Jakarta, 14 November 2017
Aku hanya ingin menyapa.
Apa kabar? Setelah hampir satu bulan aku tidak menuliskan beberapa kata yang mungkin bagimu hanya sebuau omong kosong. Apa kamu mencariku?
Sepertinya tidak, untuk apa kamu mencariku? Mencari seseorang yang sudah kamu lupakan karena aku sudah tergantikan. Aku bagimu sekarang mungkin hanya sebagai butiran debu yang mengotori hati. Tak ada kesan istimewa lagi dari diri ini untuk dirimu.
Tapi aku tidak perduli, jika kamu memang tidak mencariku dan menanyakan kabarku itu tidak apa-apa. Memang bukan lagi tugasmu mencari keberadaanku dan menanyakan kabarku semenjak peristiwa itu. Kandasnya hubungan kita.
Aku, hanya rehat. Mengistirahatkan sejenak pikiran ini yang tak kunjung bisa melupakanmu. Aku hanya istirahat sejenak, mencoba menetralkan perasaan yang selalu menggebu-gebu setiap mengingat namamu.
Sejujurnya, aku lelah. Lelah jika sisa hidupku hanya akan dipenuhi oleh rasa penyesalan. Lelah jika sisa hidup ini akan dihantui oleh kenangan ketika kita bersama. Aku lelah, sangat lelah.
Tetapi apa yang bisa aku lakukan? Melupakanmu? Mengikhlaskanmu? Mencari kesibukan lain agar aku dapat membebaskan pikiran ini dari bayang-bayangmu? Ah semua sudah kucoba dan kulakukan. Tetap hasilnya selalu nihil. Selalu saja nihil.
Aku tidak mengerti lagi, seistimewakah kamu dihati ini? Sampai-sampai hatiku tak pernah mau menuruti perintah si otak untuk berhenti mengenangmu dalam kesedihan.
Mengenangmu sejujurnya tidak selalu membawaku dalam kesedihan, kadang aku juga merasa bahagia ketika mengenangmu beserta dengan kisah-kisah kita yang sudah berakhir.
Aku bahagia, karena aku merasa menjadi salah satu perempuan beruntung yang pernah memilikimu walaupun pada akhirnya aku harus merasa kehilanganmu.
Pada saat itu aku selalu merasa bahwa kisah kita akan berakhir indah seperti ending pada cerita dinovel fiksi kesukaanku. Tetapi saat aku menerima kepahitan dari akhir kisah cerita kita, aku sadar bahwa kita dan kisah ini bukanlah sebuah fiksi dan khayalan semata. Kita ini hidup, kita ini asli bukan sebuah fiksi. Bukan sebuah khayalan yang dapat dibuat-buat akhirnya.
Aku sadar bahwa kisah ini nyata, tidak ada harapan lagi bahwa kisah ini akan berakhir indah seperti kisah cinta yang selalu kubaca pada karya-karya sastra.
Yang bisa aku harapkan sekarang adalah, kamu dan kepulanganmu. Aku hanya berharap jika aku masih akan menjadi rumah bagimu. Rumah yang akan selalu kamu jadikan tempat berpulang dikala hujan mulai membasahi bumi.
Rumah yang akan kamu tempati untuk menuai peluh setelah pergi. Aku harap seperti itu?
Aku juga berharap bahwa sebetulnya kisah ini belum berakhir, aku berharap kisah kita hanya terpotong oleh takdir. Terputus sejenak karena alur yang ditentukan namun akan kembali pada waktu yang pas serta takdir pula yang akan mengembalikannya.
Boleh aku berharap seperti itu?
Karena jujur, sejauh apapun kamu pergi dan sekeras apapun aku mencoba untuk ikhlas dan merelakan hati ini tak akan pernah bisa berhenti mencintaimu walau sedetik saja dalam hidupku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Diary Of Unsent Letter
Cerita PendekSOME PART ARE BASED ON THE TRUE FEELING Highest Rank : #439 In Poetry 6/10/2017 #449 In Poetry 26/9/2017 #533 In Poetry 25/9/2017 #579 In Poetry 24/9/2017 #791 In Poetry 22/9/2017 #879 In Poetry 20/9/2017 #914 In Poetry 16/9/2017 Sebuah catatan kec...