13. Al, Siapa?

13.7K 852 5
                                    

Bia dan Ikha baru saja keluar dari ruang guru, selepas mengumpulkan tugas biologi. Keduanya mendapati wajah Diandra, Nita, dan Stella dengan jelas, karena hanya berjarak belasan meter saja dari posisi mereka. Tanpa keberadaan tiga teman lain yang biasanya berada di sekitar cewek-cewek tersebut.

Begitulah keadaan komplotan atau geng yang dulu dinaungi oleh Rara pula. Geng Radiant. Kian terlihat buruk bagi para penghuni sekolah, termasuk Ikha dan Bia, semenjak salah satu sahabat mereka itu keluar dari komplotan tersebut. Dan amat mereka syukuri, karena Rara tak akan tersangkut, jika ada apa-apa dengan kelompok yang kian hari makin tak jelas tujuannya berdiri itu.

"Ya udahlah. Mending kita ke kantin. Udah ditungguin." Ikha menggandeng lengan Bia, agar cewek itu segera melangkah.

Kedua remaja ini berjalan santai sembari cekikikan tanpa sebab yang jelas, hingga sampai di tempat tujuan. Lalu mendekat kepada Yuna yang ternyata duduk sendirian.

"Kok sendirian? Rara ke mana?" tanya Bia heran.

"Rara izin pulang, tadi dijemput ayahnya," jawab Yuna.

"Emangnya kenapa, Rara sampai dijemput?"

"Katanya mau jengukin neneknya."

Bia mengangguk-angguk. "Oooh. Pesen siomay, ah. Mbok ...."

"Udah gue pesenin, tinggal nunggu doang."

Semangkuk miso dan tiga piring siomay mendarat di meja mereka dengan mulus beberapa saat kemudian. Mata Bia berbinar, saat menatap sepiring siomay yang sudah berada di hadapannya tersebut.

"Terus ini yang makan misonya siapa?" tanya Ikha, menyadari keberadaan miso tanpa pemilik.

"Bia aja, deh."

"Gue lagi diet. Nggak boleh makan banyak-banyak," sahut Bia.

"Halah, paling gagal lagi. Lo aja masih doyan makan siomay, juga," ledek Ikha.

"Siomay satu porsi nggak bakalan bikin badan makin melar."

"Ntar misonya buat siapa aja yang mau. Gue yakin, Bia mau makan miso ini."

"Ya udah, ayo makan! Keburu bel, ntar." Bia mengingatkan, karena ia sudah tak sabar untuk melahap makanan miliknya tersebut.

Mereka makan tanpa berbicara, meski tak bisa dipungkiri bahwa suasana kantin kali ini cukup ramai, seperti biasa. Ketiganya masih sempat mendengar beberapa kakak kelas yang sedang bernyanyi tanpa mengetahui letak nadanya. Namun tak mengganggu kegiatan, meski menggelikan.

"Ah, kenyang gue." Bia meletakkan gelas yang baru saja ia seruput isinya.

"Udah abis duluan, Bi?" tanya Ikha. Bia mengangguk. Ikha menunjukkan makanan yang masih tersisa, "Gue aja baru setengahnya."

"Lama, sih lo."

"Eh, nanti sore mau ke festival Semesta, nggak?" tanya Yuna tiba-tiba.

"Kalau nggak rame-rame, nggak asik. Mana lagi Rara pasti nggak ikut. Gue juga nggak yakin dia mau ikut ke acara gituan. Terus kalau kita ngajak dia tanpa dikasih tahu tujuannya dulu, pasti langsung ditolak. Orang cuma berubah rencana aja dia langsung bete, ngerasa dibohongin. Diem-diem anak rumahan banget kan, dia?" Ikha menyendok siomay miliknya, bersiap untuk ia lahap.

"He-eh. Muka dia itu menipu banget, emang!" sambung Yuna.

Cewek itu merasa bahwa Rara sama sekali tak cocok menjadi anak rumahan yang masih sering memakai bedak bayi, jika menilik wajah serta sifat cengengesannya. Karena setahunya, cewek rumahan itu berwajah kalem, menunjukkan karakter aslinya. Rara? Boro-boro!

Garis InteraksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang