Drian telah menyelesaikan tugasnya memperbaiki motor di bengkel yang dirintisnya ini. Lalu ia memberesi peralatan yang baru saja digunakan.
Pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepala, akhir-akhir ini semakin menghantuinya.
Pantaskah ia untuk Rara?
Bisakah ia memberikan kehidupan yang layak bagi gadis itu sekarang?
Rasa-rasanya, pemisah di antara mereka pun semakin tebal. Sekarang Rara sudah bergelar sarjana, sementara ia sendiri hanya lulusan SMA. Tentulah laki-laki yang mendekati gadis itu bukan orang sembarangan, dan sudah pasti bukan orang sepertinya yang pekerjaannya belum menentu seperti sekarang ini.
Walau harapan masa remajanya itu masih ada. Masih sama. Hanya nyalinya saja yang sedikit demi sedikit mulai berkurang. Ia tahu diri. Sekalipun sikap Rara tak berubah hingga sekarang, kedekatannya dengan gadis itu hanyalah pemanis pada usia belasan tahun, bukan untuk masa depan.
"Aku ikhlas, Ra, kalau memang kamu sudah menemukan orang yang jauh lebih pantas buat kamu," bisiknya kepada dirinya sendiri.
Kini pemuda itu diam. Kepalanya terasa berat. Ada rasa tak menentu di hati saat mengucapkan kalimat barusan. Ada ketidakrelaan ketika menyadari betapa ia masih berharap kepada gadis periang itu. Ada harapan agar ia tak hanya berkhayal. Kalau Rara memang masih menunggunya.
Bedak Bayi: Gak bales kita jadian, bales kita ta'arufan *emoticon tertawa
Drian hanya membaca pesan dari Rara itu. Ia tak memiliki minat untuk membalas. Ingin menjaga hatinya sendiri agar tak terlalu terbawa perasaan yang lebih dalam lagi jika ia merespons, mengingat kebiasaan Rara yang suka bercanda.
Kebiasaan gadis itu tak berubah, walau mereka sudah lama tak berkomunikasi. Kebiasaan yang mau tak mau selalu membawa Drian kepada kepingan-kepingan masa lalu mereka.
"Coba bayangin deh, Kak. Seandainya di Indonesia ini cuma ada satu agama doang." Rara mengatupkan mulut, menimbang hal yang terasa janggal.
Drian enggan berkomentar. Itu terlalu sensitif. Salah-salah, nanti ia bisa dianggap sebagai pemantik konflik SARA. Apalagi, perkataan Rara masih setengah-setengah begitu.
"Yang pasti sih, menurut gue itu bukan solusi buat terbebas dari perpecahan, kalau setiap orang tetap ngerasa benar sendiri. Dan yang jelas, kita sebagai pelajar ---yang anggap aja teladan--- ini bakalan repot, kalau itu betulan terjadi."
"Loh, kenapa?"
Rara nyengir. "Soalnya, hari libur pasti berkurang banyak."
Drian tertawa keras, merasa tertipu oleh topik yang diangkat oleh lawan bicaranya itu. "Kirain apaan."
Atau kejadian seru lain, yang mana menjadi bukti bahwa Rara memandangnya dengan tatapan yang biasa-biasa saja.
"Aldrian Setya Ramadhan, kapten tim bola Semesta. Masa, nggak tahu?"
"Katanya, kapten bola Semesta itu namanya Drian? Apa udah ganti?"
Lama-lama Drian jadi frustrasi atas permainannya sendiri. "Ya emang Drian sama Aldrian Setya Ramadhan itu orang yang sama, Ra."
Rara manggut-manggut. "Emang si Drian mainnya bagus? Kok bisa jadi kapten?"
"Nggak tahu sih, kenapa pelatih milih dia jadi kapten."
"Modal tampang doang, paling!" Drian terperangah, juga jengkel saat mendengar tebakan nan singkat, padat, serta kurang berbobot ini.
"Nggak gitu juga kali, Ra. Emangnya kalau kaptennya cuma modal tampang yang bisa bikin cewek-cewek teriak histeris sampai mau pingsan, bisa langsung jamin timnya bakal menang terus!? Kalo kayak gitu ya kapten timnas kita yang sekarang jangan Boaz Solossa, tapi Aliando atau Al Ghazali aja, biar jadi juara piala dunia! Piala akhirat, sekalian!"
Rara menatap heran. Perasaan yang dibicarakan itu Drian. Kenapa ini cowok, yang suaranya naik pitam? Berbagai pertanyaan serupa kini menggentayangi benaknya. "Ya udah kali, biasa aja. Nggak usah ngegas gitu juga, ngomongnya."
Drian tersadar dari sikap bodohnya. "Bukan gitu, Ra, maksudnya."
Meski masih kesal, Drian merasa perlu meluruskan pemahaman Rara bahwa tugas seorang kapten bukan hanya memimpin rekan-rekannya, tetapi harus bisa mengangkat beban moral timnya saat terpuruk, menjadi stabilitator emosi tim. Pun bukan hanya menonjolkan kelebihan saat timnya berada di posisi unggul. "Itu sebenernya fungsi seorang kapten. Mereka nggak cuma dapet gelar buat gaya-gayaan, tapi tanggung jawab besarnya juga ada. So, Rara nggak bisa nuding Drian jadi kapten karena modal tampang doang. Ngerti kan, maksud gue?"
Rara mengangguk. "Kalau tampang bisa ngalahin bakat, dari dulu suruh aja para artis cowok yang jadi kaptennya. Gitu kan, maksudnya?"
"Pinter!" puji Drian. "Tapi Drian punya dua-duanya kok, Ra." Tetep promosi!
"Suruh aja dia jadi kapten timnas Indonesia yang selanjutnya."
"Terus, Evan Dimas mau dikemanain, kalau kapten selanjutnya itu Drian?"
"Pacaran sama gue!" seru Rara bangga, dengan binar mata yang begitu kentara.
Drian menatap Rara, seolah tak rela jika itu benar-benar terjadi. "Nggak boleh! Bolehnya pacaran sama gue aja! Berani selingkuh, langsung gue nikahin setelah SMA."
"Berarti, selingkuhnya bisa dilanjut setelah nikah? Asik!" Rara justru heboh dengan pemikirannya sendiri.
Mengingat itu, Drian kembali bertanya kepada dirinya sendiri. Benarkah ia sudah rela untuk melepaskan Rara agar hidup bahagia dengan lelaki selain dirinya?
Terlebih dengan status di media sosialnya yang "bertunangan" untuk memberitahu kepada publik bahwa hatinya masih untuk Rara, secara tidak langsung telah mempertegas bahwa kerelaan yang tadi dibisikkannya cuma usahanya untuk membodohi hatinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Interaksi
Teen FictionJudul Awal: Klop! (Bukan Asal Pacaran) Status Rara dan Al itu jelas pacaran, meski jadian secara sepihak. Hanya saja, walau kedekatan mereka semakin intens dan mulai saling terbuka, ada satu hal yang membuat Al jengkel. Yaitu, Rara tak tahu nama len...