Pacarku Romantis

9.3K 272 2
                                    

Pacarku romantis, bagian 4

~
Achasa Adreanna
~

Aku mengaduk-aduk jus jerukku malas, sudah seminggu sejak aku membuat primadona itu tersungkur dan seminggu itu pula aku dan Rastus seperti menjauh.

Saat ini aku sedang di kelas di temani oleh jus jeruk dan tumpukan PR yang harus ku kerjakan. Aku belum bilang ya? Kalo hobbyku itu ngerjain PR di sekolah. Entah PR untuk hari ini atau PR untuk besok-besoknya lagi.

Sambil mengerjakan PR aku meminum jusku sampai tandas, Fini kemana? Sedang kencan sama Vano ke kantin. Eh, becanda, dia lagi beliin makanan buat aku, tapi si temenin sama Vano, sama aja kan sama kencan?

Tulis PR, selesai. Sekarang tinggal nungguin makanan ku datang.

Fini dateng sambil bawain siomay, sedangkan Vano muncul sambil bawain tiga gelas cup pop ice. "nah, cinderella, cinderella ku yang cantik." ujarnya kemudian meletakkan ketiga gelas cup itu di mejaku dan Fini yang telah di satukan.

"makasih Vano yang ganteng." ujarku, kemudian memakan makanan milikku.

"eh, Vano seminggu yang lalu." ujarku terpotong karna hampir keselek. "kenapa Rastus yang nganterin nasi d bukannya elo?" lanjutku.

"oh, itu kebetulan kita lagi makan di warung nasi padang. Waktu tau kalo lo yang telpon dia minta spekerin makanya dia yang ngantar dan bukannya gue."

Aku manggut-manggut mengerti. "Lo kenapa sih masih bertahan sama sikap cuek dia?" Ujar Vano, aku menghabiskan siomayku dulu baru menatapnya. "Iya, lo itu bisa cari cowok lain tau" Fini ikut-ikutan memanasi.

Aku tertawa mereka pikir aku secantik primadona itu apa? "Lo pikir gue sama kek lia gitu? Yang tinggal pilih-pilih cowok gitu?" Aku menggelengkan kepalaku kemudian meminum pop ice ku sampai habis.

"Jangankan mau cari cowok lain, yang ada cowok malah lari kalo gue deketin. Plis ya, gue ga secantik primadona itu, gue ga bahenol dan bening kek dia, gue ini papan sekeping, kurus dan tepos" ujar gue datar.

Itu bukannya aku sok rendah diri, tapi itu memang keadaan diriku yang sebenarnya.

Menjengkelkan, akhir-akhir ini semua terasa menjengkelkan dan kayak tayi gara-gara si Rastus Tayi itu.

Coba aja bukan cowok aku udah aku jadiin gulai cincang dianya.

~

"Rastus!" Ujarku kesal, ini kali ketiga aku memanggilnya tapi dia abaikan.

Dia dengan santainya menatap ponselnya dan menjadi tuli seketika.

"Rastus!" Kali ini aku merebut ponselnya membuatnya menatapku datar.

"Apa?"

"Dengerin aku ngomong kenapa?" Dia menaikkan sebelah alisnya "aku dengerin kok" ujarnya. Dia berusaha meraih ponselnya tapi aku menariknya menjauh. "Bohong aja terus!" Ujarku kesal.

"Kamu kenapa sih!? Aku udah dengerin kamu dan kamu bilang aku bohong? Mau kamu apa sih!?" Kali ini dia berdiri menatap tajam padaku yang ku balas tatapan yang tak kalah tajam.

"Seharusnya aku yang nanya gitu! Mau kamu apa? Kamu ga pernah mau dengerin aku! Akhir-akhir ini kamu sering jalan sama si primadona itu, kamu pikir aku ga tau iya?! Aku tau Rastus! Tapi aku milih diam biar kita ga berantem, tapi kamu, kamu ga pernah mau ngelakuin hal yang sama. Selalu aku yang ngalah! Selalu aku yang nangis! Pernah gak sih sekali aja kamu mikirin perasaan aku?" Pekikku marah, untuk pertama kalinya dalam enam bulan hubungan kami aku benar-benar marah.

Aku sakit hati, aku merjuangin dia tapi dia seakan gak ngelakuin hal yang sama. Aku capek apa dia tau? Kadang aku pengen nyakitin diri sendiri demi ngilangin rasa sakit ini apa dia tau? Enggak! DIA GAK TAU!!

PRANG!!

Aku membanting ponselnya hingga tak berbentuk, aku ga peduli kalo hape itu harganya belasan juta yang jelas aku lagi sakit hati!

Sambil nahan air mata aku membanting pintu rumahku di hadapannya dan lansung mengunci pintu rumahku. Hitungan detik aku terduduk dan menangis.

Hikkss.. Sekali aja, ga bisa apa dia ga cuek sama aku?

Aku iri sama si primadona, dia bisa dapatin perhatian Rastus yang aku sendiri ga bisa dapatin dia. Dia bisa buat Rastus senyum ke dia, sedangkan aku, bisa di hitung pakai jari kapan Rastus mau senyum.

"Hikss.."

~

"Sasa, Vano bilang lo berantem sama Rastus ya?" aku tidak menjawab, hanya menatapnya datar.

"lo ga mau cerita sama gue?" tanyanya membuatku mendengus pelan, kuharap dia mengerti.

Aku memperhatikan guru yang menjelaskan di depan, sama sekali tidak tau apa yang sedang ia jelaskan. Tanganku mencoret-coret buku catatanku dengan malas.

"Tumbenan lo pake gelang" ujar Fini spontan, yang membuatku tersentak.

Dengan cepat aku menyembunyikan tangan kananku dari hadapannya.
"A..aa enggak kok, cuma lagi pengen aja" ujarku bohong, kuharap dia tidak tau bahwa aku berbohong.

"L-"

"Fini Khalisa, silakan maju dan jawab soal yang ada di papan tulis" dalam hati aku tersenyum senang karna Fini harus di panggil untuk mengerjakan soal di papan tulis.

Hingga bel istirahat berbunyi Fini masih berkutat dengan soal di papan tulis. Sedang aku memilih lari duluan ke kantin. Biasanya jika aku duduk di dekat Rastus kali ini aku menghidari Rastus dan duduk sendirian di meja tengah kantin.

Biasa, cari suasana baru.

"Kita gabung ya," kupikir hidupku akan tenang, tapi ternyata aku salah Vano dan Rastus malah lebih dulu menemukanku dan duduk di depanku.

Beberapa menit mereka duduk Fini menyusul, dia menatapku cemberut. "Lo ninggalin gue gegara masalah lo pake gelang tadi kan?"

Oke, pasang tampang polos.

"Kamu ngomong apasih? Aku ga ngerti" ujarku, bukannya sok polos aku malah terlihat tolol.

"Sini tangan lo! Jangan bohongin gue lo!" Fini menarik tanganku, tapi aku menahannya.

"Lo buat tato kan?" Tuduhnya, dasar tolol.

Aku menggelengkan kepalaku "ga usah bohong tayi" aku menggelengkan kepalaku keras-keras "aku ga bohong, aku ga buat tato" ujarku. Tapi bukannya melepaskan tanganku Fini malah mencengkram pergelangan tangaku kuat.

Aku ingin berteriak kesakitan, tapi kutahan. Tidak ada yang boleh tau, tapi jika aku tetap diam saja maka Fini akan terus memaksa.

Lalu perlahan-lahan gelang putih yang melingkari tanganku berubah menjadi merah, Fini memperhatikannya dan dengan cepat menarik gelangku hingga putus.

Disana, di pergelangan bawah dekat urat nadiku, telihat sebuah luka, luka yang agak dalam dan belum mengering. Darahnya mengucur turun ke pergelangan tanganku dan membasahi rokku.

Aku menunduk, air mataku jatuh. Fini, Vano dan Rastus menatapku terkejut. "Sasa lo selfharm?" Ujar Vano yang membuatku makin menunduk semakin dalam.

"Sasa.. Lo bohong kan?" Aku hanya diam, tapi tangisku menjadi.

Aku tidak tau apakah aku selfharm atau bukan, tapi jika aku tak mampu menahan sakitnya lagi maka aku selalu punya keinginan untuk melukai diri sendiri.

Tangan kiriku di tarik oleh Rastus, "ikut aku" ujarnya

~

Fyi apapun masalah lo, jan lakuin selfharm:")

Ini cuma sekedar cerita, bagian self harm nya cuma bumbu cerita biar agak greget:v

Pacarku romantis[Repost][Tersedia Di Playstore]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang