Zahrah,
Waktu 90 menit serasa lima kali lipat lebih lama dari biasanya, saya mencoba mengatur nafas setiap kali saya melirik ke arah 'si cowok taman' itu mendapati dia lagi senyum ke arah saya. Ini saya yang kepedean atau apa? Saya pun buru-buru membereskan buku-buku dan perlengkapan saya yang lain agar bisa cepat keluar dari kelas. Kenapa rasanya pengap sekali dikelas hari ini?
"Zahrah?"
Seseorang membuyarkan kegiatan saya, segera saya memalingkan wajah menuju sumber suara. Oh, ternyata 'si cowok taman' atau mungkin lebih baik saya mulai memanggil dia Kak Dyo.
"Iya, kenapa kak?"
"Saya boleh minta nomer kontak kamu?" tanya kak Dyo kepada saya.
Entah ungkapan apa lagi yang tepat untuk menggambarkan expresi saya waktu itu. Kaget atau senang? Saya juga bingung.
"Buat apa kak?"
"Kita sekelompok kan? Buat nanti kita ngomongin tentang bahan persentase."
Bodohnya saya! Jelas-jelas buat keperluan kuliah, mikirin apa sih tadi sampai nanya buat apa segala.
"Atau mungkin sekali-kali buat ajakin kamu nemenin saya makan siang?" jawabnya sambil menatap lurus ke arah saya dengan santai dan wajah polosnya.
Saya mencoba senyum, beranggapan bahwa kalimatnya yang terakhir hanyalah bercanda. Semoga senyum saya bukan seperti senyum orang yang lagi nahan kentut.
"Boleh kak, ini nomer nya"
"Oke. Merci Zahrah" begitu kata kak Dyo sambil tersenyum manis. Ngomong-ngomong, merci itu artinya terima kasih.
"Sama-sama. Saya keluar dulu ya kak masih ada kelas lain."
Kak Dyo hanya membalas dengan senyuman. Lalu saya ambil tas saya yang sudah rapih dan langsung keluar kelas menuju teman-teman saya yang sudah menanti.
Dyo,
Gerak-geriknya yang canggung itu selalu dapat membuat saya tersenyum. Lucu sekali perempuan ini, gimana saya ga tambah penasaran. Jadi, posisi duduk kami sedikit melingkar. Saya duduk di sebelah kanan dan agak sedikit menyerongkan bangku saya ke arah kiri, di tengah ada Sabella kalau saya tidak salah ingat nama nya, lalu tepat di depan saya perempuan mungil ini, duduknya agak menyerong ke sebelah kanan, tepat dihadapan saya. Penjelasan dari Pak Edwin sama sekali tidak saya perhatikan karena perhatian saya benar-benar tertuju pada perempuan di hadapan saya ini, Zahrah namanya. Si pemilik buku yang selama ini berada di dalam tas saya.
Saya yakin tadi saya melihat wajahnya merona saat saya meminta nomor kontaknya dan senyumnya terlihat canggung, tapi, cantik. Saya benar-benar tidak bisa berhenti tersenyum. Ah, perasaan apa ini? Saya pun tidak paham dengan apa yang saya rasakan, tapi rasanya senyum di wajahnya membuat saya ketagihan.
Tiba-tiba ponsel saya berdering.
"Hmmmm"
"Dimana lu? Udah beres kelas? Laper gue, ayam penyet ya?" ternyata suara Ical terdengar dari sebrang sana.
"Hmmmmm"
"Batu-batu ya gue" Timpalnya
"Hmmmmm"
Lalu saya menaruh kembali ponsel saya ke dalam saku dan berjalan menuju batu-batu. Ical kalau sedang lapar paling tidak bisa dibantah, bisa-bisa berubah jadi macan ngamuk.
Keluar dari gedung saya mulai mencari macan, eh, Ical maksud saya. Disana terdapat 3 tempat duduk batu-batu, sebelah kiri yang dekat pohon, tengah, dan sebelah kanan dekat dengan jalur keluar parkiran mobil. Saya melihat Ical duduk di batu-batu sebelah kiri bersama teman-teman kelasnya dan di tengah saya melihat, Zahrah? Itu Zahrah sedang bersama teman-temannya. Tapi sepertinya dia tidak memperhatikan kedatangan saya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita di Bawah Langit
Romantizm"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhana Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada" ...