"Kita berandai-andai yang baik-baik dulu. Bagaimana kalau ternyata Rara masih menunggumu? Tapi hanya karena kamu takut bayangan, lalu kamu tahu belakangan, dan akhirnya menyesal seumur hidup. Ayah cuma bisa memberi solusi supaya kamu datang ke rumahnya, tanyakan ke ayahnya, tanya kepada Rara langsung. Karena kamu masih punya tanggung jawab memberi penjelasan. Cukup niatkan kedatanganmu ke sana untuk memenuhi tanggung jawabmu, bukan yang lain. Itu saja pesan dari Ayah."
Drian menatap ayahnya yang tengah tersenyum kepadanya. Ada kepercayaan yang tengah disematkan padanya, oleh orang yang amat ia hargai.
Terang saja, ia ragu apakah ia bisa meniatkan kedatangan ke rumah Rara hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya, bukan yang lain. Karena jujur, hatinya masih berharap lebih. Akan tetapi, mau tak mau ia tetap mengangguk. Mengiyakan pesan ayahnya.
Kalau Drian boleh berharap, sebetulnya ia ingin kisah cintanya berakhir seperti Ali bin Abi Thalib. Salah satu sahabat Nabi itu pernah merasakan kerisauan hebat tatkala ia mengetahui bahwa Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah, dilamar oleh lelaki beriman yang secara akhlak, kekayaan, dan pengaruhnya sudah tak diragukan lagi. Ia bukan apa-apa, jika dibandingkan pelamar-pelamar Fatimah sebelumnya.
Drian merasa seperti Ali, pemuda yang tak punya apa-apa tetapi lancang menghendaki Fatimah. Sama sepertinya yang menghendaki Rara. Ia pun tak memiliki bekal yang cukup untuk menawarkan masa depan kepada gadis itu, sebagaimana Ali yang hanya mempunyai sebuah baju besi, sebilah pedang, dan seekor unta.
Ia sadar, dirinya bukanlah Ali. Rara pun bukan Fatimah. Tetapi yang ia pelajari dari kisah para pendahulunya tersebut, kalau memang Rara adalah jodohnya, pasti tak ke mana. Ya, seperti kisah Ali dan Fatimah, yang garis takdirnya masih ia harapkan menular juga padanya.
Dering ponsel dari saku celana bahan yang dikenakannya, menyita perhatian Drian yang sebelumnya tengah menimbang-nimbang keputusan di tengah keputus-asaan.
"Ya, halo," sapanya.
"Halo, Mas. Ini ada yang mau benerin motor. Saya nggak terlalu ngerti ini masalahnya di mana dan kenapa. Tolong segera ke bengkel, ya, Mas. Saya betul-betul butuh bantuan," lapor lawan bicaranya di seberang, seorang anak SMK yang sedang melaksanakan PKL di bengkelnya.
"Oh iya, saya ke sana sekarang."
Terkadang, Drian sendiri tak mengerti. Dulu ia adalah anak SMA, yang identik dengan kerja otak, bukan otot. Tetapi selulusnya ia dari SMA, ia terpaksa mempelajari teknik-teknik dasar dalam perbaikan mesin kendaraan roda dua. Lalu dalam beberapa tahun belakangan ini, ia mesti memberi arahan kepada anak SMK yang sepatutnya jauh lebih mengerti mesin ketimbang dirinya.
Tetapi, memang tiada nikmat yang harus ia dustakan. Pekerjaannya kini menjadi bukti bahwa otot dan otaknya berkolaborasi dengan sangat baik, serta berfungsi sebagaimana mestinya.
***
Pandangan Rara masih setia mengikuti gerak mekanik yang ada di depannya. Ia setia berdiri di depan perkakas bengkel semenjak sepuluh menit yang lalu, menunggu kepastian sosok-sosok di sekitarnya perihal kelanjutan nasib motornya yang tiba-tiba mogok.
"Ditunggu dulu. Sebentar lagi yang punya bengkel datang, Mbak. Dia lebih pasti ngerti daripada kami."
Rara hanya sanggup mengiyakan pernyataan barusan, walau ia merasa keki sendiri berada di tengah-tengah empat laki-laki yang sedang melaksanakan tugas masing-masing. Ia pun mulai bergerak-gerak gelisah, menahan kencing yang datang tanpa tahu waktu. "Mas, toilet di mana, ya?" tanyanya akhirnya.
"Dari situ lurus aja, Mbak. Luas bengkel nggak sampai lima hektar. Jadi, toiletnya bisa dicari sendiri."
Tanpa menghiraukan candaan garing dari lawan bicaranya, Rara bergegas menuju ke toilet. Setengah berlari, mengingat hajatnya sudah berada di ujung tanduk.
Ada langkah mendekat, saat Rara telah selesai buang air kecil dan membersihkan sisa-sisa kencing dengan air kran yang mengalir ke bak. Sosok itu seperti berhenti di depan pintu, menunggunya. Atau mungkin mengecek keadaan toilet lain, ia tak tahu. Ia tak memiliki urusan dengan hal itu. Yang jelas, proses ekskresi urinernya sudah selesai.
"Kebiasaan bocah-bocah. Jorok."
Ia membuka pintu ruangan berukuran dua kali dua meter ini. Lalu tubuhnya limbung ke belakang, saat menyadari kalau dirinya hampir saja menabrak seseorang yang berdiri di depan pintu yang baru saja ia buka ini. Wajahnya mendongak, menatap sosok bertubuh tinggi yang tengah berdiri di hadapannya.
Eh, sebentar. Orang depannya ini ... Al?
"Kak Al?"
"Rara?"
Keduanya berucap bersamaan. Sama-sama terkejut. Sama-sama tak menyangka. Pun disertai kedua bola mata yang sama-sama seolah hendak keluar dari tempatnya. Kemudian sama-sama mengerjapkan mata hingga beberapa kali untuk memastikan bahwa tak ada yang salah dengan indra penglihatan masing-masing.
Pandangan Rara belum beralih dari laki-laki di depannya. Walau tak berani terang-terangan mengamati apa yang berubah dari sosok yang selama tujuh tahun tak bersua dengannya ini, ia bisa melihat dengan jelas.
Tubuh pemuda itu tampak lebih berisi dan makin tinggi, dengan dada yang bidang, otot lengan dan bahu yang terlihat makin kuat, disertai rahang yang kokoh dan nampak tegas, kemudian kulitnya sedikit lebih gelap. Yang tak berubah adalah tatapannya. Tetap teduh dan fokus pada satu objek saja.
Saat menyadari bahwa tatapannya berbalas, Rara seketika menunduk. Pandangannya beralih ke ubin. Kalau orang alim bilang sih, sikapnya ini bertujuan untuk menjaga pandangan dari lawan jenis. Tetapi sebetulnya itu hanyalah usahanya untuk mengurangi kegugupan yang seketika melanda.
"Kalau mau gantian, aku sudah selesai." Seusai mengucapkan itu, Rara pergi. Meninggalkan masa lalu yang beberapa detik lalu terpampang di depan matanya.
Sementara lawan bicara Rara, masih berdiri kaku di depan pintu. Pandangannya mengikuti arah langkah sosok berkerudung abu-abu itu.
Obeng, obeng ketok, berbagai jenis tang, palu, pahat, gergaji besi, kikir, sney dan tap, ragum, treker magnet, kompresor, bor, feeler, solder listrik, multimeter, dan las listrik, menjadi pemandangan yang terpaksa Rara nikmati sejauh matanya menelusuri area ini. Makin lama ia semakin akrab dengan bermacam-macam kunci. Mulai dari kunci T, kunci ring, kunci pas, kunci pas ring, kunci bintang, kunci sok, kunci L, kunci Y, kunci inggris, kunci busi; kesemuanya tak ada yang ia tahu pasti apa fungsinya.
Tujuan paling utama dari semua kegiatan konyolnya mengamati perkakas bengkel yang tentunya tak ia hafal nama-namanya itu, ia hanya mengalihkan perhatian dari sosok yang tengah memeriksa keadaan motor matic pemberian ayahnya.
"Ini karburatornya yang bermasalah. Kayaknya motor kamu perlu nginep dulu, soalnya benerinnya mesti hati-hati. Nggak apa-apa, kan?" ucap Drian, masih fokus dengan kendaraan yang tengah diamatinya.
Rara mengangguk. "Ya gimana baiknya aja, deh."
"Terus, nanti kamu pulangnya aku antar. Udah hampir magrib ini."
Antar pulang. Berboncengan. Magrib.
Seperti deja vu. Tiga hal itu mau tak mau membuat Rara teringat peristiwa tujuh tahun yang lalu, ketika pertama kali ia dan Drian bertemu.
Lalu, Rara pun terpaksa harus mengerti. Saat Drian memanggilkan taksi untuknya. Ya, Drian memang mengantarkannya pulang. Tetapi, laki-laki itu hanya mengikuti di belakang kendaraan yang ditumpanginya, memastikan ia sampai di rumah dengan selamat. Diakhiri dengan isyarat pamit berupa anggukan ringan dan senyum tipis.
Kejadian tujuh tahun yang lalu tak akan terulang lagi. Sebab, Rara tahu, ada hati yang sedang Drian jaga. Hati tunangan yang identitasnya tak pernah Drian publikasikan.
***
a.n: Saya tahu perkakas bengkel karena mantan saya tu mekanik. Wkwkwk, nggak penting banget deh ini info.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Interaksi
Teen FictionJudul Awal: Klop! (Bukan Asal Pacaran) Status Rara dan Al itu jelas pacaran, meski jadian secara sepihak. Hanya saja, walau kedekatan mereka semakin intens dan mulai saling terbuka, ada satu hal yang membuat Al jengkel. Yaitu, Rara tak tahu nama len...