"Cewek itu kerjaannya cuma ngerumpiii, mulu." Abdi mencibir, seperti biasa. Lalu mendekat kepada papan tulis dan menuliskan sesuatu di sana. "Nih, baca!" lanjutnya, selepas selesai menulis, seraya memukulkan spidol pada benda di hadapannya itu.
SUARA PEREMPUAN ITU AURAT!!!
Kalimat itu tertulis dengan ukuran jumbo, memicu keriuhan serta reaksi pro dan kontra penghuni kelas. Juga menarik perhatian Rara yang tengah sibuk mengalihkan isu tentang Drian. Kali ini, ia sedikit setuju dengan isi tulisan tersebut, meski yang menulis adalah seorang Abdi, musuh bebuyutannya.
"Tanya aja sama anak pesantren, kalau belum jelas! Makanya, diem. Inget! Suara perempuan itu, a-u-rat! Jadi, kalau cowok-cowok pada jahilin, kalian juga harus diem." Abdi beralih menatap kubu putra. "Setuju, cowok-cowok?"
"Enak aja, mau manfaatin itu istilah buat nindas cewek-cewek! Nggak!" sela Rara. Baru juga ia mengagumi isi kepala Abdi, cowok itu sudah membuatnya dongkol.
Abdi mendekat pada Rara, lalu meletakkan spidol di meja yang ditempati cewek itu. "Kalau lo mau protes, berarti lo udah ngumbar a-u-rat!" sahutnya sambil bersedekap.
Rara jelas tak terima. Baginya, pihak perempuan tak seharusnya hanya berdiam diri jika ada yang bertindak seenaknya. Ia memang setuju dengan istilah itu, jika hanya untuk mengingatkan para perempuan saat menggunjing, bergosip, atau memfitnah orang lain.
"Cewek juga kalau ngomongin sesuatu bisa ngelantur dari a sampai zet. Gue juga gitu sih, kadang-kadang." Rara nyengir, lalu melanjutkan, "Nah, kalau keganggu karena suara cewek-cewek itu ataupun gue, baru boleh pakai istilah itu. Buat ngingetin, bukan buat nindas!"
"Makanya, Ab. Kalau denger atau baca sesuatu, jangan ditelen bulet-bulet gitu aja. Keselek, ntar!" sambung Fani.
"Dia kan emang suka manfaatin keadaan, Fan. Kayak baru kenal Abdi aja," kekeh Rara. "Tapi makasih juga Ab, udah ngingetin cewek-cewek. Biar gimana juga, kami itu lebih istimewa kalau tetep jadi makhluk halus."
"Lo sih bukan makhluk halus lagi, Ra. Tapi, dedemit!" Selalu. Maksud Rara apa, tanggapan Abdi apa.
Rara melempar spidol yang ada di hadapannya ke badan satu musuhnya tersebut, hingga memicu keributan lagi.
"Nah, kan? Lo emang nggak bisa jual mahal ke cowok. Jangankan kok jual mahal. Diobral aja lo belum tentu laku!" Keadaan ruangan kian ribut, terutama para cewek yang mendukung Rara mematahkan pelecehan secara verbal dari Abdi itu.
Suasana seketika hening, saat guru yang tadi meninggalkan kelas sudah kembali ke tengah-tengah mereka.
Tanpa terasa, pelajaran hari ini telah usai. Rara mengetikkan pesan, setibanya ia di rumah.
Me
Ini malah udah 1 minggu kak. Kok blm pulang?
Kak Al
Kangen, ya?
Me
Pede
Kak Al
Haha harus pede. Mungkin lusa gue udah pulang, kalo mau kangen-kangenan
Me
Apaan gak jelas bgt
Kak Al
Rindu ini memang tak sampai melalui kata maupun gelagat. Namun, sinyal-sinyal rindu ini kelak akan tersampaikan melalui doaku untukmu setiap saat.
Entah mengapa, wajah Rara langsung memerah setiap kali membaca pesan Al yang terakhir. Itulah alasan mengapa ia tersenyum malu-malu hingga malam ini, sebelum akhirnya menenggelamkan wajahnya pada bantal, ketika hendak tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Interaksi
Teen FictionJudul Awal: Klop! (Bukan Asal Pacaran) Status Rara dan Al itu jelas pacaran, meski jadian secara sepihak. Hanya saja, walau kedekatan mereka semakin intens dan mulai saling terbuka, ada satu hal yang membuat Al jengkel. Yaitu, Rara tak tahu nama len...