18. Senewen

11.2K 758 40
                                    

Kegiatan makan Rara terhenti seketika. "Ya udah kali, biasa aja. Gue yang nggak ngidolain Drian nggak keganggu, kok. Selama mereka ngomong sewajarnya. Dari tadi juga nggak ada yang protes," sahutnya.

Diandra menatap Rara lurus-lurus. "Dengerin gue baik-baik! Gue itu paling nggak suka, denger cewek-cewek ngomongin Drian!"

"Lo nggak suka denger cewek ngomongin Drian, tapi lo ngomongin dia. Emangnya lo bukan cewek?" balas Rara tenang, sekaligus menahan tawa.

Arifah yang berdiri di belakang Diandra terpaksa harus menahan tawa dengan menggigit bibir bawahnya.

"Lo nantangin gue banget, sih!"

"Siapa sih, yang nantang? Gue kan cuma nanya. Lagian kalau nggak mau denger cewek-cewek selain lo ngomongin si Drian, tinggal sumpal aja telinga lo pakai kapas atau earphone. Beres. Nggak usah berlebihan." Lagi pula, Drian tak akan membatasi siapa pun yang mengagumi. Rara yakin itu.

"Halah! Mereka aja cuma ikut-ikutan, ngidolain Drian-nya! Asal lo tahu. Gue udah tahu siapa Drian, jauh-jauh hari sebelum dia jadi pangeran SMA Semesta! Kalau diitung-itung, udah dua bulan gue tahu tentang dia. Ketahuan banget, mereka cuma ikut-ikutan!" sahut Diandra, belum mau kalah.

"Baru juga tahu dia dua bulan, udah segitunya. Gue aja yang nggak kenal, santai."

Baik Bia, Yuna, maupun Ikha harus mati-matian menahan tawa saat melihat wajah penuh luka di pusat ego Diandra.

Arifah makin susah menahan tawanya. Bahunya kini terguncang. Cewek itu memisahkan diri. Memilih mencari posisi dan keadaan yang aman, daripada ketahuan tak bisa menahan diri untuk terbahak.

"Mau lo sebenernya apa, sih?!" tanya Diandra, benar-benar tak habis pikir akan jawaban-jawaban Rara.

"Udah deh, Di, nggak usah diladenin. Dia emang udah gitu kan, dari dulu? Capek tahu nggak, ngeladenin dia. Mending kita pergi aja dari sini, daripada lo senewen." Salah satu pengikut Diandra menarik lengan cewek itu, mengajak pergi.

"Iya. Bener tuh, kata Stella. Yang masih waras, ngalah." Rara menambahkan, juga tersenyum manis. Lalu melirik Stella yang menatapnya seperti biasa --tak bersahabat.

Diandra tak bisa berbuat apa-apa kecuali menurut. Walau sebenarnya ia merasa sangat tak terima akan sikap Rara terhadapnya kali ini. Cewek itu pun pergi, benar-benar ditelan jarak. Dan suasana kembali menormal.

Kempat sahabat itu kembali mengurus makanannya masing-masing, yang sempat terabaikan sementara waktu. Yuna, Ikha, serta Bia terkekeh-kekeh geli saat mengingat kejadian yang baru saja terpampang.

"Coba aja si Drian itu sekolahnya di sini, bukan di Semesta. Yakin deh, anak-anak nggak bakal histeris sampai serempong ini. Kayak Izam gitu, dulu. Pas awal-awal nongol, pada heboh neriakin nama dia. Seminggu udah pada bosen, kan?" ujar Rara seraya menyendok kuah miso, lalu mengonsumsinya.

"Lo kok nyama-nyamain Bebeb Drian sama Izam, sih? Ya beda jauh, Ra!" balas Bia tak terima.

Izam dulu memang siswa pindahan yang menggemparkan sekolah, namun tak sampai membuatnya berteriak-teriak heboh memanggil nama cowok itu, meski sempat kagum. 

Baginya, jika mencari siswa di sekolah ini yang bisa dibandingkan dengan Drian, ya hanya Nando seorang. Meski cowok itu tak bisa ditebak apa maunya. Kadang manis, kadang bisa mengerikan, ketika marah.

"Tapi kayaknya ada benernya juga sih, apa yang dibilang sama Rara." Bia, Rara, dan Yuna seketika mengalihkan perhatian pada Ikha, saat mendengar pernyataan ini.

"Kenapa gitu, Kha?" tanya Bia.

"Kalau misalnya Drian beneran sekolah di sini, guys! Pasti cewek-cewek pada sok cuek, sok nggak peka. Kayak ke Kak Nando gitu, deh. Intinya, biar narik perhatian Drian. Terus, Drian jadi penasaran and nyari semua hal tentang cewek yang narik perhatian dia tadi, dengan segala cara. Berjuang keras buat dapetin cinta si doi. Padahal, Drian dikejar sama cewek lain yang tentunya jauh lebih populer. Dia nggak peduli, and tetep cinta sama satu cewek itu. Tapi cewek yang dikejar malah cuek dan nggak peduli sama sekali."

Garis InteraksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang