Chapter 2

4.3K 302 30
                                    

Nuvaca, yang tengah berjalan-jalan di tengah kota untuk mencari sesuatu di toko buku, mengembuskan napas berat. Ia membenci keramaian dan pandangan penuh kagum dari para manusia yang selalu memuja kecantikannya. Seringkali, gadis itu menyamarkan keberadaannya agar tidak terlihat oleh manusia dan immortal lainnya.

Dengan pakaian kasualnya, Nuvaca terlihat seperti anak remaja yang baru saja memasuki perkuliahan. Namun, bagi mereka yang tahu identitas Nuvaca, mereka hanya bisa menundukkan kepala takut dan menjauh dari Tuan Putri itu. Langkahnya terhenti saat ia merasa ada seseorang yang mengikutinya dengan santai.

Meski begitu, panca indera tajam Nuvaca dengan cepat mengidentifikasi siapa yang mengikuti dirinya.

"Arah jam 10, menantiku untuk menyapanya," gumam Nuvaca sambil tertawa kecil.

"Mengapa Tuhan memberikanku mate untuk yang kesekian kalinya setelah mereka semua mati? Apa aku harus berhenti dari kehidupanku yang nyaman? Sepertinya tidak!" gumam Nuvaca sambil melanjutkan langkahnya memasuki sebuah toko buku yang menjadi tujuannya.

Di dalam toko buku yang penuh dengan aroma kertas dan tinta, Nuvaca mencari-cari buku-buku yang mungkin menarik minatnya. Ia tenggelam dalam dunianya sendiri, mencoba melupakan kehadiran mate yang mungkin tengah menunggunya di luar sana. 

Setelah mendapatkan sebuah novel di tangannya, Nuvaca membawanya ke kasir lalu membayarnya.

"The Dark Luna, seri ketiga dari buku The Werewolf is Mine. Sepertinya Anda menyukai cerita fantasi seperti ini, Nona," kata sang pelayan kasir membuat Nuvaca tersenyum.

"Karena aku membenci tokoh gadis dalam cerita itu. Gadis lemah lembut yang selalu berurai air mata, entah karena disiksa atau direject oleh matenya," jawab Nuvaca sambil menampilkan senyum manisnya.

"Jika kau membencinya, mengapa kau membacanya?" tanya pelayan kasir itu sambil memberikan uang kembalian pada Nuvaca.

"Karena dengan aku membacanya, aku dapat bercermin agar aku tidak seperti mereka yang hanya mengandalkan air mata. Mungkin proses manusia dalam berubah berbeda-beda, tetapi dari sekian banyak cerita fantasi mengenai Werewolf yang aku baca, mereka selalu membuat tokoh gadis yang selalu lemah," jawab Nuvaca sambil tersenyum.

"Lemah tetaplah lemah, akan menjadi beban untuk pasangannya. Sebaiknya mereka mati. Lagipula, saat ini wanita lemah hanya akan diinjak-injak, sebaik apa pun dirinya," lanjut Nuvaca dengan tatapan yang menerawang.

"Ya, kau benar. Aku bahkan bosan membaca para tokoh perempuannya yang selalu sama. Mereka membuat seorang gadis yang dianiaya, disiksa, bahkan di ambang batas kematian. Saat ini, mana ada gadis yang naif seperti itu," kekeh pelayan itu membuyarkan lamunan Nuvaca.

"Maka dari itu, aku akan membuat cerita hidupku sendiri tanpa skenario yang mengeluarkan air mata. Dan tidak akan menunjukkan sisi lemahku sebagai seorang gadis," jawab Nuvaca seakan-akan dirinya adalah tokoh utama.

"Kau benar, gadis yang mengeluarkan air mata adalah gadis yang lemah. Gadis yang kuat adalah gadis yang tidak pernah berurai air mata hanya karena pria atau kekasihnya yang meninggalkan dirinya," pelayan kasir itu membenarkan.

"Kau benar, pria itu tidak hanya satu. Banyak pria yang akan menunggumu, karena Tuhan mengetahui yang mana belahan jiwamu yang sesungguhnya," jawab Nuvaca sambil tertawa kecil.

"Baiklah, sampai jumpa, Maura," gadis itu memilih berpamitan karena sudah ada orang lain yang mengantri untuk membayar.

"Sampai jumpa, Nuvaca," jawab Maura dengan senyuman di wajah keriputnya.

Nuvaca melangkah keluar dari toko buku, membawa cerita hidupnya yang akan dia tulis sendiri. Suara keramaian kota yang sibuk tak mengganggu konsentrasinya. Ia berjalan dengan langkah mantap, seolah-olah menatap masa depan yang sudah dia rancang sendiri. Wajahnya yang penuh keyakinan menceritakan bahwa dia adalah penulis kisah hidupnya yang sejati.

The Strangest LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang