Lobby, kamar istirahat dokter, aula, semua sudut bangunan ini mengingatkan semua tentangnya. Lelaki yang mengisi hari-hariku sejak kami duduk di bangku taman kanak-kanak. Jalinan persahabatan, cinta yang tumbuh perlahan, rasa ingin memiliki dan keinginan bertahan satu sama lain mewarnai kebersamaan kami selama lebih dari dua puluh tahun. Hari ini aku kembali lagi, ke rumah sakit ini. Tempatku dengannya ketika menghabiskan makan siang kami dan saat aku dengan sabar menunggunya memeriksa pasien. Tidak ada yang berubah sedikit pun dari tampilan interiornya, hanya ada tambahan air mancur di lobby, wallpaper masih didominasi warna biru serenity bermotif bunga peony berwarna cream yang meneduhkan. Aroma obat, alkohol, dan cairan pembersih lantai beraroma pinus menyapa ujung-ujung saraf olfaktorius milikku.
Seseorang di sampingku mengeratkan genggamannya, seakan menarikku keluar dari kenangan-kenangan yang masih saja menetap di pusat amygdala otakku. Jemariku merespon cepat, ikut membalas dengan erat genggaman itu. Tak akan lagi kubiarkan celah itu masuk. Aku miliknya. Dia juga miliknya. Tidak ada benang merah lagi di antara aku dan dia. Lelaki yang menemaniku selama sembilan tahun, sekarang telah bahagia dengan keluarga kecilnya. Aku juga bahagia, sungguh. Seseorang disampingku yang membuatku bahagia, perjuangannya yang mati-matian menungguku yang membuatku bahagia.
"Jangan melamun, Sayang. Ada yang sedang kau pikirkan?" tanyanya dengan nada khawatir dengan sesekali mengelus lenganku.
"Ah tidak. Hanya saja, rumah sakit kan banyak. Mengapa kita harus ke sini?" Aku mendengus dan dia malah tertawa kecil.
"Jangan bilang kau terseret arus kenangan ya?" ujarnya ringan sambil mencolek ujung hidungku dengan gemas.
"Diam atau akan kutinggal?" Aku melepas genggaman tangan kami dan melipat kedua tangan di depan dada.
"Apa kekasihku sedang merajuk?" tanyanya pura-pura polos dan ah aku selalu tidak tahan jika dia bertingkah kekanakkan dan memasang wajah imutnya itu. Dengan berat hati aku mengalah dan menautkan lagi jari-jemari kami menjadi satu.
Lift yang kami naiki sudah sampai di lantai 5. Lantai khusus departemen kesehatan ibu dan anak serta departemen kandungan. Selangkah keluar dari lift interiornya sudah berubah, menjadi lebih hangat dan ceria dengan wallpaper campuran warna pink rose quartz dan biru serenity berselang-seling tak bermotif. Ada alat ukur tinggi badan berbentuk leher jerapah dan beberapa boks berisi mainan berjajar rapi di kanan kiri selasar lorong lantai 5 ini. Aroma yang menguar juga lebih manis daripada aroma pinus yang terkesan steril di lobby tadi. Kini yang aku hirup seluruhnya adalah aroma vanilla yang manis.
"Ruangan dokternya di sebelah sana, Sayang. Ayo bergegas." Dia mengikuti langkah-langkah kecilku. Ekspresi wajahnya yang bahagia membuat hatiku menghangat.
"Sabar sayang, tidak perlu terburu-buru." Ia merapikan poni di dahiku yang acak-acakkan akibat terlalu bersemangat.
"Aku hanya ingin cepat memastikan bahwa hasil alat tes kehamilan yang di rumah itu benar adanya. Aku tidak sabar melihat perut kecilku membesar karena adanya baby." Aku merajuk dengan mengerucutkan bibir yang semakin membuatnya gemas.
Aku, Jisoo. Seseorang di sampingku adalah Seokmin. Suamiku. Dan rumah sakit ini membawa ingatan lima tahun lalu tentang rasa yang terlarang. Tentang sahabat yang kurindukan. Mingyu.
P.S.
Maafkan aku yang membawa work baru. Lanjutin jangan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Persona [Meanie] ✓
FanficJeon Wonwoo, dokter muda yang sukses dengan gelar spesialis bedah. Konservatif dan hidupnya sangat terikat peraturan. Baginya, hidup yang lurus-lurus saja akan lebih menenangkan. ~~~ Kim Mingyu, dokter kepala departe...