Jakarta, 29 September 2017
Selamat malam menjelang pagi,
Es, bagaimana dengan sajak-sajak ku sejak dua hari kemarin?
Apa kamu sudah membacanya? Atau kamu hanya sekedar melihat tanpa mendalami makna dari setiap diksi yang aku gunakan ditiap baitnya?
Sulit rasanya bagiku untuk meluapkan segala perasaan ini lewat diksi-diksi baku yang dirangkai sedemikian rupa menjadi sebuah sajak dengan bait yang penuh pilu.
Namun jika memang kamu tidak memiliki ketertarikan dengan sajak-sajak itu, aku pun tidak bisa memaksamu untuk membacanya.
Biarkan saja orang lain yang membaca. Kali saja ada yang seperasaan denganku.
Kali ini aku tidak akan menuliskan sajak singkat yang berisikan beberapa bait penuh pilu lagi.
Kali ini aku akan kembali bercerita, mengenai kepedihan seorang wanita yang masih saja mencinta padahal sudah dilupa.
Setelah kepergianmu, banyak yang berubah di kehidupanku.
Pola tidurku menjadi sangat tak beraturan, mengapa?
Karena setiap malamnya pasti selalu aku habiskan untuk menatap sang bintang ditemani oleh secangkir kopi yang menambah rasa kepahitan hidup ini.
Menatap bintang sambil berkhayal bahwa suatu saat nanti ada bintang yang jatuh ke bumi, dan bertepatan disaat bintang yang sedang jatuh ke bumi aku akan berharap dan meminta agar kamu sosok pemilik hati ini akam kembali.
Terlalu berlebihan ya khayalanku.
Terkadang di malam-malam tertentu, aku tidak menatapi bintang. Namun aku menatap cerminan diriku yang sangat menyedihkan di cermin seolah bertanya, mengapa diriku semunafik ini?! lalu, mengapa diriku sekeji ini hingga pernah menyakiti hati mu?
Dan bahkan terkadang jika sang hujan mulai membasahi bumi, si air mata yang mengisi pelupuk mata juga keluar dengan sendirinya tanpa perintah dari otakku.
Aku sudah mencari seribu satu cara untuk membendung tangisanku disetiap malamnya, namun? nyatanya aku selalu tak bisa menahan semua kepedihan ini sendirian.
Aku tahu, tangisan tidak memberi efek apapun. Dengan tangisan, semua masalah tidak akan usai. Dengan tangisan, kamu yang telah pergi pun tak akan kembali lagi. Aku mengerti bahwa tangisan hanyalah sebuah bentuk dari pelampiasan semata yang mungkin dapat sedikit membuatmu tenang setelah sekian banyak fikiran maupun masalah melanda.
Aku ingin kembali bernostalgia sedikit saat dahulu kita masih bersama,
Dulu aku sering mengikuti lomba menulis puisi tingkat sekolah.
Kamu selalu menyemangatiku, dan kamu juga yang selalu menemaniku saat aku menulis puisi-puisi itu.
Apa kamu tahu? Bahwa inspirasi-inspirasi dari sajak yang selalu kutulis itu adalah dirimu?
Aku pernah mendengar dari salah satu penulis sajak favoritku,
Jadikanlah seseorang yang kamu cintai sebagai inspirasi kamu dalam membuat puisi, maka kelak kamu juga akan mencintai puisi karanganmu sendiri seperti rasanya kamu mencintai seseorang yang telah kamu jadikan inspirasi dalam membuat puisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Diary Of Unsent Letter
Short StorySOME PART ARE BASED ON THE TRUE FEELING Highest Rank : #439 In Poetry 6/10/2017 #449 In Poetry 26/9/2017 #533 In Poetry 25/9/2017 #579 In Poetry 24/9/2017 #791 In Poetry 22/9/2017 #879 In Poetry 20/9/2017 #914 In Poetry 16/9/2017 Sebuah catatan kec...