Rara tengah tak fit.

"Ya udah deh, kalau mau bantu. Tolong Kakak geserin meja ini." Rara menunjuk meja dengan sapu yang ada di tangannya.

"Sekarang, disuruh ngapain lagi?" tanya Drian begitu antusias, setelah menggeser benda yang dimaksud.

"Tunggu sampai selesai nyapu ini, terus Kakak geser lagi ke tempat semula."

Begitulah yang dilakukan keduanya. Yang satu menyapu, dan satunya menggeser perabotan yang sekiranya membutuhkan tenaga besar, hingga selesai.

Drian membandingkan keadaan rumah ini, yang terlihat lebih rapi dan lebih bersih dari sebelumnya. Lalu mengikuti langkah Rara yang berjalan entah ke mana. Kemudian mendapati satu bak besar pakaian yang masih direndam.

Ia menebak apa yang akan Rara lakukan. Lalu melihat cewek itu berjongkok, serta menyingsingkan lengan baju. "Tangannya kan masih sakit, Ra."

"Nggak usah lebay, deh. Yang aktif kan yang kanan. Kirinya mah ngapain doang," balas Rara santai.

"Kayaknya Rara udah biasa ngerjain pekerjaan kayak gini, ya?" tanya Drian. Tentu saja takjub akan keahlian Rara dalam mengurus rumah. Pekerjaan yang biasanya sukar dikerjakan sebagian besar remaja, takut kulitnya kenapa-kenapa, dan lain sebagainya.

"Nggak terlalu biasa juga, sih. Cuma, tiap hari Minggu sering bantu Bunda ngurus rumah. Biarpun biasanya cuma ngapain. Kata Bunda, perempuan emang harus bisa ngerjain kerjaan kayak gini. Kalau di rumah nggak ada orang, siapa yang ngerjain?"

"Oooh, jadi alasan Rara nggak mau belajar bareng pas hari Minggu itu, ini?"

"Salah satunya." Rara terdiam, mulai menyadari sesuatu. "Kok ikut ke sini, Kak? Udah, balik aja ke depan sana."

"Mau bantuin."

"Bantu ngapain? Udah, ke depan aja sana."

Drian tetap bergeming. "Gue mau di sini, mau nemenin Rara."

Rara mengembuskan napas sejenak. "Ya udah, Kakak duduk di situ. Ntar kalau udah waktunya, Kakak bisa bantu."

Drian melirik posisi yang ditunjuk cewek itu, kemudian mengangguk dan menuju sebuah kursi kecil yang berada tak jauh dari posisinya dan menduduki benda tersebut. Ia mengamati apa yang Rara lakukan dengan takjub, lalu mengulas senyum.

Ia menjadi tahu, bahwa pekerjaan seorang istri memang banyak dan tak ringan. Pun belum tentu bisa dikerjakan olehnya, yang kelak akan menjadi seorang suami.

Tiba-tiba Drian terkikik saat menyadari pemikirannya sendiri. Istri? Entah mengapa ia berpikir sejauh itu.

Bahkan, ia sudah membayangkan bagaimana Rara setia menunggunya pulang bekerja sambil menidurkan bayi mereka. Jika seperti itu, maka Rara tentu akan menjadi istri yang baik baginya, serta ibu yang tak kalah baik bagi anak-anak mereka kelak.

"Calon istri yang baik."

"Siapa?"

"Rara."

Rara tertawa garing. "Calon istri yang baik, belum tentu jadi istri yang baik. Kayak anggota DPR. Pas masih calon, baik banget. Pas udah dapat kursi keanggotaan, ternyata banyak yang lupa sama orang-orang yang udah diberi janji. Bisa aja yang gue lakuin ini cuma pencitraan," sahutnya melantur, masih berkonsentrasi pada pakaian di tangannya. Kemudian menggeser sebuah kursi kecil untuk diduduki, yang berada tak jauh dari posisinya. Sepertinya ia sudah lelah dengan posisi berjongkok setelah mencuci selama kurang lebih setengah jam.

Garis InteraksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang